Kamis, 15 Desember 2011

Tak Satupun Judulku Pilih.


Masih bekam wajah ini, bukan, tidak hanya wajah. Hati, Akal, Jiwa dan bahkan ruh sekalipun. Bekas luka-luka yang belum kunjung padam semalam, kini kian menyeruak pagi yang seharusnya berwajah ceria. entahlah aku tak tau.
Lagi-lagi aku duduk di sudut yang sama, malam yang sunyi dan menenggelamkanku bukan pada ketenangan melainkan kegelisahan. “Aku bukan dia, mereka atau siapapun, aku adalah aku!. Jika jenuh denganku, enyah saja dari hadapanku!.”. Tidak, aku salah menggunakan kata gelisah, tepatnya aku tak faham apa yang membuat lebam di sekujur waktuku saat ini.

KISAH BARU SAJA SAMPAI PARUH WAKTU. NAMUN DUNIA SUDAH JAUH MERAPUH. SUNGGUH DAHSYAT SANG WAKTU MENGURAI BERMACAM-MACAM  KISAH.

Ya, aku kira masih paruh waktu yang kadarnya masih belum pasti ia terhenti. Bisa saja esok, atau ini adalah menit terahir. Entahlah. Persisnya bukan dunia saja yang mulain merapuh, tapi diri pula turut melapuk. Cukup!!!.


Semburan waktu yang kian menguras usia, tua. yang pasti akan berjodoh dengan kematian. Berteman dengan kata kematian, penuhi hati dengan takut terhadap Sang Pemilik diri, Allah.

Jenuh?, Bukan!!!


            Kalut telah puas menemuiku dalam sudut yang mulai sekarat mengapit paru dan jantungku, kian kemari aku dibuatnya hingga aku serasa tak mampu bedakan mana sakit dan tidak sakit. Mati rasa. Bukan, mati jiwa tepatnya. Entah dari mana aku harus bercerita, yang aku tau cuman awalan yang tidak bagus untuk dikatakan sebuah paragrap hidupku berikutnya.




“BELUM ADA JANJI”, “LALU SALAH?”
BUKAN, BUKAN, BUKAN.

            Berawal dari kalimat ini seingatku. Sore tadi, sebuah pesan singkat menubruk di inbox yang sudah mulai penuh dan hampir muntah yang kemudian memberi rasa kecut dalam senjaku kali ini. Tentu aku enggan menyebutkan siapa pengirimnya, yang patut di ketahui adalah sms itu membuatku merasa semakin alergi dengan kata “SELAMANYA”. Kenapa?, karena lagi-lagi aku harus mengingat kata ABADI, atau KEKAL yang nyatanya masih ada batasan waktu yang terkait dengan kata itu. “Akan kekal di dalam Syurga” begitulah penggalan ayatNya. Tapi kekal disini masih memiliki batasan kapan ia harus terhenti. lalu jika sudah melewati kekekalan hidup dan sudah habis tempo aku akan kemana?. Toh kekal saja masih memiliki batas. Otakku mati tak sampai dengan terpasung oleh beberapa pertanyaan rumit.







LAGI!!!,

HARUS AKU SUSUN ULANG PERHURUF, TIDAK KURANG DARI SERIBU KALI.
SEPERTI SORE INI, MASIH KURANG DARI SERATUS KALI.
LAKUKAN, LAGI!!!

            Beralih dari perkara diatas. Kalimat ini aku tulis lebih kurang sepuluh menit setelah aku tulis kalimat diatas. Mewakili pilihan-pilihan yang sukar dan sulit aku pilih, padahal aku enggan untuk memilih. Setelah aku pilih, nyatanya pilihan itu menawarkan pilihan-pilihan lain, sama persis seperti acara di tipi yang memilih nomor lalu bisa mendapat keberuntungan, super deal dua milyar. Namun pilihan-pilihanku tidak semuanya menguntungkan, atau mungkin aku saja yang belum cerdas dan teliti menemukan pilihan-pilihan itu. Aku menjadi parno jika sampai-sampai apa yang aku pilih menyuguhkan pilihan yang jauh lebih rumit. Entahlah, aku harus pertimbangkan kembali. Berhenti dengan mencari jalan baru, atau tetap berjalan seperti sekarang dengan berbagai onggokan pilihan. Susun ulang!!!, dan atau Fikir kembali!!!.


JIKA TAU BERHADAPAN KESAL, JIKA TAK TAU BERHADAPAN DENGAN INGIN TAU.

            Usai hal diatas, iseng aku buka lembaran-lembaran yang mungkin oleh pemiliknya tidak lagi di rawat, sawang dimana-mana, dan debu yang asyik mencumbui lembaran-lembaran itu. “Aku ingin tau isinya” begitulah kiranya otakku memintaku untuk membuka halaman demi halaman catatan-catatan yang tak diurus oleh pemiliknya itu. Lembar demi lembar aku nikmati dengan rasa pahit yang mulai mencekik leherku, tapi tak acuh saja jemari ini terus membuka lembar-demilembar. Tau yang kemudian berhadapan dengan kesal dan geram, entah kepada siapa aku harus meluapkan geram yang mulai kunjung binal. “Maafkanlah dirimu, dan juga dirinya, bukankah itu sekedar catatan masalalu yang semua orang memiliki masalalu. Lihatlah halaman akhir dari catatan itu” Tegur malaikat, entah malaikat atau bukan. Sok mengguriku. Bukan, aku yang sok. Sama persis seperti semalakama, Tidak tau selalu berhadapan dengan ingin tau, setelah tau? ehhh malah besanding dengan kesal. Entahlah.



SEBENTAR!!!

BERI AKU WAKTU UNTUK MENGKAJI DIRI, DAN JANGAN BIARKAN AKU TAU DARI ORANG LAIN.





            


  Sebentar!!!
            Beri aku nafas sekedar aku menikmati separuh hidupku yang mungin tak lagi dalam paruh sempurna. Beri tau aku seperlunya, dan jangan tunggu orang lain menceritakannya tentangmu untukku, padahal aku yang kamu bilang lebih dekat dari yang lain. Jika begitu tak masuk akal jika aku mendengar pengisahanmu dari bibir orang lain bukan?.

Sabtu, 10 Desember 2011

Keluarga Kucing, Keluarga Baru di Kotak Biru. EDSA.

 EDSA, kotak biru dengan sejuta dolar aksi manusia biru. Suasana kekeluargaan amatlaha kental, jauh lebih kental dari susu moo yang biasa di pesan di Kedai Moo yang terkadang keduluan habis "Maaf Susu Habis". Selain itu, EDSA juga memiliki rasa keprihewanan yang tinggi. Ko' bisa?, bisa dong. EDSA memang "aneh" menurutku. Saking hangatnya kekeluargaan EDSA, sampai-sampai kehangatan itu mengundang induk kucing yang tengah melahirkan, dan jadilah ruang dalam EDSA tempat persalinan Induk Kucing yang berhasil melahirkan empat ana kucing.

Inilah hasil penelusuran anak-anak kucing yang sangat Aktif, Kreatif, Inofatif, dan Sangat Manusia (Looh???, tidak, tidak, tidak).

Langsung saja kita tengok aksi anak kucing dari KOTAK BIRU, semoga menjadi inspirasi.



Ini anak kucing pertama, dilihat dari yang paling besar, "Saya mau belajar menulis" begitulah ungkapnya saat kami wawancara. "karena menulis membuat saya di kenang, nun wal qolami wama yasturun" timpalnya lagi sambil berusaha membuka tutup spidol.
Sambil menunggu anak kucing ini kelar membuka spidol, mari kita tengok kucing berikutnya.




Anak Kucing yang satu ini rupanya memiliki jiwa kewirausahaan yang tinggi, liat saja aksinya menjajalkan printer saat kami memwawancarainya. "Mahasiwa juga harus bisa berwirausaha, saya terinspirasi sama Talk Show yang diadakan Ayah-Ayah, dan Ibu-Ibu EDSAku kemarin" paparnya, "Emm TalksShow entrepreneurship" Sambil terbata kucing yang satu ini melafalkan kata tersebut.
Kita do'akan semoga kucing ini kelah menjadi wirausahawan yang sukses, amiin.






Bukan cuman berwirausaha, ternyata kucing yang satu ini juga rajin membaca. Sangat luar biasa sekali kucing ini, sebagai wirausahawan juga sebagai pelajar yang baik, dan sungguh-sungguh. di dapati kabar, kucing ini telah lolos mengajukan PKM, dan sedang mengikuti seleksi MAWAPRES juga. luar biasa sekali kucing ini.

Lihat saja keseriusannya dalam belajar, lembaran demi lembaran iya habisakan, sampai-lampai lebaran-lembaran itu dapat mengubur tubuhnya yang mungil.



Dua kucing yang satu ini berbeda dengan dua kakak-kakak mereka diatas, mereka berdua lebih terobsesi dengan dunia musik. "Kami tertarik dengan BoyBand, SuJu, Shine, GG, dsb. Biarpun kami cuman berdua, tapi kami yakin kami bisa." Tutur mereka saat kami menemui mereka saat sedang latihan untuk ikutan Audisi.
"Awalnya kami cuman dengar-dengar saja lagu-lagu BoyBand melalui Laptop tetangga, Kadang juga Manusia Biru bersenang hati mamutarkan lagu Korea untuk kami, sebut saja Papah Handung, dan Mamah Nisa" jawaban mereka saat kami tanya apa yang membuat mereka memilih terjun dalam dunia BoyBand.


"Ini untuk EDSA, cemungudh yahh. untuk pengurus yang mau Resign, jangan lupakan kami yang. Kami minta maaf kalau kehadiran kami disini menggangu kelancaran kinerja Kalian, Kami sayang kalian. Boleh jadi secara formal kita telah pisah, tapi nyatanya kita tidak aka pisah. untuk yang masih stay, tetep semangat, kami turut mendukung kalian."

Itulah tadi liputan singkat sisi lain di KOTAK BIRU.

Rabu, 07 Desember 2011

Pena, si Pengisah Labirinku [Mu]


Pena, si Pengisah Labirinku [Mu]
Muhammad Zuhri Anshari
muza elfarabi
di Penghujung september tahun ini…

Pena, butiran tintanya tersendat lama benda itu terbujur dalam kotak trasparan membisu. Hanya sudut mata yang seringkali menengoknya hanya untuk memastikan iya baik-baik saja, yah sedencing mata melihat yang tak lebih lama dari kilatan petir.
Dengan pengunci coklat yang semakin menua jadi hitam, yang seharusnya memutih, terkena tinta yang luber disebabkan posisi menjengking. Ujung penutupnya masih nampak kokoh, hanya saja tidak lagi sekencang dulu mengikat ujung katup. Kendur.
Balutan berwarna merah jambu yang di perindah dengan motif-motif hati membuat Pena itu nampak anggun diusianya yang semakin senja. Atau memang balutan itu menandakan iya sudah mati dan tidak lagi menandai pengisahan atau sekedar bercerita tentang kisah-kisah yang dulu membuatnya jaya. Seperti manusia saja pena itu, terbalut kain kafan. Mati.
Pena, yang tak bisa lagi aku pakai untuk sekedar meluberkan seisi hatiku, ruhku, jiwaku, ragaku, bahkan untuk sekedar bercerita hal-hal sederhana tentang kerinduan, cinta, cemburu, kecewa, luka, derita, nelangsa, tawa, canda, atau sekedar untuk aku tuliskan “Aku Mancintaimu”-pun pena itu enggan memaksa dirinya untuk menuliskan apa yang aku kehendaki.
Bakar sajakah Pena itu?
Tidak, tidak, tidak.
Kubur sajakah Pena itu?
Tak perlu!!!
Apa aku masih menyayagi Pena itu?
Iya?, iyakah?
Apakah Pena itu menyangiku?
Iya?, Iyakah?
Tempo hari Pena itu bercerita, “Aku menyangimu”.
Ingat?.
Biarlah Pena ini ada padaku, meski pena itu tak lagi bisa menuturkan kisah-kisah yang aku ingini. Apa aku terlalu egois untuknya?, “Aku menyayangimu, tapi aku tak bisa memastikan kamu pemilikku yang sungguh”. Pena itu melukaiku tempo hari.
Bakar saja!!!
Musnahkan!!!
Kubur!!!
“Bukan, bukan, BUKAN AKU!!!”
Siapa?
“Tanyakan siapa aku?”
Pelangi?
“Entahlah, siapa aku. Tentu kamu mengenalku”
Pena itu masih aku pandangi lekat semabari menekan nut-nut huruf dalam laptop yang dengan tangangku aku cumbui penuh gairah. Sesekali aku melirik Pena itu, mungkin iya juga turut membaca tulisan ini, tulisan tentangnya. Penghianatanku?, BUKAN!!!.
Pena itu aku jejerkan diantara Pena-pena lain. Iya nampak menawan, masih sama saat aku baru memilikinya. Terlalu banyak kisah-kisah indah yang ia tuliskan untukku, terlalu banyak kebaikan yang ia bagikan padaku secara cuma-cuma. Tengok saja labirinku, tinta itu miliknya, milik Pena itu. Jauh lebih banyak dari pena-pena yang aku miliki. Meski cuman sebentar Pena itu membersamaiku, empat tahun. SEBENTAR??!!!, iya sebentar. Hanya seperlima dari usiaku kini. Sebentar bukan?.
Aku kembalikan Pena itu, di kotak transparan tua. Sembari aku hembuskan nafas-nafas panjang. Lagi-lagi. Mata ini aku pejamkan. Tak lagi bisa aku menulis, tanpa mata ini dan Pena ini. Selain tulisan yang nampak di bawah ini. Kau lihat?, “Kau lihat?”.











“Pena, Kamu melihatnya?”
Wahai Hati, inilah aku yang kadang mendukanmu.
Wahai Nurani, inilah aku yang hingga kini masih tuli dengan rengekanmu.
Wahai Diri, inilah aku yang hingga kini masih enggan berbagi.
Wahai Aku, inilah aku yang kini masih sukar meng-Aku-I aku.
Wahai Penciptaku, inilah aku, dan si pena wasilah pengisahku.

Senin, 05 Desember 2011

Aku Simpulkan.


