SEBUAH HARAPAN di TITIK TERBALIK
Muhammad Zuhri Anshari
Muza Elfarabi
Kurindui sebuah nama.
Nama yang menggaung di labirin biru, nama yang lekat di kota singgahku, singgahmu, dalam sejuk biru merdu meranum keperakan. Sebuah nama yang selalu mendayu LafazhMU, nama yang sempat Engau beri kesanggupan mencairkan kebekuan diri, hati ini.
Tentang sesuatu yang belum sepenuhnya aku fahami atas syair yang Engkau siratkan dalam sajak-sajak hidupku, sebuah bait yang selalu menggaung dalam serambi seorang diri ciptaan-Mu.
Namun tetap saja aku yang ini, yang berharap maqom kemafhuman atas sajak hidupku sendiri. Sesungguhnya hidayah adalah milik-Mu, ku mohonkan agar senantia hidayahkan diri dengan cinta-Mu yang hakiki.
Masih bercerita tentang Pelangi, yang terus membiru hati dan jiwa serta diri. Gadis berjiwa teguh yang terus mengalirkan ketenduhan atas lafazh-lafazh yang terlisan tanpa kata. Wajahnya yang kini tak sanggupku ratap sempurna, namun suaranya masih saja menggaung indah dalam masaku yang kini sudah mulai terkurangi. Semoga Sampai tergaung sahdu menuju hakikat kemuhabbaan.-Mu.
Matahari nampak senja dimata Reza yang kini terdiam membatin menghadap sebuah bangunan hijau yang mulai menua namun tetap gagah, Aula. Kisah-kisah lawas pun turut serta bersimfoni memenuhi seisi otaknya. Bersahut satu sama lain, merenda serta membingkai adegan-adegan yang nampak nyata di hadapannya.
Pagi itu di ingatnya lekat, terahir kalinya iya menatap gadis yang ia sangat cintai. Memar hatinya kala itu. Namun takdir tak mampu elakkan untuk menambah usia kebersaan bersama gadis yang ia sebut Pelangi. “Pagi ini amat indah sekaligus menyedihkan bagiku, kamu tau kenapa?, tiga tahun bukan hal sebentar sekelebat waktu, meski aku tau lisanmu masih terkunci untukku, untuk hati ini. Kau tau betapa sangat bahagianya ketika aku menganalmu, menentramkanku di hari ini di hari saat kamu mendendangkan shalawat. Bukan karena suaramu, entah ada sesuatu yang mengalir sejuk dalam relung jiwaku kala itu.”
Air mata haru mulai turut pelan di sela pipi keduanya, hening kala itu. Burung seolah enggan berkicau, mungkin burung-burung itu sibuk menyimak nada-nada yang mulai meranum dari dua insan yang ia saksikan di bawah rindang bangunan itu. Tiara pun turut khusuk mendengarkan kalimat-kaliamat yang di rangkai Reza untuknya.
“Za, terimakasih atas segala yang engkau berikan kepadaku, begitu banyak pelajaran berharga yang aku dapatkan darimu. Semoga Sang Pemberi membalas dengan yang lebih baik. Za kamu tau selama ini hatiku tak bisa serupa dengan apa yang kamu rasakan terhadapku, selain sayang. Aku tak tau apa ini, aku tak berani menyatakan ini cinta, fahamilah”
Hingga kini hati terjejali kerinduan yang tak sanggup tertepikan oleh Reza. Seakan berlayar menyisir samudra seorang diri. Hingga benci itu terlahir, tapi kebencian justru menjadi pemanis bagi hati yang masih di hadapkan dengan cinta yang meski sepenggal pengisahan. Sesaat raga hendak campakkan rasa itu, tapi jiwa tak sanggup bila di akhir menimbah derita.
Malam menjadikan mimpi yang suram, persis seperti kenyataan yang selalu terebut oleh serdadu mimpi-mimpi yang iya ciptakan tanpa sadar, jika begitu nyata yang ia harap sirna sekejap. Tangan dan kaki tentu mampu berbohong untuk menafikkan cinta itu. Namun hati takkan mungkin. Malam dan siang sudah semakin jelas, sejalas luka dan suka.
Bait-bait syair menjadi teman setia di barengi dengan cumbuan mesrah tinta-tinta hitam yang mengelamkan serta tinta biru yang mengharu, karena cinta masih sebatas mimpi. selaksa sebuah sudut harapan titik terbalik.
“Toh sejatinya di dunia ini tidak ada cinta hakiki, rohmat ta’dzim hanya milik Allah pada orang-orang yang di pilih-Nya. manusia hanya mampu memberi mawaddah pada sesama, itupun tak setulus para rasul dan waliullah.” Kalimat yang berhasil Reza ingat kuat dari sosok anggun Pelangi, Tiara. Sejak sebelum detik mulai enggan mengenankan pertemuan keduanya di dua tahun yang lalu.
Gemericik waktu mengalir beriringan dengan sulur-sulur kisah yang terus meramaikan kesunyian. Dunia adalah cerita dan manusia adalah jemari yang di beri kasempatan untuk menjadi penokohan atas cerita-cerita tersebut, mengalun dalam dendang diri pada makna hakiki ataukah tersia dan mati. Dan cerita itu, akan terus bersimfoni. Siapa yang masih setia mengalunkan setengah nada atau penuh paruh nada, atau bagi pemilik penuh nada, sedang seorangpun selalu menemui jenuh dalam jalan-jalan semu, bersama hati yang mengalir kesemuan rindu. Seharusnya tiada lagi kerinduan yang tersesat, terkecuali pada Penghambaan terhadap-Nya.
Seiring angin bergemuruh. Kedewasaan mulai membingkai dalam penuaian diri yang hendak utuh, karena keutuhan hanya milikNya semata.
Tereduksi sudah darah dalam tubuh, sementara kepala masih sanggup mengisahkan keindahan yang Reza dihadiahkan dari Sang Pencipta. Sebuah unsur berbahaya ,natrium, akan berubah menjadi suatu hal yang amat nikmat, yang dengan sedikit percikan sedikit air unsur tersebut akan meledakkan dirinya. Tapi disisi lain ia berperan merangsang reseptor lidah, natriun clorida. Terlalu ilmiyah rasanya, namun begitulah kuasa-Nya yang maha indah. Sesuatu yang buruk, tidak selamanya tak berguna. Begitupun hal yang indah takkan selamanya berguna. Sungguh tiada sesuatu apapun yang Allah ciptakan sia-sia.
Tubuh itu masih kokoh tegap berhadapan dengan Aula. Dihela nafasnya panjang mengomando oksigen bergerak kekepala, terdiam. “Biarlah pelangi tetap hadir ketika mata ini terpejam, mengubah kesayuan kedalam kebiruan yang terus saja aku harap menentramkan, dan menenangkan. Bersamaan dengan jiwa teduh yang aku rindukan.”
Wajahnya mulai tertunduk, jemari nampak tergeletak lunglai, lututpun mulai menekuk berlahan. “Brukkk” Lututnya beradu dengan teras. Tangisnya mulai membuncah bersamaan nada yang ia suarakan dengan amat berat.
Hasrat bersua, waktu tak kunjung tiba
Air meluap, aku dan kau terhadap
Bencana bagiku, biasa bagimu
Senja itu menuai darahku, Cinta
Genderang menabuh, terpukau aku
Nafas terbuang, semakin larut
Balut saja luka ini di sudut
Adakah aku disudut hati
Lagiku tanya, adakah aku di sudut hati
Terbawa bila, memutar dunia
Lambat laun menjadi menahun
Bibir Reza kaku, sementara batinnya masih meriak “Keteduhan diwaktu itulah yang aku rindu, meski tiada kata yang bisa terlisankan. Senyum yang terurai sanggup menentramkan jiwa yang terlumat kesunyian yang tersekian lamanya. Semoga di episode masa berikutnya takdir-Mu menjadikan diri ridha dalam cinta yang pasti indah pada akhirnya. Selama Engkau yang membimbing hati ini, seberapa perih harapan yang hanya memiliki titik terbalik.”
“Berserakan daun-daun
Barulah terjamak sudah.”
“Biarlah senja terus menampakkan dirinya dihadapanku, walau tanpa bisa aku temui Pelangi sekalipun di ujung masaku nanti. Aku tahu, hanya Engkau takdir diri ini.” Kalimat terahir sebelum terganti isakan-isakan kecil nan berat bersenandung subur.
Tiba-tiba Reza terbelalah manatap Aula, ada lantunan syalawat di lima tahun yang lalu. Teramat kecil suara itu, di sisirnya Aula dari kejauhan “Ya uhailal hubbi judu mughroman, wafa ilaikum kultu ya ahba bu’udu kullu amani ‘alaikum,” Syalawat itu seolah terdengar semakin jelas, telinganya amat akrab dengan nada klasik langitan. Tapi bukan Tiara, atau Pelangi. Lalu siapa?.
“Aghfirni Robbi, Bolak-balikkan hati ini hanya padaMU, jangan Engkau biarkan aku kelam dalam kegelapan nafsuku sendiri.” Kalimat sesaat sebelum Reza melangkahkan kaki meninggalkan Aula itu.
Terima kasih atas partisipasinya, akan kami beri info selanjutnya.
BalasHapus