Selasa, 27 September 2011

Hari Bersamanya; Dan inilah seraut biru keemasanMU



Hari Bersamanya; Dan inilah seraut sejuk birukeemasanMU
Bismillahirrahmanirrahim
Muza elfarabi (Muhammad Zuhri Anshari)
Syukurku Alhamdulillah padaMu,
Syukurku Alhamdulillah Engkau pertemukan diri ini dengan hamba-hambamu yang tangguh
Syukurku Alhamdulillah atas hikmah dan ibrah yang menambah biru serta hijau dalam senjaku.
Syukurku Alhamdulillah atas apa yang kalian ajarkan terhadapku, tentu tulisan yang aku rangkai tak seindah dan tak sesyahdu RomanNya, tak lebih istimewanya kalian manusia tangguh yang aku temui, namun kiranya izinkan aku hendak mengenang kalian dalam hidupku yang entah sampai kapan, saat sebelum kalian usai membaca tulisan ini atau bahkan saat sebelum tulisan ini kalian ketahui
Demi Allah, Dialah Dzat yang maha pengasih lagi maha penyayang.
Semoga kasihNya selalu setia selama hidup kita didunia, serta sayangnya tercurah kepada kita seusai kehidupan yang pertama ini, kehidupan kedua yang hakiki.
Semoga Dia beri kekuatan Pada kita untuk berIstiqamah di jalanNya, sehingga hanya Ridhanyalah yang kita tuju serta menjadi motivasi diri yang takkan pernah usai.