            Teduh rembulan malam ini, atau ia memang malu-malu menampakkan diri?. Anginpun terseok-seok menikmati malam, menyelusup dalam ruang-ruang hampa. Sejuk. meski langit hitam pekat, tapi Sang Pencipta selalu memiliki cara untuk membuatnya indah. Indah, lebih indah dari segala pengimajinasian manusia.
            Jalanan seperti biasanya, mengisahkan jejeran kendaraan simpang siur kian kemari, seperti waktu yang terus memacu masa dan usia, namun waktu lebih unggul dari kendaraan tercanggih manapun, waktu selalu gagah tak terkalahkan. Hingga waktu mengajakku sampai pada malam ini, bersamaan dengan seorang bermata sayu, dan teduh. Berkacamata.
            Kisah-demi kisah terurai melalui kata-kata yang tersimpul dalam kalimat-kalimat indah, seiring dengan pergerakan rembulan yang tepat berada diatas kepalaku tepat saat mataku menatapnya. Teduh. Kalimat itu butuh simpulan, saat sebelum rintik langit berjatuhan menimpuki tubuhku. Iya, simpulan yang belum juga aku temukan setelah deretan cerita yang ia beberkan, gadis itu. Bahkan setelah santapan berbuka itu hampir mengering, dimanakah simpulan itu?. Bingung.
            Bingung. tingkahnya lalu membuatku tertawa geli. Entah lucu, atau saking tak ada respon yang tepat selain tertawa geli. Bukan maksud hati untuk merendahkan, namun aku sendiri turut bingung. Bingung. Ia menjamur jua dalam otakku, semakin bercokol saat sebelum simpulan itu aku temukan. Lalu kemudian diam tanpa seditkitpun kata yang terucap, selain hanya dengusan nafas-nafas panjang. Semakin bingung.
            Aku tengok gelas itu mulai kosong, teh sudah aku habiskan. Tiada alasan lagi untuk bisa aku mainkan hanya sekedar untuk menutupi perasaanku. Perasaan yang mulai makin aneh dan tak bisa aku fahami selain aku hanya sekedar tau artinya “mencintai”, sementara aku sendiri tak punya alasan apa, dan atau bagaimana.
            Aku ingin mengatakannya, saat pilihan itu jatuh padaku. Namun aku tak punya kata yang tepat dan indah untuk sekedar mengatakan apa yang seharusnya aku katakan. Kalimat tanya itu tersendat di kerongkonganku, terjegat oleh canggung yang mulai menyigapku dari depan belakang. Diam lagi-lagi.
            Benda yang biasa iya selipkan diantara telinga dan didudukkan di hidungpun aku mainkan, mencoba mengajak benda itu untuk sekedar memberiku dorongan. Tapi benda itu malah tersipu malu. Diam lagi-lagi.
Simpulanpun aku dapatkan, setelah aku kumpulkan segala sisa-sisa kata yang aku miliki. Sirnalah sudah si bingung pembuat gelisah tepat saat simpulan itu aku rajut dengan kemudian, “Iya”. Vintaka Ratih. Jaga dirimu, hatimu. Ingatkanku, hatiku.

SHALATKU, Shalatkah?


            Seperti apa shalatku?, benar salah?, salah benar?, keyakinanku diambang semu entah kemana keyakinan itu pergi selain hanya tersisa sedikit. Ashar kemarin entah aku ulang berapa kali. Lagi-lagi bacaan itu tercampur tanpa sengaja, antara yang sudah biasa aku baca dengan yang baru saja aku hafal, berulang kali. Dangkal sekali ilmuku, dangkal sekali shalatku, perkara-perkara itu masih menunjukkan kuasa merajamku, merajam shalatku.
            Aku teringat sebuah buku fiksi yang di tulis Tere-Liye, aku tau ini fiksi yang keberanarannya masih di pertanyakan, tapi seditaknya kisah Delisa kecil yang berjuang mati-matian melawan lupa, bencana sunami, dan kehilangan Ibu dan kedua Kakaknya tetap mau menghafal bacaan shalat, bahkan di usianya yang belum di katakan dewasa iya amat teguh untuk menjalankan shalat, ia tidak lagi mengharapkan kalung pemberian Bundanya yang bergantungan “D” untuk delisa. Hafalan Shalat Delisa. Dibanding aku?, jauh tentu. Aku tau Delisa hanya di fiksi, tapi bukan sekedar fiksi, ia hadir dalam kisah nyataku sore kemarin, aku melihatnya, ia berbisik lembut dan menuntunku membaca bacaan shalat sama persis dengan apa yang dilakukan kakak delisa ketika shalat berjamaah dan mengeraskan suaranya guna memebimbing Delisa. Imajikah ini?, duh Robbi.
            Aku pun teringat buku “Hiburlah Dirimu Dengan Shalat; ketika hati gundah, sedih melanda, kesusahan menghampiri, obatilah dengan shalat” buku yang di tulis Al- Ustadz Muhammad Rusli Amin. Aku di buat iri dengan isi buku itu, lagi-lagi aku tidak bisa untuk sekedar shalat tidak terburu-buru apalagi shalat khusu’. Bagaimana bisa aku di hibur?, sementara shalatku masih jauh dari hakikat shalat itu sendiri.
            “Shalat berjamaah agar menjadi orang benar, Belajar agar menjadi orang pintar”, Jargon sakti yang melekat di Laptop nampak sia-sia, padahal Almarhum Romo Kyai Sanusi Babakakan Ciwaringin dengan teguh dan sudah memberi suri tauladan dengan Jargon Sakti itu. Sementara aku?, aku masih jadi ma’mum yang sering ingkar pada imam. Dengan dalih, “Aku rindu “imam-imam” shalatku.”. Innalillahi, duh Robbi.
            Hal itu makin menjadi menjelang pukul lima sore, senja tepatnya, karena matahari sudah lusuh di barat sana. Selusuh bahagia yang kemudian terganti gundah yang terus mencekik sendi-sendi yang aku yakini. Air hangat itu menangir tanpa di pinta ketika aku dapati suara serak nan teduh, Ayah dan Ibu, buncah tergenang membanjiri tawa serta suka kemanusiawian yang aku miliki. Patah kalimatku tak puguh, namun Ayah dan Ibu jauh lebih memahami isakan demi isakan.
            Usai diri cukup tenang, melalui Facebook, “Ang minta nasehat tentang shalat” Pintaku pada sohibku yang sudah sering membimbingku dalam hal-hal seperti ini, Ang Muhammad Adieb. Demikianlah lerainya dalam kegudahan hati.
Mengenai bacaan shalat, memang banyak pernedaan di kalangan ahlul ilmi ai ulama. Sebaiknya, yang sudah diajarkan awal, itu saja yang diamalkan. Hanya kalau pengen mengamalkan yang baru juga tidak apa-apa. Menghafal bacaan shalat yang beda dengan sebelumnya jugakan menambah ilmu dan ga salah.
            Mengenai orang shalat; untuk orang yang sangat awam shalat hanyalah sebagai rutinitas. Ada juga orang yang shalat karena merasa di bebani kewajiban. Ada orang yang shalat karena ingin mendapatkan Surga. Ada orang shalat karena ingin di jauhkan dari Neraka. Ada juga orang yang shalat karena kesadaran diri bahwa dia butuk shalat, jadi tanpa iming-iming Surga pun akan shalat.
            Setidaknya ada tiga golongan:
a.      Shalat orang awam, mereka hanya membaca rukun Qouli tanpa faham artinya. Shalatnya tidak memberi efek mencegah pebuatan keji dan mugkar.
b.      Shalat orang khusus, mereka yang membaca rukun qouli dengan memahami arti apa yang ia baca. Tapi terkadang lisan mengucapkan dan fikiran memahami dengan masih punya hanyalan/fikiran lain selain shalat dalam shalatnya. Salatnya terkadang memberi efek, terkadang tidak.
c.       Shalat orang yang lebih khusus ialah faham dengan apa yang ia baca, meletakkan fikiran dari urusan selain shalat dan hati terus berjalan. Shalatnya memberi efek dan membersihkan hati.
Contoh: Orang yang berdzikir “Subhanallah” atau “Alhamdulillah”
Orang Awam yang penting lisan mengucapkan.
Orang yang khusus/ menengah tau maknanya, tapi banyak tidak berefek karena fikiran dan hati tidak berjalan
Tapi orang Khoas, ketika lisan menyebut “Alhamdulillah” (segala puji bagi Allah.), dia sadar betul bahwa segala puji hanya milik Allah, sedangkan cacian dan hinaan milik dia. Dia sadar akan hal ini, sehingga ketika di caci tidak marah karena kalau marah berarti dia muafik di karenakan makna hamdalah adalah segala puji hanya bagi Allah yang mafhum mukholafahnya hanya cacian yang dia miliki. Tetapi ketika di hina ia marah berarti secara tidak langsung dia merasa punya pujian.
Menurut Gus Mus, dalam islam juga ada kelasnya. Ada yang memahaminya setingkat dengan TK, ada yang setingkat dengan SD, ada yang setingkat dengan SMP dan seterusnya. Kita yang sudah SMP (misalnya) tidak boleh menyalahkan anak SD. Mengapa?, karena dia masih dalam proses. Kita hanya boleh menyalahkan jika dia berfaham salah tapi menyalahkan orang lain dan sudah selesai prosesnya.
Artinya, teruslah kita belajar tanpa menyalahkan orang lain selagi masih di benarkan Syari’at. Memahami makna bacaan shalat sampai meresap dalam hati tidaklah wajib dan jika hanya ada yang melakukannya tidak salah menurut Syari’at. Tapi kita harus menyalahkan diri kita jika tidak bisa sampai meresapi bacaan itu dengan tidak menyalahkan orang lain.
Contoh maqom dalam tasawuf, ketika ada orang yang memberi kita sesuatu, kemudian kita langsung mengucapkan “terimakasih” kepada orang yang ngasih. Maka menurut orang yang sudah dalam maqom tinggi hal ini tidak di benarkan. Bahkan dalam maqomnya Syaikh Abu Yazid al Busthomi hal demikian sudah derajat syirik. Padahal bagi orang awam hal ini tidak salah. Hal ini karena orang yang tinggi maqomnya memiliki keyakinan “Hakekatnya yang memberi adalah Allah, yang menggerakkan dia untuk memberi juga Allah. Jadi sudah sepantasnya mengucapkan Alhamdulillah terlebih dahulu kemudian mengucapkan trimakasih kepada mahluk yang memberi.”.
Demikianlah urai beliau detail, semoga Allah meneguhkan Iman, Taqwa, dan Islam kita. Inna sholatii wanusuki wamahyaya wamamati lillahirobbil ‘alamiin. Wallahu’alambishshowab.

Muhammad Zuhri Anshari
Muza elfarabi

Kisah di 3 Desember, semenjak Muharam ini.




           Kisah di  3 Desember, semenjak Muharam ini.
Pagi ini, teramat cerah mentari memekakan mataku yang kurang tidur sejak saat peringatan International Day Kamis, 1 Desember. Malas rasanya bangun pagi, namun sabtu ini aku harus mandi pagi, sabtu yang biasanya aku malas untuk mandi pagi.
Semangat itu muncul, saat biru yang di hadirkan keluarga Kotak Biru membucah “Ayook Senyum” Pinta Senior yang biasa memanggilku Yuhri. Tentu saja aku harus kembali membuat senyum selaksa pelangi terbalik. Indah.
Semangat itu menggunung, saat sorak sorai riuh perserta TalkShow membawa tawa lebar, tentu saja aku tak mau merubah senyum mereka dengan lelah yang menyuburkan kesal, letih raga, dan capek raga. Hari ini cerah!.
Semangat itu makin kokoh. “Semangat Kak”, “Semangat A’”, Pesan singkat dari dua gadis yang aku sebut De’ meramaikan suasana hati selaksa kicauan burung yang memeriahkan keceriaan pagi. Seperti pagiku itu. Terimakasih De’ untuk pagi ini.
Tepat 08.30, aku pacu kuda besi milik cewek introvert dengan jargon “Semamprettt!!!”-nya menuju kampus 1 yang biasa aku sebut lobi hotel. Entah kenapa aku menyebutnya loby hotel?, sempit, penuh jubalan mahasiswa-mahasiswa. Tapi tentu bukan sempit yang kemudian menyempitkan hati serta wawasan para mahasiswanya. Jadi teringat nasehat Ayahku tempo hari saat aku mengeluh tentang kampusku sendiri “Sangkar boleh jelek, tapi burung harus bagus!”. Aku laju dengan modal “seadanya”, kenapa aku sebut seadanya dengan rasa takut tertilang?, karena aku sendiri baru tempo hari belajar memacu kuda besi, ditambah lagi SIM yang belum berhasil aku kantongi.
Siang itu penuh tawa, lelah terganti sudah saat keceriaan membuncah memenuhi hingg sudut-sudut tersempit ruang Audit. “TALKSHOW entrepreneurship through creative writing with Raditya Dika”, Banner yang bergelatung di panggug dengan biasan cahaya emas lampu yang menyorotnya. Memperindah pagi itu.
“Wah EDSA bakal makin gondes neh setelah Radit” ucap lelaki kurus penggemar kunang-kunang di tengah cekikikan para perserta yang semakin menjadi melihat aksi penulis comedian kambing jantan. Entah mereka sadar atau tidak perutnya yang sakit, karena lawakan-lawakan sang Radit. Belum lagi teriakan-teriakan histeris “Radit,,, Radiit,,, Radit,,”. Huffeettsss. Ramai, asyiik, seru, kocak, gokil, bahkan anarkis histeris (Lebai ah,,,) memenuhi tiap-tiap rongga mulut yang menganga lebar atau sekedar senyum kecil.
“Tulis aja apa yah loe bisa tulis, jelek bukan mesalah. yang penting nulis dari pada ga sama sekali lantaran tulisan loe jelek. Mengapa?, karena bisa aja ketika loe dah terlatih dan ngliat tulisan jadulmu yang jelek bisa kemudian loe perbaiki.” Kalimat yang berhasil aku ingat saat Penulis Manusia Setengah Salmon yang akan terbit tanggal 24 Desember besok di tengah kesadarannya. sisi agak bener tepatnya (Piss bang Radit, hehhehe).
“Dear Blog, hari ini aku ga punya ide untuk nulis, akhir-akhir ini tugas perkuliahan mulai numpuk, jadi ide pun ga  tersita untuk mengerjakan tugas” atau “Dear Blog, Hari ini aku ga punua ide untuk nulis, padahal aku sudah banyak mempelajari tips-tips menulis”, “Nah itu bisa nulis, bisa jadi karena kalian ga puny aide untuk nulis malah kalian berhasil nulis walau sekedar share tips nulis” Celetuk-celetuk Pria kelahiran Jakarta, 28 Desember 1984.
“Hari ini kebanjiran artis” Ucap sekertaris II PH EDSA. “Siang Radit, malamnya Opick. Siang Gondes, malem insyaf.”. Tepatnya kata insyaf perlu di garis bawahi deh, kenapa?, karena yang ada Kita makin menggila di buat Uts. Wijayanto dengan lawakan-lawakan renyahnya yang di bilang mirip Amiin Rais oleh ibu penanya yang tadang jauh dari Kalimantan.
  
Sebelum EDSA merapat ke NADA dan DAKWAH, Saya lebih dulu hadir atas permintaan dari panitia penyelenggara rangkaian Milad UAD yang ke 51. Padahal sesampainya di tempat malah melongo tak karuan dengan Mas Sigit di sudut Green Hall yang membuatku iri. “Kampus ya minimalnya kayak gini, tertata rapih.” Celetukku membandingkan antara Kampus I (Lobi Hotel), Kampus II (Asrama), dan Kampus III. “UAD adalah miniatur pembangunan Inonesia yang tidak merata” Celetuk Senior yang pertama aku kenal di UAD. “Rektornya sama, tapi ko’ terkesan beda tiap gedung.”, “Aku ngitung loh tempat wudhu masing-masing kampus, dan yang paling dikatakan layak memang Kampus 3”, “itu hal yang terkecil yang bisa memberi pengaruh besar. Tempat wudhu lebih tersistematis, tentu manajemen juga bagus.”, “Rektor kitakan sama yah padahal, belum lagi yang katanya yang paling tua adalah FKIP, tapi ko’ mentang-mentang sepuh terus malas diurus.Dan di biarkan begitu saja layaknya bunglon yang merubah diri menjadi coklat terpengaruh usia.”
Demikianlah obrolan saat H-1 TalkShow. “Setidaknya kita ambil positipnya saja, boleh bangunan jelek tapi kita ga boleh ngeluh kemudian ogah menjadi mahasiswa yang prestatif, orang yang Besar berawal dari hal yang kecil, bahkan jauh menderita dari kita”. Kalimat penutup yang kemudian beralih ke obrolan TalkShow.
   
Kembali ke Green Hall “Kampus”, malam ini hendak aku persembahkan sesuatu untuk Nya (Allah, Alhamdulillah), Ayah, Ibu, Adik-adik, Kakak-kakak, Kalian, Kami, Kita, dan Mereka. Piala yang lebih mirip tongkat yang di kenakan di Film Bidadari, yang tentu sederhana dengan tulisan warna hitam, biru dan orange bertuliskan “Juara I MUSABAQOH TILAWATIL QUR’AN; CABANG: PUITISASI TARJAMAH QUR’AN TINGKAT MAHASISWA UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN 1433 H/2011 M”, yang kemudian menjadi suatu yang berharga ketika Engkau meridhainya, Ayah, Ibu, Adik-adik, Kakak-kakak, Kalian, Kami, Kita, dan Mereka yang turut serta mewarnai kisah-kisah hidupku, baik sebagai Protagonis, Antagonis, Figuran, atau sekedar tokoh penggenti, tapi peran-peran itulah yang kemudian berpadu menjadi kisah yang indah. Tentu hal ini bukanlah apa-apa jauh di banding Allah, Ayah, Ibu, Adik-adik, Kakak-kakak, Kalian, Kami, Kita, dan Mereka.
Beberapa jam kemudian EDSA datang saat Opick menaki panggung, akupun bergegas merepat dengan “Keluarga Biru” menuruni anak tangga dari samping Perpustakaan. Kamipun larut nada-nada ilahi, dan sesekali tertawa lepas oleh humor ala Uts. Wijayanto.
Muharom ini, Tere-Liye, Trans 7, Radit, Lomba, Opick. Semoga menjadi jalan ihtiarku dalam pencapaian penghambaan yang Engkau Ridhai.
Alhamdulillahirobbil’alamiin.


Muhammad Zuhri Anshari
Muza elfarabi

Rabu, 30 November 2011

Insomnia?, Entahlah!

Peralihan 30 menjadi 1 yang sekejap aku rasa, cepat, sangat cepat.
Entah aku tak lagi bisa merasakan malam kemarin, dan kini sudah menjadi pagi.
Ataukah memang aku tak punya mimpi saat malam mengajak mereka terlelap?
Atau memang malam hendak memintaku untuk menyakisikan betapa ia sangat indah, di hias rebulan yang tentu saja merona, dan atau bintang bintang yang genit berkedip?

Malam, malam, malam, dan malam yang tiba-tiba menjadi pagi, seperti saat ini.
Aku buntuh mimpi, mimpi agar terlelap nyenyak.

Yahhhhhh, entahlah.
Beraneka ragam dan jenis perkara yang harus di fikir satu-satu, atau dua-dua, ataupun tiga-tiga. Kesemuanya menyolot satu sama lain, tak teratur. Sama seperti tulisan ini, entah puisi, entah epilog, entah deklamasi, entahlah.

Insomnia?
Iya, munkin itu kata yang tepat. kata yang sudah lama aku kenal.
Aku terinsomniakan insomnia, yah Insomnia aku di buat Kahitna.
Entah berapa kali syair itu menyumpal telingaku melalui HeadPhone yang sejak jam 22.30 kemarin, kini (Pukul 01.04), entah sampai kapan.

Dan ini adalah Pengulangan lagu yang ke-46, saat aku menulis ulang syair ini.
Genap


tak tidur semalam
hatiku sakit
bagai bulan temaram
tertunduk sunyi
kau ada di sana
di pelukannya
dan kau genggam tangannya
ingin ku tak melihatnya


yang kau lihat senyumku
tak kau sadari pedihku
namun hancurnya hatiku
kau tak perlu tahu
ku harap engkau bahagia
walau hatiku terluka


akan ku simpan cerita
kau tak perlu tahu
hanya aku yang harus tahu

hanya aku yang harus menghadapi semua
menyimpan rasa kecewa

yang kau lihat senyumku
tak kau sadari pedihku
namun hancurnya hatiku
kau tak perlu tahu
ku harap engkau bahagia
walau hatiku terluka


akan ku simpan cerita
kau tak perlu tahu



hanya aku yang harus
hanya aku yang harus
hanya aku yang harus tahu

Genap yang ke-67 syair ini asyik mengiang-ngiang tersimfoni menyibak seisi jiwaku, fikirku, dan bahkan nuraniku. Yang jadi soal, Apa lagu ini merupakan perwakilan dari hatiku? Aku jawab "Bukan", Lalu?
Sudahlah, biar lagu ini tetap aku putar sampai aku bosan.



http://www.youtube.com/watch?v=W1m-d2uyVfU

Tidak Tahu


Muhammad Zuhri Anshari
muza elfarabi
Tidak Tahu,
Sajak, Padam, dan Si Maaf.
Bukan barang sekelebat kilat ia berkutat, Sebelum padam.
Padam, Padam, Padam, dan Padam.
Maaf, Maaf, Maaf, dan Maaf.
Dan sajak Padam di ujung maaf.
Kamu tau?
Iya, iya tidak, tidak iya.

