Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 16 Juni 2012

SENJA DI PENGHUJUNG RAJAB KETUJUH




Muhammad Zuhri Anshari

“Aku memamng tak pantas bersanding dengan wanita baik. Namun terkadang aku berfikir adakah wanita yang mau menerimaku dengan segala kekuranganku untuk menjadi imamnya.” Ucap Izul pelan, seiring angin yang ramah menyapa kalimatnya barusan.
Cahaya keemasan menerobos celah jendela sore ini, membasuh tubuh yang tengah khusuk berdiri didekat jendela. Meratapi setiap gerak gerik orang yang sedang asyik bercada ria dibawah sana, di lihatnya segerombolan anak kecil tertawa riang menjelang senja ini. Senja di bulan Rajab ke-7.
Angin yang riang berusaha menghibur siapa saja yang dia lewati, termasuk Izul. Tawa renyah anak-anak dibawah sana menggiurkan dirinya, sekaligus menyuguhkan sesak yang kian merasuk menusuk rongga hidup yang masih mubham [Istilah yang digunakan dalam ilmu nahwu yang menunjukkan arti belum jelas] dihadapannya. Angin masih berayun-ayun, menyelusup dalam ruang-ruang hampa, dan bersuka ria. Sejuk. meski langit mulai pekat, seiring senja yang mulai menutup cahaya.
Jalanan seperti biasanya, mengisahkan cerita dalam simpang siur kehidupan kian kemari, seperti waktu yang terus memacu masa dan usia, namun waktu lebih unggul dari kendaraan tercanggih manapun, waktu selalu gagah tak terkalahkan. Hingga waktu mengajaknya sampai pada senja ini, hingga ramadhan ketujuh dari pengharapan yang masih dipenuhi kemubhaman.
Enam huruf yang merubah keangkuhan menjadi kesederhanaan, enam huruf yang mengajarkan hidup. Nindya. Gadis itulah yang memetamorfosis kehidupan Izul, Enam huruf yang mengajaknya pada enam keimanan terhadap sang pencipta. “Yakinlah, apapun yang terjadi kepada kita nanti merupakan keputusan terbaik dari Allah. Dengan cara seperti inilah saya menjaga kemurniannya, tidak ada yang perlu kita takuti, keputusan Allah tidak akan menyakiti” kalimat itulah yang menyihir kematian hati menjadi hidup.
Lafazh surat Al-Isra’ yang pernah dilantunkan Nindya saat Peringatan Isra’ Mi’raj 1426 H yang kemudian menjadi Rajab pertama pertemuan Izul dengannya masih teringat jelas terngiang sampai pada saat ini, Rajab 1433 H. Rajab ke-7.
Lafazh yang mengantarkannya pada keteduhan, ketentraman, dan keindahan. Tidak hanya itu, melalui lafazh itu kemudian menumbuhkan cinta serta rindu terhadap Nindya, yang berhasil menyibak kabut ketakutan ketika senja datang, senja yang menyakitkan.
Enam huruf menumbuhkan tiga kata – khauf (takut), roja’ (harap), khubb (cinta)- dalam diri Izul. “Aku tau takdirku atas-Mu, bahkan bertemu atau tidak aku dengannya adalah rahasia-Mu. Lalu bagaimana jika benar yang aku takutkan selama ini terjadi?, ketika orang lain yang Engkau takdirkan bersamanya. Tentu jika tanpa Cinta-Mu, aku terjatuh dalam lara yang teramat mendalam, sesak yang merongrong secuil imanku, dalam gersang yang menggerogoti taqwaku yang tak seberapa, dan dalam gundah yang bisa saja aku melenakan-Mu.” Sayup kalimat itu terdengar dari tubuh yang mulai lelah.
Senja mulai menjemput malam, ketika mentari sudah semakin habis dan beberapa lampu rumah di dusun itu sudah dinyalakan. Sebentar lagi maghrib berkumandang dari surau yang tidak jauh dari tempat Izul saat ini.
Senjapun mulai mengembang. Mentari sudah tidak adalagi disana. Sementara itu rembulan malu-malu menampakkan diri. Senja yang mulai mengembang seiring tubuh Izul yang mulai lelah meregang. Mata yang mulai sayup sering kumandang maghrib yang terdengar sayup-sayup. Lalu kemudian senja itu mengantar Izul kepada Dzat yang dia rindukan, Dzat yang menghadiahkan pertemuan dengan seorang gadis yang mendekatkan dirinya pada Dzat yang telah menciptakannya. Allah.
Sosok itu terbang dengan wajah sumringah. Kenikmatan cinta terus mengalir deras hingga nafas tak mampu menjegalnya. Ketika tidak seorangpun mampu menerima cintanya, maka Dia menemuinya dengan cinta serta mengajaknya menuju keharibaan cinta yang sesungguhnya.
“Bruuk” Tubuh itu beradu dengan lantai, sehelai kertas yang telah menjawab kemubhaman atas penantiannya pada Nindya turut melambung kelangit-langit seolah turut mengantarkan kepergiannya. Sehelai kertas tertuliskan “Annisa Nindya Putri dengan Yanuar Iman Anshari”.
Sehelai kertas jatuh mentup wajah Izul. Wajah yang menyisakan senyum, seiring takdir yang telah diputuskan-Nya. Bidadari menyambutnya dengan gembira, “Selamat wahai Hamba Allah yang didalam hatimu ada cinta yang mendalam untuk-Nya. Sesuai janji Allah, ketika tidak ada lagi naungan selain naungan-Nya di yaumil mahsyar nanti, maka dengan cintamu yang suci menjadikan naungan atasmu sebagai kado terindah dari-Nya untukmu.” Amiin.

Selasa, 20 Maret 2012

Sekejap, Buahkan Rindu


            Tajam tatap mentari pagi ini, menyengat siapa dan apa saja yang dapat dijangkaunya. Angin kali ini kalah peran dengan sengatan mentari yang teramat ganas, atau mungkin jubalan siswa-siswi yang seliwarseliwir kian kemari menyumbang hasil pembakaran kalori dalam tubuhnya dan membuat atmosfir sekolah ini memanas.
            Lelaki itu keluar dari perpustaakan terburu-buru, ingin segera temui seorang siswi yang sempat sebal terhadapnya saat masa orientasi dulu. Zakiya, Qiqi adalah sapaan akrab gadis kecil itu. Gadis kecil berhati lunak, gadis kecil yang selalu setia mendengarkan kisah-kisah Pelangi dalam hidup Izul. Entah sudah berapa jilid jika kisah Pelangi itu di bukukan, atau satu halaman kertaspun tak sampai karena ketika saat menuliskan kisah Pelangi tersebut mendadak kaku jemarinya. Namun roman ini amatlah sempurna Dia tuliskan bagi setiap hamba-Nya.
            “Teteh takut kamu di jauhi teman-teman de’, lantaran Teteh hanya sepenuhnya menemuimu saja. Asal tau saja, Teteh ingin berbincang banyak denganmu de’. Tapi hal tadi menjadi alasan mengapa kemarin saat Teteh ke Pesantren tidak secara akrab berbincang denganmu De’, percayalah Teteh sayang sama Ade’. Jangan siksa Teteh ataupun Ade lantaran hal ini yah.” Izul membuka pembicaraan yang langsung di sambut airmata, gadis itu menangis.
            Keduamatanya menatap penuh sahdu gadis dihadapannya, tangis itupun sedikit mereda. “Iya Ka’, Qiqi percaya ama Teteh.” paparnya sambil terisak. Pembicaran pun kembali bertemakan Pelangi, dan menjadi bahan obrolan yang renyah antara keduanya, Izul dengan Gadis kecil itu.
            Dua tahun berlalu begitu saja tanpa tatapmuka, kalau pun ada petemuan itu hanya melalui media sosial, itu pun tidak berlangsung lama. Berbeda dengan hari ini, keduanya bertemu dan kembali menceritakan kisah tentang Pelangi. Pelangi bagi Izul.
            Kenangan itu kembali bersimfoni mengiringi cerita-cerita tentang Pelangi kepada gadis yang kini duduk disampingnya. Matanya kini pekat menatap Ruang Kelas di samping kanan Perpustakaan dari sudut pandang Izul yang membelakangi arah barat. Cerita Pelangi di limatahun lalu pun bervisual dimatanya, detail, tak satupun terlewatkan dan nampak seperti nyata.
            Kalimat-kalimat yang Izul sodorkan pada adiknya nampak tak ia sadari, bagaimana tidak fikirannya kini ia gunakan untuk memvisualisasikan kenangan-kenangan itu. Sampai pada kalimat yang membuatnya kembali pada kesadaran, “Kakak tuh sama Teteh, bukan dengan yang lain,” Izul pun mengamiinkan kalimat tadi dalam hati. Pasalnya Pelangilah sosok yang mewarnai hatinya sampai saat ini, biarpun tak sering perjumpaannya dengan Pelangi, atau bahkan tidak pernah dalam kurun waktu dua tahun terakhir ini. Tapi hal itu tidak menyudutkan perasaan yang nyatany semakin subur untuknya, Pelangi.
            Musholah, obrolan pun berpindah tempat. Ketika mentari jauh lebih terik dibanding sebelumnya, Seusai shalat Dzuhur, keduanya duduk di serambi musholah. “Kakak dulu kalau istirahat ke-2 Fullday biasanya disini, dan menunggu Tetehmu lewat,” diliriknya lagi gadis kecil yang sudah menjarah HP jadulnya itu untuk bersms ria dengan sang Teteh, padahal gadis itu sudah tau bahwa kebiasaan Izul adalah menunggu Tetehnya lewat saat waktu pulang sekolah, danatau menunggu ketika masuk sekokah “biasanya Teteh lewat situ”, menunjuk lapangan depan Pendopo, “atau biasanya lewat depan sini” menunjuk lahan kosong depan Musholah. “Aneh yah”, timpalnya lagi sambil senyum-senyum kecil. Indah.
            Senyum sang gadis mendengar celotehan Lelaki di sampingnya yang mulai senyum-senyum sendiri. Aneh. Karena tepatnya bukan nunggu untuk sekedar bertemu atau minimalnya menyapa, tapi sekedar memastikan tetehnya pulang atau belum. Sesekali memang menyapa, atau sekedar jalan pulang bareng, itupun amat sangat jarang.
            “Itu Teteh De’”, “Kakak pulang aja yah, ga berani nih. Wahh ko jadi inget dulu, sering kebetulan make warna pakean yang sama, atau persis.” tutur Izul yang matanya tertuju pada Gadis yang memakai Kerudung coklat cerah, dan pakaian yang di dominasi coklat. Persis dengan pakaian yang dia kenakan. Kebahagiaan itu sedikit terbangun hanya dengan “Kebetulan memakai warna sama.”. Salah tingkah.
            “Kakak ga boleh gitu tuh, masa pulang?” sergah Qiqi yang mulai senyum-senyum melihat kedatangan Tetehnya, dan disusul senyum Izul.
            “Kak, Teteh ke Teh Evi dulu. Ini sms dari Teteh.” sambil menyodorkan HP, “Kakak pulang aja deh kalo gitu.” sedikit kecewa, “Ga boleh Kak,” tahan Qiqi, “Ayook kedepan Al Mun,”, “Ayyok Kak” Ajaknya lagi. “Oke-oke, lewat AULA aja yah, biar cepet,” tawar Izul. Rupanya ia sengaja untuk lewat AULA, hari ini tak ingin ia lewatkan begitu saja tanpa sempat menengok kembali dirinya di masa lalu dengan sosok Pelangi. Tangga radio, Perpustakaan, X-1, Bibir Pintu FD, Pendopo, Kelas Bahasa, dan AULA.
            Pertemuan singkat yang masih bisu, senyap, dalam ruang yang tak begitu lebar untuk manampung lebih kurang sepuluh orang. Kalimat seolah mati begitu saja, selain kalimat-kalimat sederhana sebagai pengisi kekosongan.
            Kerinduan mulai terkikis seiring durasi pertemuan tersebut, dan berbanding terbalik dengan rasa cinta di hati yang kini makin meninggi. Pelangi itu nampak begitu ramah lagi menentramkan diri,
Saat durasi jam tak benar menunjukkan waktu. Amat sangat singkat pertemuan setelah 2 tahun silam, ada lafazh yang ingin terurai sebagai pelebur "kemubhaman" tapi lagi-lagi Pelangi hanya sekilas menyibak mata yang merindui hadirnya.
Setelah itu?, perpisahan untuk kesekian kali. Kerinduan sudah barang tentu membuncah raga, begitu pula dengan cinta yang kini semakin menguat di hati. Tentu cinta itu menyandra hatinya, betapa tidak terhingga kenikmatan pertemuan itu biar barang sekejap. Belum tentu esok bisa bertemu, atau kemungkinan lain yang menghalangi pertemuan di kemudian hari sekedar mengobati kerinduan.
Tidak hanya satu atau dua malam penuh syahdu ketika Pelangi hadir, gelisah menanti kegadatangannya. Rindu yang kian kuat menagih diri, sosok yang akan selalu di ingantnya dalam labirin yang dia ciptakan sebagai tempat menyimpan segala pelajaran yang dia peroleh melalui Pelangi.
“Semoga esok Engkau meridhaiku untuk bertemu dengannya lagi, ada suatu hal yang hendak aku sampaikan. Semoga Engkau jaga hati ini pada jalan yang Engkau ridhai. Dan semoga dengan cinta ini aku bisa menjadikan utuh atas penghambaanku.”

Jumat, 18 November 2011

SEBUAH HARAPAN di TITIK TERBALIK



SEBUAH HARAPAN di TITIK TERBALIK

Muhammad Zuhri Anshari
Muza Elfarabi


Kurindui sebuah nama.

Nama yang menggaung di labirin biru, nama yang lekat di kota singgahku, singgahmu, dalam sejuk biru merdu meranum keperakan. Sebuah nama yang selalu mendayu LafazhMU, nama yang sempat Engau beri kesanggupan mencairkan kebekuan diri, hati ini.

Tentang sesuatu yang belum sepenuhnya aku fahami atas syair yang Engkau siratkan dalam sajak-sajak hidupku, sebuah bait yang selalu menggaung dalam serambi seorang diri ciptaan-Mu.

Namun tetap saja aku yang ini, yang berharap maqom kemafhuman atas sajak hidupku sendiri. Sesungguhnya hidayah adalah milik-Mu, ku mohonkan agar senantia hidayahkan diri dengan cinta-Mu yang hakiki.

Masih bercerita tentang Pelangi, yang terus membiru hati dan jiwa serta diri. Gadis berjiwa teguh yang terus mengalirkan ketenduhan atas lafazh-lafazh yang terlisan tanpa kata. Wajahnya yang kini tak sanggupku ratap sempurna, namun suaranya masih saja menggaung indah dalam masaku yang kini sudah mulai terkurangi. Semoga Sampai tergaung sahdu menuju hakikat kemuhabbaan.-Mu.

Matahari nampak senja dimata Reza yang kini terdiam membatin menghadap sebuah bangunan hijau yang mulai menua namun tetap gagah, Aula. Kisah-kisah lawas pun turut serta bersimfoni memenuhi seisi otaknya. Bersahut satu sama lain, merenda serta membingkai adegan-adegan yang nampak nyata di hadapannya.

Pagi itu di ingatnya lekat, terahir kalinya iya menatap gadis yang ia sangat cintai. Memar hatinya kala itu. Namun takdir tak mampu elakkan untuk menambah usia kebersaan bersama gadis yang ia sebut Pelangi. “Pagi ini amat indah sekaligus menyedihkan bagiku, kamu tau kenapa?, tiga tahun bukan hal sebentar sekelebat waktu, meski aku tau lisanmu masih terkunci untukku, untuk hati ini. Kau tau betapa sangat bahagianya ketika aku menganalmu, menentramkanku di hari ini di hari saat kamu mendendangkan shalawat. Bukan karena suaramu, entah ada sesuatu yang mengalir sejuk dalam relung jiwaku kala itu.”

Air mata haru mulai turut pelan di sela pipi keduanya, hening kala itu. Burung seolah enggan berkicau, mungkin burung-burung itu sibuk menyimak nada-nada yang mulai meranum dari dua insan yang ia saksikan di bawah rindang bangunan itu. Tiara pun turut khusuk mendengarkan kalimat-kaliamat yang di rangkai Reza untuknya.

“Za, terimakasih atas segala yang engkau berikan kepadaku, begitu banyak pelajaran berharga yang aku dapatkan darimu. Semoga Sang Pemberi membalas dengan yang lebih baik. Za kamu tau selama ini hatiku tak bisa serupa dengan apa yang kamu rasakan terhadapku, selain sayang. Aku tak tau apa ini, aku tak berani menyatakan ini cinta, fahamilah”

Hingga kini hati terjejali kerinduan yang tak sanggup tertepikan oleh Reza. Seakan berlayar menyisir samudra seorang diri. Hingga benci itu terlahir, tapi kebencian justru menjadi pemanis bagi hati yang masih di hadapkan dengan cinta yang meski sepenggal pengisahan. Sesaat raga hendak campakkan rasa itu, tapi jiwa tak sanggup bila di akhir menimbah derita.

Malam menjadikan mimpi yang suram, persis seperti kenyataan yang selalu terebut oleh serdadu mimpi-mimpi yang iya ciptakan tanpa sadar, jika begitu nyata yang ia harap sirna sekejap. Tangan dan kaki tentu mampu berbohong untuk menafikkan cinta itu. Namun hati takkan mungkin. Malam dan siang sudah semakin jelas, sejalas luka dan suka.

Bait-bait syair menjadi teman setia di barengi dengan cumbuan mesrah tinta-tinta hitam yang mengelamkan serta tinta biru yang mengharu, karena cinta masih sebatas mimpi. selaksa sebuah sudut harapan titik terbalik.

“Toh sejatinya di dunia ini tidak ada cinta hakiki, rohmat ta’dzim hanya milik Allah pada orang-orang yang di pilih-Nya. manusia hanya mampu memberi mawaddah pada sesama, itupun tak setulus para rasul dan waliullah.” Kalimat yang berhasil Reza ingat kuat dari sosok anggun Pelangi, Tiara. Sejak sebelum detik mulai enggan mengenankan pertemuan keduanya di dua tahun yang lalu.

Gemericik waktu mengalir beriringan dengan sulur-sulur kisah yang terus meramaikan kesunyian. Dunia adalah cerita dan manusia adalah jemari yang di beri kasempatan untuk menjadi penokohan atas cerita-cerita tersebut, mengalun dalam dendang diri pada makna hakiki ataukah tersia dan mati. Dan cerita itu, akan terus bersimfoni. Siapa yang masih setia mengalunkan setengah nada atau penuh paruh nada, atau bagi pemilik penuh nada, sedang seorangpun selalu menemui jenuh dalam jalan-jalan semu, bersama hati yang mengalir kesemuan rindu. Seharusnya tiada lagi kerinduan yang tersesat, terkecuali pada Penghambaan terhadap-Nya.

Seiring angin bergemuruh. Kedewasaan mulai membingkai dalam penuaian diri yang hendak utuh, karena keutuhan hanya milikNya semata.

Tereduksi sudah darah dalam tubuh, sementara kepala masih sanggup mengisahkan keindahan yang Reza dihadiahkan dari Sang Pencipta. Sebuah unsur berbahaya ,natrium, akan berubah menjadi suatu hal yang amat nikmat, yang dengan sedikit percikan sedikit air unsur tersebut akan meledakkan dirinya. Tapi disisi lain ia berperan merangsang reseptor lidah, natriun clorida. Terlalu ilmiyah rasanya, namun begitulah kuasa-Nya yang maha indah. Sesuatu yang buruk, tidak selamanya tak berguna. Begitupun hal yang indah takkan selamanya berguna. Sungguh tiada sesuatu apapun yang Allah ciptakan sia-sia.

Tubuh itu masih kokoh tegap berhadapan dengan Aula. Dihela nafasnya panjang mengomando oksigen bergerak kekepala, terdiam. “Biarlah pelangi tetap hadir ketika mata ini terpejam, mengubah kesayuan kedalam kebiruan yang terus saja aku harap menentramkan, dan menenangkan. Bersamaan dengan jiwa teduh yang aku rindukan.”

Wajahnya mulai tertunduk, jemari nampak tergeletak lunglai, lututpun mulai menekuk berlahan. “Brukkk” Lututnya beradu dengan teras. Tangisnya mulai membuncah bersamaan nada yang ia suarakan dengan amat berat.

Hasrat bersua, waktu tak kunjung tiba
            Air meluap, aku dan kau terhadap
            Bencana bagiku, biasa bagimu

            Senja itu menuai darahku, Cinta
           
            Genderang menabuh, terpukau aku
            Nafas terbuang, semakin larut
            Balut saja luka ini di sudut

Adakah aku disudut hati
            Lagiku tanya, adakah aku di sudut hati

Terbawa bila, memutar dunia
            Lambat laun menjadi menahun


Bibir Reza kaku, sementara batinnya masih meriak “Keteduhan diwaktu itulah yang aku rindu, meski tiada kata yang bisa terlisankan. Senyum yang terurai sanggup menentramkan jiwa yang terlumat kesunyian yang tersekian lamanya. Semoga di episode masa berikutnya takdir-Mu menjadikan diri ridha dalam cinta yang pasti indah pada akhirnya. Selama Engkau yang membimbing hati ini, seberapa perih harapan yang hanya memiliki titik terbalik.

            “Berserakan daun-daun
            Barulah terjamak sudah.”
           
            “Biarlah senja terus menampakkan dirinya dihadapanku, walau tanpa bisa aku temui Pelangi sekalipun di ujung masaku nanti. Aku tahu, hanya Engkau takdir diri ini.” Kalimat terahir sebelum terganti isakan-isakan kecil nan berat bersenandung subur.
           
            Tiba-tiba Reza terbelalah manatap Aula, ada lantunan syalawat di lima tahun yang lalu. Teramat kecil suara itu, di sisirnya Aula dari kejauhan “Ya uhailal hubbi judu mughroman, wafa ilaikum kultu ya ahba bu’udu kullu amani ‘alaikum,” Syalawat itu seolah terdengar semakin jelas, telinganya amat akrab dengan nada klasik langitan. Tapi bukan Tiara, atau Pelangi. Lalu siapa?.
           
            “Aghfirni Robbi, Bolak-balikkan hati ini hanya padaMU, jangan Engkau biarkan aku kelam dalam kegelapan nafsuku sendiri.” Kalimat sesaat sebelum Reza melangkahkan kaki meninggalkan Aula itu.



Rabu, 16 November 2011

Sajak yang tak berpaut


Untuk MU
Untuk mu

Biarlah pelangi tetap hadir ketika mata ini terpejam, mengubah kesayuan kedalam kebiruan yang terus saja aku harap menentramkan, menenangkan. Bersamaan dengan jiwa teduh yang aku rindukan.

Kurindui sebuah nama.
Nama yang menggaung di labirin biru, nama yang lekat di kota singgahku, singgahmu, dalam sejuk biru merdu meranum keperakan. Sebuah nama yang selalu mendayu LafazhMU, nama yang sempat Engau beri kesanggupan mencairkan kebekuan diri, hati ini.

Tentang sesuatu yang belum sepenuhnya aku fahami atas Syair yang Engkau siratkan dalam sajak-sajak hidupku, sebuah bait yang selalu menggaung dalam serambi seorang diri ciptaan-MU.

Namun tetap saja aku yang ini, yang berharap maqom kemafhuman atas sajak hidupku sendiri. Sesungguhnya Hidayah adalah milikMU, ku mohonkan agar senantia Hidayahkan diri dengan Cinta-MU yang Hakiki.

Masih bercerita tentang Pelangi,
yang terus membiru hati dan jiwa serta diri. Begitupun gadis berjiwa teguh yang terus mengalirkan ketenduhan atas lafazh-lafazh yang terlisan tanpa kata. Semoga Sampai tergaung sahdu menuju hakikat kemuhabbaa.-MU. ALLAH,

Pelangi,
kehadirannya agak mengusik langkahku diawal masa, selaksa fatamorgana anggapku. namun tak berarti sejuk kebiruannya akan menenggelamkanku dalam kalut yang meradang. Justru kebiruannya selalu menenangkan diri. larutkan aku dalam rindu dan cinta. Semoga kisah birumu selalu terhadiahkan kebaikan dari Sang Maha Indah, ALLAH. Barokallahu lii, ma'ak..

Apakah aku telah menjadi yang lain?
saat dua dimensi bersapa, saat dua roman saling berjabat.
Aku yang termilikiMU. kuatkan hati ini dalam nada yang melahirkan simfoni cintaMU yang mengalun teriringi RidhaMU.

Keteduhan diwaktu itulah yang aku rindu, meski tiada kata yang bisa terlisankan. namun senyum yang terurai sanggup menentramkan jiwa yang terlumat kesunyian yang tersekian lamanya. Semoga di episode masa berikutnya TakdirMU menjadikan diri Ridha, dalam cinta yang peasti indah pada akhirnya. Selama Engkau yang Membimbing hati ini, hatinya.

Gemericik waktu mengalir beriringan dengan sulur-sulur kisah yang terus meramaikan kesunyian. mengalun dalam dendang diri pada makna hakiki.
inilah aku, bersama hati yang mengalir rindu. berharap tiada lagi kerinduan yang tersesat, terkecuali pada Penghambaan terhadap-NYA

Aku diantara berjuta wajah yang mengharapmu, merindumu bahkan mencintaimu. Namun takkan aku turuti semua yang menjadi inginku, karena Allah jauh lebih memahami kebutuhanku. kebutuhan hamba-hambaNYA.

Cukup inilah fitrahku sebagai manusia. Aku yakin Roman yang DIA tulis amat indah. Sebias wajahmu hadir dalam dimensi lelapku, telah lebih dari kesekian kalinya.
aku tak begitu faham dengan ini, namun aku berharap Allah selalu membimbing hati ini, hatimu. agar tetap pada RidhaNYA.

Ini aku kamu dan Dia. dan adanya kita.
semua dalam cinta, dalam rindu, dalam sahdu.
dalam dambaMU.

Teduh dibawah rindang cahaya, membentuk keterahasiaan diri dibalik cahaya yang mulai meredup. cukup indah cahaya yang nampak disenja itu, membuatku betah termanjakan. tak ingin aku undur diri.
Teduh dibawah rindang cahaya, membentuk keterahasiaan diri dibalik cahaya yang mulai meredup. cukup indah cahaya yang nampak disenja itu, membuatku betah termanjakan. tak ingin aku undur diri.

Aku takkan sanggup menatap air hangat yang mengalir dari ketulusanmu dalam keadaan tanpa hijab. Karenanya aku tak sanggup menahan nada yang terlalu indah untuk ku dengar dari bibir mungilmu.

Cukup Allah yang akan mengindahkan segala sesuatunya berdasarkan kadar takdirNYA.

Dalam dimensi itu aku terus termubhamkan keSIAPAanmu, serta keSIAPAanku pula. maka cukup Allah saja yang sok tau, karena Ialah DZAT yang maha TAU. maka biarlah kisahmu, kisahku ditemukan dalam equilibium hanya olehNYA.

Beberapa menit saja kegelapan serta kesunyian melanda, segala arah lenyap berhamblur sirna. haruskah aku kambing hitamkan waktu? atau diriku sendiri?
aku mohon bimbinganMU ya Robb, Atas hati, cinta dan diri.
Kiranya demikianlah hati ini terhadapmu, lalu biarlah rahasia tetap ada agar keyakinan makin mengakar.

semoga Dzat pencipta diri selalu mejaga hati-hati ini.

Hubbku masih berkelana dihatinya, khaufku-pun enggan relakan ketiadaannya, begitupun roja'ku masih terpaut akan cintanya.
Ya Robb, jadikan hubbku kepadanya atasMU, tangguhkan roja'ku kepadanya atasMU serta khaufkan aku atasMU pula.

Semenit saja hal itu terjadi padaku, tapi sanggup menghadirkan ketakutan yang luar biasa sampai-sampai bisa merelakan segalanya asalkan tidak terjadi hal itu di menit kemudian. Semoga saja ini wasilah pengampunan penghambaan. kuatkan ragaku ya Robb, Ragaku serta Iman Taqwaku.
Ya Allah, ku mohon ,
Apa yang telah Kau takdirkan aku harap dia adalah yang terbaik buatku kerana Engkau tahu segala isi hatiku.

Pelihara daku dari kemurkaanMu.
Ya Tuhanku, yang Maha Pemurah,
Beri kekuatan jua harapan , Membina diri yang lesu tak bermaya,
Semaikan setulus kasih di jiwa.

Sejuk terhirup, seperti udara saat embun masih begitu riang berdendang. mengingatmu adalah sebagian kesejukan hingga terangkai bait-bait ketentraman hati yang syahdu. peraduanku, peraduanmu. iyalah ALLAH.
Cukupkan hati diri-diri ini dengan Syahdunya kautsar keridhaanMU ya Robb.

Masih seperti cerita di kemarin pagi, saat hunian penuh kesahduan meski sedikit ketakacuhan sepasang mata, namun tak berlaku kepadaMU.
Engkau maha Melihat segala sesuatu yang meromankan hidupku.
sertakan aku dalam penjagaanMU ya rob, atas sebuah hati yang mendamba sesesok wajah berjiwa teduh.
Terkadang hidup begitu sesak atas jejalan fatamorgana yang tak sanggup aku maknai sendiri. Maka tak jarang kaki-kaki melangkah murung.
Hanya aku masih AKU-MU, maka istiqamahkan hati dalam keridhaanMU.

Seberapa tangguh aku menyimpan perahasiaanmu, sampai ada lisan yang sanggup menjadi benteng aku, kamu, dia dan ALLAH.
Semoga Ukhuwah selalu kita junjung tinggi agar tergapailah cintaNYA yang hakiki.

Aku beri kesempatan agar engkau mengenali diriku atas dirimu sendiri. begitu pula pun aku. karena aku tak mau lagi kehilangan makna kesejatian atas anugrah penciptaan.
Semoga kita mampu berlapang dada serta bersyukur atas segala putusanNYA.
semoga ALLAH menjagamu, serta menyayangimu selalu.

Aku takut berlebih dalam mengungkap segala yang menurutku pantas untuk menggambarkan kesejukan yang telah aku terima, aku takut kedustaan menjerat lidahku sendiri. Semoga Allah menjaga lisan ini.

Aku harus memutar melodi yang seharusnya aku mainkan, agar tiada lagi kesunyian dalam diri. Agar tiada lagi kelabu dalam masa yang makin bergulir tanpa bersua.
Aku turut larut dalam syahdu keanggunanmu, namun tak sedikitpun aku faham atas sebuah nama, ialah namamu.
Semoga hanya dengan namaNYA akan melahirkan kata KITA untuk sebuah yang haq. dalam cinta syahduNYA.


Terkadang jalan ini teramat sulit ditempuh, kesabaranpun tidak sebatas cakupan embun melaikan lebih dari samudra. tapi enggan saja terjal lebih pandai mensiasati untuk menghalang jalan.
Kebiruan ini masih cukup menyejukkan raga serta sel-selku yang mulai rentan dalam pergulatan waktu. Namun semoga Engkau meridhai jalanku.


Ketika langit hati telah merona lagi setelah gugur dalam kesunyian serta kesemuan, maka hanya aku tujukan perkara hati hanya padaMU. seraya aku mohon sampaikan hati ini pada hati yang mengagungkan cintaMU.


Aku azzamkan diri saat matahari senja serta embun kesejukan yang tawarkan kesahduan dalam sebuah keihlasan insani. Seraya diriMU satu tanpa sekutu, maka rela diri dalam rebah penghambaan kepadaMU.


Apakah ini benar-benar dari hati?
tak mungkin sanggup untuk kesekian kalinya terjelembab dalam kelebaman, sesosok yang aku anggap pelangi.
Teguhkan hati ini dalam Keistiqamahan kepadaMU.


Semua terasa gelap dimata saat hati enyah dari kesadaran diri. takkan lagi cahaya, takkan lagi kehidupan atas ibadah dan penghambaan. maka Ya Allah aku memonhon, Hidupkanlah hati ini oleh dan hanya karenaMU.


Dunia baru memperkenalkan kepada kejadian-kejadian baru yang tak terelakkan, yang terkadang dituntut untuk cermat diri. tapi akupun takkan luput dari masa lalu yang telah mengantarkanku pada hari ini.


Dikala cahaya mulai meredup lalu sirna, kengerian takkan terelakkan sementara hati menghitam pekat. Lalu siapa yang akan menunjuki jalan terang selain Egkau ya Robb?
tiada lain HANYA Kehendak serta Kuasamu.


Seperti masa yang terus bergerak maju. tak perlu lama-lama sesali penyesalan yang dibuat sendiri, niatkan untuk yang Maha Bijaksana.
Tiada lagi embun disenja hari seperti hari-hari sebelumnya...
ya Robb kuatkanlah aku dalam jalanMU.
lahaulawalaquwwataillabillahil'aliyyil 'adhim,,,


Teruslah bercerita tentang hidupmu, jangan sampai terhenti sebelum masa merampas usiamu.
teruslah berpacu untuk asa dan citamu sebelum nafas ini terhenti.
Allah akan bersama hambanya yang selalu mengingatNYA.
Aku ingin mendengar suara yang hanya aku sendiri yang sanggup mendengarnya, dimana kedamaian tercipta akannya.


Sekedar ini yang aku bisa, namun aku akan tetap berusaha.
meraih apa yang sepatutnya bisa aku raih.

denganMU, hanya denganMU. hidup matiku.
karenaMU pula aku mengerti ayat-ayat hikmah MU.
Bismillah,, bersiap untuk menambah aset masa depan (dunia dan akhirat) dengan ilmu.
semoga engkau memudahkan aku ya Rob dalam pencapaian keridhaan serta kemulyaan atas sebuah penghambaan.


Sepertinya aku takkan lagi melupakan lafazh-lafazh cintamu, wahai pelangi terindah dalam embun senjaku.

Ketika senja baru saja mengadu padaNYA, aku rasakan sunyi itu lagi dan lagi. semoga ini menjadi washilah kerinduanku padaMU, ALLAH.
aku titipkan rasaku padanya kepadaMU. karena hanya karenaMU semua terasa INDAH.