            Roman yang Dia tulis terus dan selalu saja menyuguhkan warna biru yang sejuk dan hijau menentramkan,  tidak hanya sebatas permukaan hidup para makhluk yang Dia ciptakan dengan tanpa sia-sia. RohmanNya menyayangi segala ciptaan, RohimNya menyayangi diri-diri yang mengimani serta mensyukuri nikmat yang iya beri.
“Nikmatnya yang manakah yang mampu kamu dustakan?”. Kisah-kisah yang Dia ceritakan dalam kehidupan seseorang, tidak sedikitpun kurang dari keadilannya, maka kiranya amat terlalu jika manusia menghakimiNya dengan sebutan tidak Adil.
Pagi itu sangat berbeda baginya, Izul. Pagi-pagi sekali dia sudah duduk manis didepan universitas swasta naungan Sang Surya, Sang Pencerah. Dinginnya pagipun dia sambut dengan hangat serta senyum manis, sesekali kedua bolamatanya menyisir seisi jangkauan pandangnya. “Sepi” Gumannya. Belum ada hilir mudik Panitia, yang ada hanya mobil dan motor yang melintas tidak jauh darinya.
“Tiit” Seru 1280 bernada Beep Once kepada lelaki yang terbaring disampingnya dengan begitu setia pasalnya di tangan lelaki benda itu bersarang sangat lekat, persis seorang pasangan kekasih yang di mabuk asmara menggandeng erat tangan pasangannya dengan sangat mesra.
“Zul, Besok mau ikutan baksos ga’?” Isi pesan singgkat dari salah satu panitia OSPEK sehari sebelum hari ini, Sigit.
Wajah yang semula masam kini meranum, “Mau Mas”, Balas Izul singkat. Letih ternyenyak lepas terhempas, sirna. Kembali lagi ia ajak memorinya ke masa yang lebih awal,
“Saya pengen kapan-kapan kepanti” Kiranya begitulah pesan singkat yang Izul kirimkan kepada teman barunya, Fina. “Sama dong, kapan-kapan yuk” balasan pesan singkat Fina dari seberang sana. “Kapan neh, memulai itu sulit loh”, “Tapikan kita harus berani mulai, klo ga mulai kapan tercapainya.”, “Nanti kita ngapain aja yah?”, “Nah itu yang mesti di rancang, hehehe”. Izul tersenyum sesaat mengingat memorinya. Izul masih mengingat salah satu keinginannya saat mula pertama datang di kota miniatur pendidikan Indonesia, Yogyakarta. Istilah nol kilo meterpun membawanya pada pilihan untuk mengambil study di kota yang masih klasik ini. Adalah mengunjungi salah satu panti di jogja.
“Ayok kebelakang dulu, angkat barang-barang” Seru Seorang Panitia PDD yang Izul panggi Mas Sigit.
“Malu Mas, yang lainkan panitia, saya cuman pendamping” Ucap Izul menyuarakan perasaannya sembil menggaruk-garuk kepala diiringi helaan nafas panjang.
“Yaudah ga usah ikut kalau gitu seh” Ledek si Kakak tingkatan Izul sambil ngloyong pergi, “Iya deh iya, aku kesana” Jawab Izul sekenanya.
Angin sepoi menerpa wajah-wajah beralmamater orange, ramah nan teduh, mentari tak begitu galak menyengat kulit. Senyum berpadu serasi dengan semangat mewarnai wajah-wajah tangguh. Mobil agak butut bukan masalah, asalkan hari tidak sehitam asam kenalpot yang dihasilkan oleh pembakaran mesin yang tidak sempurna.
Izul berdiri di bibir pintu mobil sehingga angin memporakporanda rambut serta almamater yang iya kenakan, warna-warna hijau yang di suguhkan alam sekekeliling menghadiahkan keteduhan hati baginya, lelahpun pudar begitu saja. Dan nikmatnya yang manakah yang mampu kita dustakan.
Rumah-rumah ringkih dengan anyaman bambu sebagai tembok sudah memenuhi batas pandang mata manusia. Gersang tanah berpasir, terseok angin sedikit saja debu terhamblur keangkasa, seolah-olah menggambar ia adalah manusia dihadapan Penciptanya bahkan lebih kecil daripada debu tersebut. Senyum dari manusia-manusia yang akan segera menerima sebungkus plastik putih berisi sumbako memenuhi dan menyirami gersangnya lapang, sumringah nan bahagia meski bagi orang yang mampu bungksan itu suatu hal yang biasa bahkan rendah, tapi bagi manusia-manusia itu amatlah memberi manfaat, inilah mengapa manusia diajarkan Penciptanya untuk melihat kebawah dalam hal duniawi, agar supaya selalu mensyukuri sekecil apapun karuniaNya serta saling mengasihi sesamanya dan serta menyayangi karib kerabat saudaranya. Dan sebaliknya, lihatlah keatas dalam hal beribadah dan berbuat kebaikan di jalanNya agar supaya menjadi hamba-hamba hakiki.