Tidak Tahu,
Sajak, Faham, dan Si Naif
Bukan barang sedencing lonceng ia mendongeng, Sebelum faham.
Faham, faham, faham, dan faham
Naif, naïf, naïf, dan Naif
Dan sajak faham di ujung naïf
Kamu tau?
Iya, iya tidak, tidak iya.

Selasa, 29 November 2011

HARI BERSAMANYA; RIZA, DINDA, HANY, HILDA, NADIA, DAN ERLIN



HARI BERSAMANYA;
RIZA, DINDA, HANY, HILDA, DINDA, DAN ERLIN

Siang ini agak kurang wajar, tapi Saya palingkan saja perasaan itu. Toh letih lagi-lagi puas mencengkram segala bebas yang Saya miliki. Grrrrrr!. Geram rasanya. Berjubal undangan rapat yang harus Saya hadiri asyik saja bertengger di HP jadul dengan ciri khas no space for new message, tanpa kompromi. Cuman tiga she, ga banyak. Tapi berat.

         Kantukpun datang laksana raksasa buas yang mencanduku dengan dongengan-dongengan indah saat perkuliahan. Wal hasil, interpretingpun tau apa yang di paparkan oleh Ibu Dosen di sudut ruang sempit itu. Sampai pada perkuliahan terakhir di hari ini, bukan kantuk seperti matSayaliah sebelumnya. Melainkan, bingung. Kenapa?, sms itu memintSaya kesana, kesini tanpa padu yang jelas. Menambah dongkol saja hari ini, tapi walau bagaimanapun harus Saya jalani. Harus!.

            Sampai pada putusan, “Saya pilih rapat KUI deh Han, urgen banget. Nebeng Kamu yah Han”, “Iyo jam empat kita ke kampus satu. Kamu ga Kuliah Study Islam po?” Timpal sahabatku, Hany Srihartaya, more than sahabat seh sebenarnanya. hehehe, bukan maho juga loh.

            Langsung deh yah, kelamaan neh. Anggap aja kuliah sudah selesai dengan diakhiri pengumpulan laporan Reading. Yup, lanjut. “Shalat sek, opo langsung kekampus satu ndul, trus shalat disana?” Tawarku pada Hany denga sok menggunakan logan Jogja yang ga Pasih. “Shalat disini aja ndul.” Tegasnya sambil merapikan jemper kesangannya yang sudah kehilangan warna asli, Saya sendiri tidak tau warna asal jemper itu, entah hitam yang kemudian menjadi coklat atau putih yang kemudian mencoklat, tau ah. Tapi bener, Jamper itu sudah setia banget Hany kenakan semenjak pertemuan pertamSaya dengannya di Hall Kampus dulu.

            Tuhkan, ngalor ngidul. Tapi ga papa ding, Lanjut. Seusai shalat, sSaya celanSaya bergetar. Rupanya nada sms mangajakku untuk segera lekat pergi, seperti pesan yang sedang Saya baca. “Segera merapat yah” Kurang lebih seperti itu kalau Saya bahasakan sms yang masuk barusan, tapi ini bukan sms dari KUI. Nah loh?, dari DeCo. Huffttt, “Maf ya Mas, Saya ga bisa datang di DeCo.” Ucapku saat menemui lelaki berkacamata itu.

            “Zuh, ke kos Hilda dulu yah. Ambil Flashdisk” Pinta Hany tepat di sisiku. “Okay, ga papa. Tapi KUI dah dikabari klo kita telat?” Tanggapku sambil merapihkan rambut yang mulai kucal. “Udah ko’, santai saja.”, “Sip.”

            Kampus yang tidak terlalu besar, jadi cepat saja beberapa menit kemudian sudah tepat di pipi jalan raya. Masuk gang, dan “Hilda,” Panggil Hany saat kami sudah tepat berada di mulut pintu yang menganga. “Masuk, masuk.” Jawab Hilda di dalam sana, “Okay”. Hany pun masuk keruang tamu, sementara Saya biasa duduk di sofa bambo yang terpajang di teras dekat pintu.
           
           “Zuh, masuk geh.” Pinta gadis yang termanja, Hilda. (Piss Hil, hehehe.), “Okay, bentar yah.” Jawabku sambil berdiri dan masuk ke dalam. “Zuh, lamaan yah. Flasnya ada di Erlin, dia mau kesini bentar lagi, Saya dah sms KUI juga ko’.” Terang Hany saat Saya baru saja menilik kamar petapaan Hilda. “Iya ga papa Han, Sayakan penebeng yang cukup tau diri, hehehe” CandSaya canggung, loh?. Iyalah,
            “Kalian minum dulu geh, habis ujan gini, masih agak gerimis juga noh” Tawar Hilda sambil melihat kearah pintu. “Yang anget loh Hil” PintSaya dan Hany kompak. “Mau yang mana? kopi?, teh?, atau susu?” Tawar Hilda yang kalahkan tukang angkringan depan kampus.

            Susu hangat ala Hilda sudah tersaji di hadapanku, begitu juga kopi hangat sudah tergendong di tangan Hany. Sementara Dinda asyik dengan film korea yang mulai membuatnya agak feminism. hehehe damai Din, (manis ko’, hehehe).

            Saya rasa aneh, mengapa?, ko Erlin ga juga dating-dateng, dan Hany malah ke kampus dengan alas an mau mengambilkan Helmetku di EDSA. Tapi tak Saya indahkan kejanggalan itu, asyik saja Saya menekan nut-nut TiPi, mainan baru fikirku. Saking asyiknya, Saya tak sadar klo Saya di tinggal sendiri di kamar. Biar sajalah, fikirku, toh suara canda mereka masih Saya dengar dari luar sana.

            “Selamat ulang tahun kami ucapkan” Suara itu mengagetkanku, iya siapa lagi kalau bukan mereka; Nadia, Hilda, Dinda, Hany, Riza, dan Erlin. MatSaya mulai terbelalak saat menatap kotak itu, kue gengan jejeran lilin diatasnya. Ternyata kejanggalan tadi adalah rangkaian dari acar ini, tebakkSaya sekenananya. “Ayook tiup lilinnya” Teriak gadis yang dulu sering Saya panggil Jenong, Erlin. “Ayok, Hilda dan Zuhri tiup lilinnya, ini untuk ulang tahun kalian.” Pinta Nadia.

            Betapa sore ini teramat indah, hari bersamanya, hari bersama Riza, Dinda, Hany, Hilda, dan Erlin. Tentu hari ini takkan menjadi sepesial, jika tidak ada kalian yang membuatnya special. Haru muncul memenuhi jiwSaya, teduh, tentram Saya menatap tawa kalian, tak ada lagi yang perlu Saya tSayati, dan tak lagi sepi.  Saya rindu, dan rindu itu terbayar lunas oleh hari ini. Senyum kalian, tawa kalian, canda kalian, ialah memoles biruku, bahagiSaya.
          
  Hampir saja air meleleh setelah sekian lama membeku, yah kita kebali, kita berhasil keluar dari titik jenuh yang sempat kita alami. Betapa sepinya akringan itu tanpa canda-canda kita dulu, tapi kemarin angkringan itu sudah mulai berwarna ceria.
            “Terus, pokoknya sampe lilinnya mati” Pinta Hany,
            “Iya, sampe lilinnya mati” Suara dari lima orang yang berada di hadapanku dan Hilda.

            “Ayokk terus!” Lilin itu sukar kami matikan, jikapun sudah mati, iya hanya mati suri. Cukup lama Saya dan Hilda menghabisi deretan-deretan lilin tersebut.
            “Ayok, potong kuenya,” Pinta Nadia.
            “Berdua loh, yang pertama yang paling special!”
           
“Ploookk” Cairan kuning itu mengguyur tubuhku, Telur. Sontak semua teriak, dan berlari kian kemari. Ceria, larut dalam tawa sampai akhirnya memberishkan kosan Hilda bersama. hahahhahah.
***
Saya belum make a wish loh tadi, kelupaan gara-gara niup lilinnya susah. Sekarang aja yah?, bolehkan?, boleh yah???, tapi sebelum itu, “Makasih yah Han, Za udah mau ngusahain ngajak si V. Tanpa dia, hari ini tetap indah, karena ada Kita.”, “Hilda, Nadia, Erlin, dan Dinda juga makasih banget yah. Kalian tak ada yang pantas Saya bilang cantik, tapi kalian manis. Manis yang selalu dirindu.” (Gombal nehhhh, wkwkwkkwk)

Pokoknya, kesepesialan kalian dalam hari-hariku tak mungkin bisa aku kisahkan. Semoga tulisan bermanfaat, sedikit memang dibanding kebeikan yang telah kalian beri untukku.
Sebelum aku akhri celotehan ini, Saya mau make a wish yah.
“Ya Allah, Semoga kami bertujuh Engkau ridhai dan Engkau beri tangguh sang Askabul Kahfi, Engkau beri indah selakasa makna TujuhMu”
Amiin.

Selasa, 22 November 2011

BELUM AKU BERI JUDUL

BELUM AKU BERI JUDUL; Ka’ Fajar, dan Ka’ Rizky
Maukah Kalian memeberi Judul?.
Muhammad Zuhri Anshari
                                                                                                 Muza Elfarabi



Rizky Islami, Fajar Winata, dan aku sendiri di tahun 2004 silam. Waktu yang cukup lama untuk di jalani, namun terlalu cepat untuk terlewati begitu saja. Rindu tentu meluap dalam relung jiwa, namun bagaimana bisa rindu itu terobati?, pertemuan?, bagaiman caranya?, apa bisa?

“Peralatan MOSnya biar saya yang buat, Kamu istirahat saja. Liat tuh keringatmu kamana-mana, tenang aja ga akan aku makan ko’.” pinta Ka’ Fajar terhadapku yang saat itu baru saja pulang dari MOS di hari pertama.

Aku ingat kala itu aku masih kekampungan, culun, ga tau kehidupan kota. Grage Maal saja ga tau sama sekali, padahal jarak dari sekolah tidak terlalu dekat. Tapi bukan hal ini yang hendak aku ceritakan.

“Iya Ka’, makasih yah.” ucapku sambil menaikkan celana yang melorot.
“Sama-sama, yang betah yah disini. Kalau butuh apa-apa langsung bilang, ga usah sungkan, kita keluarga disini.” Tambahnya lagi, tentu hal itu sangat sepesial bagiku. Perhatian seorang yang di sebut “Kakak”. Kakak yang benar-benar mengayomi adiknya. Kakak yang menjadi panutan bagi adiknya. Amat indah kala itu, aku rindu.

“Ayok sepedahan” Ajak lelaki itu di suatu sore, Ka’ Rizky.
“Sepedahnya cuman satu, emang bisa?” Tanyaku lugu sambil nglirik kuda-kuda sepeda BMX yang Rizky kendarai.

“Saya bonceng, ayok ikututan?” Ajaknya lagi, “Boleh,ayok” Jawabku lugas setengah malu-malu. Sore itu Cirebon nampak indah, sangat indah. Jalan Pilang, Jalan Wiratama, Jalan Tuparev, Jalan Cipto kami selusuri dengan sepeda. Senja tak begitu menakutkan, bahkan iya seraya mendendangkan simfoni yang siapa saja mendengarnya akan tertawa riang. Sepertiku, dan Ka’ Rizky.

Seiring waktu, ia suguhkan kirah-kisah indah. Tangis lebih sering sepi, karena tawa selalu saja berhasil datang dan kalahkan segala gundah. Kisah-kisah nakal pun menjadi suatu hal yang aku rindukan, kabur saat piket, main bola ga pada tempatnya, menggambar-gambar buah mangga di pelataran, naik ke atap masjid, ngrengek di bikinin gambar, rewel saat dapet PR, dan bahkan kenakalan memprotes pimpinan asrama. Aku ingat kala itu, Pimpinan Asrama mengisi Kultum subuh yang sampai pingsan gara-gara usai mengomentari kenakalan-kenakan yang kami alami. Sadisnya lagi tubuhnya di biarkan tergolek di ruang bilik, tanpa aku tengok sedikitpun. “Biar saja” kesal fikirku kala itu.

Sampai kisah indah itu berahir di malam yang tak mau aku mengingatnya, aku menyesal malam itu aku terlelap pulas. Aku sesali, malam itu Ka’ Fajar pamitan meninggalkan Asrama tanpa aku ketahui, dan tanpa berpamitan langsung kepadaku, selain hanya iya titipkan selembar gambar yang ia titipkan pada Ka’ Agus.

“Zuh, ini dari Fajar. Dia pamit, maaf kayanya ga bisa langsung, dia kasihan melihatmu tidur pulas.”. Ucap Ka’ Agus.

“Kasihan?, Kasahan membangunkan Aku Ka’?, apa Ka’ ga merasa lebih kasihan ketika aku di tinggal tanpa ada suara serta nasehat sebelum kepergian Kakak?, lebih sukar mana Ka’, membangunkan aku tertidur kala itu, tau membangunkan aku dari kesedihan serta kepiluan ini Ka’. Ka’ egois!!.” Gerutuku sekananya dalam hati.

Minggu-minggu berikutnya terasa sunyi, sepi bagiku, ditambah lagi Ka Rizky yang lebih sering diam semenjak kepamitan Ka’ Fajar. Menambah hilang gairah hari-hariku, aktifitas-aktifitas tidak seramai dan seasick dulu. Selain hanya sekedar materi-materi tarikh, atau menterjemah Qur’an di pagi hari. Tiada lawakan-lawakan renyah dari Ka’ Fajar, dan Ka’ Rizky, Tidak lagi ada yang mengatakan “Zuhri, sering lari-lari biar kalau Kultum ga usah pake meja” Ucap Ka’ Fajar saat aku menyiapkan meja kecil sebagai jengkalan tubuhku yang pendek dan kecil agar wajah ini mampu mereka lihat dari depan. “Kamu sih jadi orang kecil banget Zuh,” Timpal Ka’ Rizky, “Sok tinggi kamu Ki, biar pun Zuhri kecil dia ga lebih bodoh dari kamu loh, hahahahaha” Sahut Ka’ Fajar sebelum ia tertawa lepas, “Apa kamu Jar, melihara ko’ lalat.” Balas Ka’ Rizky sambil nunjuk tahi lalat keramat milik Ka’ Fajar yang katanya berkat tahi lalat itu dia makin nampak tampan, “Ga papa Ki, daripada kamu kayak jerapah, otaknya nol, di tolakin terus ama cewek. mending saya, sekali tembak satu, dua, dan tiga cewek takluk.” Balas Ka’ Fajar tak mau kalah.

“Fajar, Rizky udahan bercandanya. Ga mulai-mulai nih kultumnya” Seru Ka’ Agus memacah tawa keduanya.

Sepi kala itu, kultum tersa hambar. Tidak lagi ada jelotehan Ka’ Fajar, yang memang sudah tidak lagi ada. Sementara Ka’ Rizky, disudut sana hanya diam pura-pura menyimak kultumku yang mulai tak berjiwa. Mati rasa, sunyi, sepi, bahkan musnah terlahap mati.


Hingga pada beberapa minggu setelah kediaman Ka’ Rizky yang makin menjadi, sore itu aku di buat terkejut, senja begitu galak merampas senyumku sore itu, sore seusai latihan Paskibra. Ada hal yang ganjil, ada yang kurang, ada yang tidak bisa lagi aku lihat. Sepeda MBX biru kesayangan Ka’ Rizky, tidak ada lagi bola basket di pojok itu. Kemana?, Apa memang Ka’ Rizky belum pulang?, bukannya hari ini biasanya sudah pulang?. dan beberapa sekelabat pertanyaan heran berjubal di otakku. “Mungkin Ka’ Rizky main futsal dulu, terus pulang maghrib nanti.” Tebakku.

Maghrib pun berkumandang, sepeda itu belum juga kembali, bola barket pun tidak ada. Tentu ini menambah kecemasanku.

Mahgrib pun usai, di lanjut Kultum. Hari itu bukan giliranku Kultum, sehingga aku bisa bebas duduk di belakang, tepat di bibir pintu Masjid. Angin tak ramah menampar wajahku di Maghrib itu, namun aku tak acuhkan saja ia menamparku berkali-kali.

Kultum pun usai, Ka’ Rizky pun belum juga pulang. “Ka’ Agus, Ka’ Rizky kemana?, ko’ belum pulang?” Tanyaku ke Ka’ Agus yang tengah membaca buku. “Rizky sudah pulang kerumah, tadi orang tuanya kesini menjemput Rizky. Dia juga nyampein salam untuk kamu. maaf juga katanya” Jawab Ka’ Agus sambil metap mantap kearahku.

“Oh gitu ya Ka’, makasih yah” Ucapku sekenanya sebelum aku beranjak ke kamarku, merintih, menangis sekenanya. Malam-malam besok tak ada lagi yang mengajakku tidur di bawah rebulan, bercerita tentang mimpi-mimpi masa depan, tak ada lagi candaan di bawah rebulan, tak ada lagi. Pergi, Ka’ Rizky atau pun Ka’ Fajar tak mungkin lagi mengajakku tidur mertap keindahanya, rembulan. KeindahanNya, keindahan kisahNya untukku, kita.

Sepi itu akhirnya memberi putusan untuk meninggalkan Asrama itu, Asrama hijau yang mulai tak berpenghuni. Satu-satu pergi, satu-satu entah kemana pergi. Aku tak jua dapati alamat pasti, mungkin Ka’ Rizky bisa aku temui. Tapi itupun sulit, sampai saat ini aku tak tahu iya dimana. Apalagi Ka’ Fajar yang tinggal di Jakarta, Jakarta mana?, itu kabar terakhirnya, yang terbaru? aku tak pernah tau.

Aku menjadi satu-satu yang pergi, Aku pun turut pergi ke Asrama lain, sekedar untuk menenangkan diri. Berharap di Asrama baru aku peroleh kisah indah lain, dan menemukan keceriaanku lagi.
Pertanyaan itu kembali berjubal di tempat baru, Apakah kita musnah begitu saja Ka’?, Aku tak tau dimana Kalian berada secara pasti, apakah kalian tau asrama kita dulu telah berubah fungsi, ibu santun pun entah kemana. kabar terakhir beliau kembali ke Jakarta. Tapi tidak aku temui alamat tepatnya, ataupun sekedar nomor yang bisa aku hubungi.

Bagaimana aku mencari kalian?, mencari sembilah kisah yang pernah kita alami. Apakah aku patut menyalahkan zaman yang pada saat itu HP masih menjadi barang yang sangat asing. Alamat?, alamat-alamat itu sirna begitu saja sebanding dengan sirnanya asrama kita yang beralih fungsi.

Di tujuh tahun setelah perpisahan kita, Aku masih mengingat siapa kita, hal-hal yang pernah kita alami bersama. Aku pun masih ingat lagu yang biasa kita dengar bersama di atap Masjid seusai Ashar, apakah kalian mengingat lagu ini?, The Rain; Dengar Bisikku. Aku masih lekat suara Ka’ Fajar saat menyanyikan lagu ini, yang selalu saja aku cemooh karena suara Ka’ Fajar yang sumbang. Tapi tau kah Ka’?, Suara sumbangmu manjadi indah kala ini, kala aku mengingat peristiwa itu. Ka’ Rizky yang ga mau ketinggalan mencemoohmu Ka’, apakah kalian mengingatnya?.

Malam ini, aku ingin memutar berkali-kali syair ini. Sekedar membasuh gundah serta ingin yang tak kunjung jua aku ciptakan dalam perwujudan nyata. Semoga Allah menjaga Kalian, menjaga kita yang kini terpisah secara jarak yang tidak kita saling ketahui. Berharap Allah beri kesempatan kita untuk bertemu sebelum ruh ini kembali.

THE RAIN; DENGAR BISIKKU

Kadang aku berfikir
Dapatkah kita terus coba
Mendayung perahu kita
Menyatukan ingin kita
Sedang selalu saja
Khilaf yg kecil mengusik
Bagai angin berhembus kencang
Goyahkan kaki kita
Gemgam tanganku jangan bimbang
Tak usahlah lagi di kenang
Naif diri yang pernah datang
Jadikan pelajaran sayang
Dengar bisikanku oh dinda
Coba lapangkan nada kita
Trima aku apa adanya
Jujur hati yang kita jaga
mengapa selalu saja
Kilaf yang kecil mengusik
Bagai ombak yang besar
Goyahkan kaki kita

Genggam tanganku jangan bimbang
Tak usahlah lagi di kenang
Naif diri yang pernah datang
Jadikan pelajaran sayang
Dengar bisikanku oh dinda
Coba lapangkan nada kita
Trima aku apa adanya
Jujur hati yang kita jaga

Bila indahmu tak menghilang
Hentikan dulu dayung kita
Bila kau ingin lupakan aku
Ku tak tau apalah daya


Lahaulawalaquwwataillabillahil’aliyyil’adziim.