Teduh rembulan malam ini, atau ia memang malu-malu menampakkan diri?. Anginpun terseok-seok menikmati malam, menyelusup dalam ruang-ruang hampa. Sejuk. meski langit hitam pekat, tapi Sang Pencipta selalu memiliki cara untuk membuatnya indah. Indah, lebih indah dari segala pengimajinasian manusia.
Jalanan seperti biasanya, mengisahkan jejeran kendaraan simpang siur kian kemari, seperti waktu yang terus memacu masa dan usia, namun waktu lebih unggul dari kendaraan tercanggih manapun, waktu selalu gagah tak terkalahkan. Hingga waktu mengajakku sampai pada malam ini, bersamaan dengan seorang bermata sayu, dan teduh. Berkacamata.
Kisah-demi kisah terurai melalui kata-kata yang tersimpul dalam kalimat-kalimat indah, seiring dengan pergerakan rembulan yang tepat berada diatas kepalaku tepat saat mataku menatapnya. Teduh. Kalimat itu butuh simpulan, saat sebelum rintik langit berjatuhan menimpuki tubuhku. Iya, simpulan yang belum juga aku temukan setelah deretan cerita yang ia beberkan, gadis itu. Bahkan setelah santapan berbuka itu hampir mengering, dimanakah simpulan itu?. Bingung.
Bingung. tingkahnya lalu membuatku tertawa geli. Entah lucu, atau saking tak ada respon yang tepat selain tertawa geli. Bukan maksud hati untuk merendahkan, namun aku sendiri turut bingung. Bingung. Ia menjamur jua dalam otakku, semakin bercokol saat sebelum simpulan itu aku temukan. Lalu kemudian diam tanpa seditkitpun kata yang terucap, selain hanya dengusan nafas-nafas panjang. Semakin bingung.
Aku tengok gelas itu mulai kosong, teh sudah aku habiskan. Tiada alasan lagi untuk bisa aku mainkan hanya sekedar untuk menutupi perasaanku. Perasaan yang mulai makin aneh dan tak bisa aku fahami selain aku hanya sekedar tau artinya “mencintai”, sementara aku sendiri tak punya alasan apa, dan atau bagaimana.
Aku ingin mengatakannya, saat pilihan itu jatuh padaku. Namun aku tak punya kata yang tepat dan indah untuk sekedar mengatakan apa yang seharusnya aku katakan. Kalimat tanya itu tersendat di kerongkonganku, terjegat oleh canggung yang mulai menyigapku dari depan belakang. Diam lagi-lagi.
Benda yang biasa iya selipkan diantara telinga dan didudukkan di hidungpun aku mainkan, mencoba mengajak benda itu untuk sekedar memberiku dorongan. Tapi benda itu malah tersipu malu. Diam lagi-lagi.
Simpulanpun aku dapatkan, setelah aku kumpulkan segala sisa-sisa kata yang aku miliki. Sirnalah sudah si bingung pembuat gelisah tepat saat simpulan itu aku rajut dengan kemudian, “Iya”. Vintaka Ratih. Jaga dirimu, hatimu. Ingatkanku, hatiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar