Muhammad Zuhri Anshari
“Aku
memamng tak pantas bersanding dengan wanita baik. Namun terkadang aku berfikir
adakah wanita yang mau menerimaku dengan segala kekuranganku untuk menjadi
imamnya.” Ucap Izul pelan, seiring angin yang ramah menyapa kalimatnya barusan.
Cahaya
keemasan menerobos celah jendela sore ini, membasuh tubuh yang tengah khusuk
berdiri didekat jendela. Meratapi setiap gerak gerik orang yang sedang asyik bercada
ria dibawah sana, di lihatnya segerombolan anak kecil tertawa riang menjelang
senja ini. Senja di bulan Rajab ke-7.
Angin
yang riang berusaha menghibur siapa saja yang dia lewati, termasuk Izul. Tawa
renyah anak-anak dibawah sana menggiurkan dirinya, sekaligus menyuguhkan sesak
yang kian merasuk menusuk rongga hidup yang masih mubham [Istilah yang digunakan dalam ilmu nahwu yang menunjukkan
arti belum jelas] dihadapannya. Angin masih berayun-ayun, menyelusup dalam
ruang-ruang hampa, dan bersuka ria. Sejuk. meski langit mulai pekat, seiring
senja yang mulai menutup cahaya.
Jalanan
seperti biasanya, mengisahkan cerita dalam simpang siur kehidupan kian kemari,
seperti waktu yang terus memacu masa dan usia, namun waktu lebih unggul dari
kendaraan tercanggih manapun, waktu selalu gagah tak terkalahkan. Hingga waktu
mengajaknya sampai pada senja ini, hingga ramadhan ketujuh dari pengharapan
yang masih dipenuhi kemubhaman.
Enam
huruf yang merubah keangkuhan menjadi kesederhanaan, enam huruf yang mengajarkan
hidup. Nindya. Gadis itulah yang memetamorfosis kehidupan Izul, Enam huruf yang
mengajaknya pada enam keimanan terhadap sang pencipta. “Yakinlah, apapun yang
terjadi kepada kita nanti merupakan keputusan terbaik dari Allah. Dengan cara
seperti inilah saya menjaga kemurniannya, tidak ada yang perlu kita takuti,
keputusan Allah tidak akan menyakiti” kalimat itulah yang menyihir kematian
hati menjadi hidup.
Lafazh
surat Al-Isra’ yang pernah dilantunkan Nindya saat Peringatan Isra’ Mi’raj 1426
H yang kemudian menjadi Rajab pertama pertemuan Izul dengannya masih teringat
jelas terngiang sampai pada saat ini, Rajab 1433 H. Rajab ke-7.
Lafazh
yang mengantarkannya pada keteduhan, ketentraman, dan keindahan. Tidak hanya
itu, melalui lafazh itu kemudian menumbuhkan cinta serta rindu terhadap Nindya,
yang berhasil menyibak kabut ketakutan ketika senja datang, senja yang
menyakitkan.
Enam
huruf menumbuhkan tiga kata – khauf
(takut), roja’ (harap), khubb (cinta)- dalam diri Izul. “Aku tau takdirku
atas-Mu, bahkan bertemu atau tidak aku dengannya adalah rahasia-Mu. Lalu
bagaimana jika benar yang aku takutkan selama ini terjadi?, ketika orang lain
yang Engkau takdirkan bersamanya. Tentu jika tanpa Cinta-Mu, aku terjatuh dalam
lara yang teramat mendalam, sesak yang merongrong secuil imanku, dalam gersang
yang menggerogoti taqwaku yang tak seberapa, dan dalam gundah yang bisa saja
aku melenakan-Mu.” Sayup kalimat itu terdengar dari tubuh yang mulai lelah.
Senja
mulai menjemput malam, ketika mentari sudah semakin habis dan beberapa lampu
rumah di dusun itu sudah dinyalakan. Sebentar lagi maghrib berkumandang dari
surau yang tidak jauh dari tempat Izul saat ini.
Senjapun
mulai mengembang. Mentari sudah tidak adalagi disana. Sementara itu rembulan
malu-malu menampakkan diri. Senja yang mulai mengembang seiring tubuh Izul yang
mulai lelah meregang. Mata yang mulai sayup sering kumandang maghrib yang terdengar
sayup-sayup. Lalu kemudian senja itu mengantar Izul kepada Dzat yang dia
rindukan, Dzat yang menghadiahkan pertemuan dengan seorang gadis yang
mendekatkan dirinya pada Dzat yang telah menciptakannya. Allah.
Sosok
itu terbang dengan wajah sumringah. Kenikmatan cinta terus mengalir deras
hingga nafas tak mampu menjegalnya. Ketika tidak seorangpun mampu menerima
cintanya, maka Dia menemuinya dengan cinta serta mengajaknya menuju keharibaan
cinta yang sesungguhnya.
“Bruuk”
Tubuh itu beradu dengan lantai, sehelai kertas yang telah menjawab kemubhaman atas penantiannya pada Nindya
turut melambung kelangit-langit seolah turut mengantarkan kepergiannya. Sehelai
kertas tertuliskan “Annisa Nindya Putri dengan Yanuar Iman Anshari”.
Sehelai
kertas jatuh mentup wajah Izul. Wajah yang menyisakan senyum, seiring takdir
yang telah diputuskan-Nya. Bidadari menyambutnya dengan gembira, “Selamat wahai
Hamba Allah yang didalam hatimu ada cinta yang mendalam untuk-Nya. Sesuai janji
Allah, ketika tidak ada lagi naungan selain naungan-Nya di yaumil mahsyar
nanti, maka dengan cintamu yang suci menjadikan naungan atasmu sebagai kado
terindah dari-Nya untukmu.” Amiin.
nice post zuh
BalasHapusmampir ke blogku juga ya
^_^
www.duniaelfietry.blogspot.com
Okayyyy... siappp...
BalasHapusMeluncurrr...www.duniaelfietry.blogspot.com