Barisanpun mulai terisi penuh, terisi oleh manusia-manusia berhati tabah dengan kupon yang siap ia tukarkan dengan bungkusan berlian di mata mereka kepada armada orange yang sudah memposisikan pos masing-masing.
Seorang anak kecil dengan senyum tulus, ceria tanpa dendam lagi-lagi membuatnya iri. Ia-pun menggendongnya, ia rasakan kesejukan-kesejukan yang mengalir dari hati orang yang ia gendong. “Ade’ bisakah kamu ajarkan kakak ilmu yang engkau miliki?”Gumam Izul dalam hati.
“Ayook pulang” Ajak Sang Ketua Panitia dengan gaya yang khas.
“Deg” degup jantungnya mulai berpacu kecewa. “Ga jadikah kepantinya” Izul membatin diiringi lenguhan nafas berat, itu artinya dia harus menunda kenginannya entah kapan. Tawa yang iya hadirkan tidaklah wajar, kekecewaan merenggut bahagia yang telah hampir mencapai puncaknya. Padahal bangunan itu sudah hampir jadi, namun badai telah mempora-porandakan bangunan itu, jauh lebih getir dari tsunami yang telah meratakan aceh.
Iya masih ingat hayalan-hayalan sebelum ia tidur, dikelilingi anak-anak kecil berlarian riang kian kemari. Canda, tawa yang tentu akan memberi warna biru yang selalu melambangkan kesejukan baginya, dan bahkan dengan sentuhan warna hijau yang mewakili ketentraman. Tetapi hal itu terhapus, dan berganti warna hitam pekat, amat pekat.
Mobil bus kusam sudah memainkan peran dan menerobos celah-celah angin. Omong-omongan rekan-rekan tak ia indahkan, ia asyik dengan imaji yang belum usai semalam sehari sebelum hari ini terjadi saat sebelum mimpi menenangkan imajinya. Ia duduk di bibir pintu belakang, sesekali ia pandangi alam sekitar yang tak begitu ia sambut dengan suka cita. Tak lagi hijau, atau biru, semua nampak senja, senja yang sebentar lagi usai, redup, lalu sirna dan mati.
Sesekali ia ratapi roda kendaraan yang melintas disamping bus, menyadari hidup tak selamanya seindah apa yang diimpikan. Terkadang impian terlampau jauh lebih indah dari kenyataan, namun seburuk apapun kenyataan itu tetaplah miliknya, milik yang tentu saja akan memberi ibrah bagi pemiliknya dari Dzat yang Maha Pemilik. Tentu indah belum tentu disukai, begitupun yang di sukai belum tentu indah, mengapa? karena keindahan yang hakiki adalah Dzat yang Maha Indah.
“Alhamdulillah Sampe kampus lagi, ayok istirahat dulu terus beres-beres” Seru Panitia yang Menjabat sebagai sekertaris. Satu per satu pengena jas orange turun dari bus, wajah lelah telah mengandrungi masing-masing dari mereka. Begitupun dengan Izul, ditambah lagi kekecewaannya yang tidak jadi kepanti.
“Shalat dulu Ka’ biar habis beres-beres langsung pulang” Ajak Nisa, “Iya, bentar ambil sarung dulu” respon Izul sekenanya di tengah gamang, asumsi tidak jadi kepantipun mulai kuat ketika mendapati ajakan Nisa tadi. “Ayok Shalat” Ajak Izul kepada Nisa seusai mengalungkan sarung di lehernya. “Hayuk”.
Beberapa saat sesudah beres-beres, “Aku mau pulang duluan yah” Pamit Izul menenteng tas dan Helm pinjaman temannya. Iya putuskan pulang dan hendak menyendiri dalam sudut labirin birunya, karena asumsinya ditambah semakin kuat ketika di dapatinya Fina keluar ruangan tiga menit yang lalu, pasalnya dari Finalah iya dapati kabar bahwa setelah baksos lalu ke panti, Namun yang jadi pertanyaan yang makin menguatkan Izul berasumsi tidak jadi kepanti adalah “Ko’ satu persatu dari mereka pada pulang yah?”. Atas hal itulah iya memutuskan untuk pamitan, ia merasa sudah selesai sebagai perwakilan dari pendamping dalam acara baksos hari ini.
“Loh ko’ malah pulang De’?” Tanya seoarang panitia yang amat dia kenal, Risvita Rahayu. “Kita mau kepanti loh, mau ikutan ga’?” Tambah Mas Tum.
Birupun mulai bermunculan kembali, subur dan menjadi keemasan. “Beneran?, Yaudah deh aku ikutan” Respon Izul lemes, lemes yang penuh makna. Dibalik itu menyimpan kebahagian yang tiada tara, Iya seolah ingin meneriakkan “Alhamdulillah mimpiku Engkau Kabul Ya Robb” 
Pukul empat belas lewat tujuh belas menit kuda besi memacu menuju Panti Asuhan Bina Siwi, Pajangan, Bantul, Yogyakarta.

Merintih batin, kaku, nanar, nan lunglai, rasanya airmatapun enggan malu menampakkan diri di pelipis. Betapa tidak?, disini tak cuman satu, dua dan atau tiga orang memiliki kekurangan fisik maupun spikis. Tidak sedikit mereka dianggap hina oleh manusia-manusia yang mengakui dirinya sempurna, yang mengakui dirinya memiliki segala atau bahkan manusia yang mengklaim dirinya Nabi bahkan merasa Tuhan sekalipun.
 
“Selamat datang” Bahasa yang terlafazh tidak sempurnya oleh salah satu dari mereka menambah gemetar hati terenyuh, betapa sangat ingin berteriak lantang “Aku begitu sombong dihadapanMU, Aku merasa Angkuh dihadapanMU, betapa tidak? Aku memang lebih normal dibanding mereka, namun nyatanya mereka jauh lebih hebat dariku, dari tubuhku sendiri. NikmatMu yang manakah yang mampu aku dustakan?.”

Kaku, serasa tulang tak mampu tertumpu. Sesak, seakan paru terisak-isak. Sedu, selaksa jantung turut tersedu. “Aku tersesat masuk kampus ini, Aku tersesat masuk kampus ini, aku sungguh tersesat masuk kampus ini” Memori itu terngiang keras dalam dinding kesadarannya, tepat satu tahun yang lalu ia menyuarakan hal itu di depan mahasiswa-mahasiswa baru seangkatannya. Sesal hendak mengulang masa itu dan ingin ia cabut ucapan itu dan mengganti “Alahmadulillah aku berada disini, bersama orang-orang tangguh seperti kalian”, mangapa?. Melalui Orange telah ia peroleh begitu kemanfaatan serta kisah yang sungguh sangat tak ternilai kemewahannya. Sesal jika ia tau disini, Panti Bina Siwi, yang nasibnya tidak lebih beruntung daripada dirinya. Bayangkan saja, disini, mereka memiliki banyak kekurangan, sudah bicara wajar saja sudah sangat hebat, belum lagi kebutuhan pokok yang tak pasti. Namun mereka melakukan hal yang berguna serta bermanfaat untuk diri dan orang lain, sementara disisi lain ada mahasiswa yang sok mengatakan “sesat masuk kampus ini” tanpa malu. Memang apa yang telah dia beri untuk kampusnya, minimalnya untuk dirinya sendiri. Sangat berbeda jauh dengan mereka yang cacat secara fisik, namun hati mereka jauh lebih tangguh dari serdadu tertangguh didunia ini. Lihat saja deretan kerajinan yang mereka buat terjejer dalam almari yang tertu saja membuat iri “Kita yang normal aja rasanya ga bisa bikin hal-hal seperti ini yah” celetuk salah seoarng dari panitia. Belum lagi ternak, kebun sayur serta wirausaha lain yang mereka lakukan.
Bulu kuduk mulai merespon rangsangan perenungan serta sesal yang di putar ulang oleh orang yang diamanahi Pencipta untuk memiliknya, Izul. “Alahamdulillah yah” dengan nada seperti aktris pelantun aku tak biasa terjuntai oleh perempuan berkacamata yang duduk tidak jauh dari Izul menutup memori di masa lalu seorang Izul.



Alhamdulillahiraobbil ‘alamiin.
Aku titipkan kisah ini dalam tamanMu yang indah, seindah hati mereka, seindah ibrah yang Engkau beri melalui mereka. NikmatMu yang manakah yang mampu aku dustakan.


Bersama kalian di P2K; PJ dan Co-Trainer PBI
Dan hari itupun di mulai.

Detik terahir P2K di Asrama UAD, Menanti pemilik lagu Hari Bersamanya.

Panitia dan Co-Trainer Evaluasi yuk, jadikan kesalahan adalah pembelajaran

Dan Syahdupun dimulai, di tempat ini.

Selamat datang di Panti Bina Siwi, sambut hangat salah seorang wanita berhati mulia pada kami.

Mb’ Risvita lagi asyik mengecek buku tamu, dan entah apa yang difikirkan Ai dengan bahasa tubuh memegang kepalanya sendiri.

Ibu menceritakan keadaan panti, haru sedu sedan dan bahagia.

Koleksi kerajinan Anak-anak Panti.
Ayok pada beli yah


Koleksi; Birunya Lumba-Lumba, tentu sebiru sejuk yang ia bawa melalui kebaikan Penciptanya.

Koleksi; Hayoo Panitia maupun Co-Trainer siapa yang bisa bikin kerajinan ini?
jangan mau kalah yah,

Makan lagi ah sebelum ke kebun, hehehe


“Ibu saya mau naik sepeda, ibu naik motor aja” kiranya begitulah pinta gadis dalam Foto kepada Ibu saat sebelum ke Peternakan, Kebun, dan Toko sederhana.

Peternakan yang mereka kelola

Ibu menjelaskan cara membuat emping

Dapur untuk membuat emping


Mari berkebun; mereka bertiga, jadi inget Riza dan Hany. Dah lama yah kita ga jalan-jalan bareng, hehehe.
Perpaduan yang serasi; Ada yang menyirami, menilik keadan tumbuhan dan merapihkan tempat tanam.

“Ayo mencangkul Mba” hehe, yang lagi nyangkul ini dia memiliki ingatan yang sangat tajam, “Coba saja kalian sebutkan nomor HP kalian kepanya, terus beberapa hari kedepan kalian datang dan mintalah untuk menyebutkan nomor yang pernah sebutkan, dia akan ingat” Tutur Ibu pada kami.

“Ayuk kita sirami biar subur dan bisa mencegah globalwarming”, *Lohh?

“Mas Tum mau berkebun atau mau ngajakin paduan suara yah?” hehe

Nah ini salah satu ternak mereka, Angsa.

“Ayo Mas-mas dan Mba’-mba’ beli, enak plus murah loh” Kiranya begitulah.

“Aku buatkan buat Mb’ minuman yah, pasti mb haus”

Humm, enak yah. “Pada Makan apa yah?, ko rasanya ga terjual di toko?” hehehe. “Thanks ya Teh Epa”.

Mari kita abadikan melalui foto bersama. “Mas Tum ko’ ga ada yah?, ulang tahun seh jadi dikerjain di suruh memoto deh” (Padahal bukan hari ultahnya, hehehe)

Aku titipkan kisah ini dalam tamanMu yang indah, seindah hati mereka, seindah ibrah yang Engkau beri melalui mereka. NikmatMu yang manakah yang mampu aku dustakan.











2 komentar: