Muhammad Zuhri
Anshari
Yogyakarta, 16
Februari 2013
MUQODDIMAH
“Ada tujuh golongan yang akan
dinaungi oleh Allah di bawah naungan-Nya, pada hari yang tidak ada naungan
kecuali naungan Allah. Golongan tersebut ialah Pemimpin yang adil,
Pemuda yang sentiasa beribadat kepada Allah semasa hidupnya, Seseorang yang
hatinya sentiasa berpaut pada masjid, Dua orang yang saling mencintai kerana
Allah, keduanya berkumpul dan berpisah kerana Allah….” -Rasulullah SAW, Muttafaq
‘Alaih-
“Cinta
itu adalah persaan yang mesti ada pada tiap-tiap diri manusia. Ia (cinta itu)
laksana setetes embun yang turun dari langit. Bersih dan suci. Cuma tanahnyalah
yang berlainan menerimanya. Ada kepada tanah yang tandus atau gersang.
Dan ada pula kepada tanah yang subur” -Buya Hamka-
“Ketika
mencintai seseorang, berlakulah selaksa Drainase yang memprioritaskan seberapa
besar porsi cinta, kerinduan, cemburu, dan kasih sayang yang harus diberikan
kepada orang yang di cintai agar tidak melebihi kecintaan mahluk kepada Sang
Pencipta-Nya. Guna menjadi Insan yang bermanfaat, Cerdas Jasmani dan Cerdas Rohani”
-Muhammad Zuhri Anshari-
Sebelum diijabkabulkan syariat tetap
membataskan. Pelajari ilmu rumahtangga agar kita lebih bersedia menuju hari
yang bahgia. Kau tahu ku merinduimu,
ku tahu kau menyintaiku. -Kasih Kekasih, Inteam-
ku tahu kau menyintaiku. -Kasih Kekasih, Inteam-
Hilir mudik kendaraan silih bergati mengiringi perjalanan obrolanku dengan seorang teman yang aku kenal satu tahun yang lalu saat Musabaqoh Puitisasi Terjemah al- Qur’an. Seiring malam yang semakin pekat, bersamaan dengan itu obrolan larut dalam suatu hal yang menyangkut tentang taqdir. Jodoh.
“Mas, Kamu mau nikah muda ga?” Lelaki
berkacamata itu membuka pertanyaan yang sangat membombardirku. “Nikah muda yah?”
ulangku sekenanya. “Iya Mas nikah muda” Tegasnya lagi. Aku menarik nafas
berlahan, saat itu pula senyum seseorang yang selama ini aku cintai menjelma
menjadi sebuah kemantapan. Buru-buru aku hapus kehadirannya dalam fikiranku,
aku takut nafsu keburu menelanjangi bayangan itu. Na’udzubillah. “Jagalah dia
dengan cinta-Mu,” gumamku.
“Mas,
ko melongo.”, “Ehh iya, insya Allah setelah menyelesaikan Magister. Lebih kurang
empat tahun lagi Dik” Jawabku sambil menengok dimensi nun jauh disana meminta
persetujuan bayangan seseorang yang aku cintai. “Kalau saya setelah rampung S1
ini azam saya ingin menikahi dia, Mas”, “Ga terlalu dini Dik?” tanyaku. Senyap sesaat,
aku lihat raut wajahnya mematikkan keyakinan.
“Saya
ga mau menodai dia Mas, bukankan cinta itu menjaga.” Jawabnya lirih, “Aku ingin
segera menyempurnakan agama, dan aku yakin ini bukan sekedar nafsu saya. Justru
saya termotivasi untuk lebih giat menuntut ilmu dan meningkatkan kwalitas
ibadah saya untuk menyongsong pernikahan itu Mas”
Aku hanya diam mendengar rencana mulia itu.
Aku jadi teringat penggalan syair Buya Hamka “Cinta itu ibarat embun yang jatuh
ketanah. Ketika embun itu jatuh ditanah yang subur maka cinta itu membawa pada
kebaikan.” Subhanallah. “Insya Allah dik, kalau niatmu sudah baik. Allah bakal
ngasih yang terbaik buat kamu. Semoga kita ditangguhkan menjaga fitrah
cinta-Nya yang Dia pinjamkan pada kita.”
“Ohya
Mas ada yang aneh, kemarin pas latihan, pas Mas cerita niat ke Gontor yang
ternyata ga sampai itu, kemudian pas saya bilang semoga Mas ketemu dengan istri
lulusan sana sebagai jawaban doa Mas yang ga bisa ke gontor. Nah, raut Mas
langsung berubah loh. Reflek mengamini lagi. Kenapa hayoo?, jangan-jangan
calonnya orang sana yah?”. Wah kali ini saya beneran di bom atom. Jegerr.
Aku
mencoba menarik nafas, sampai benar-benar kerinduan serta harapan itu muncul
menjelma dalam cinta dan sanggup aku kendalikan. Semoga Malaikat turut
mengamini. “Saya lagi dekat dengan seorang gadis, tapi dia bukan dari Gontor. Dia
lulusan Pondok Pesantren Darussalam” jawabku. “Tapi Darussalam juga kan cabang
Gontor Mas? Iyakan? Sitemnya juga serupa dengan gontor.” Tegasnya, “Benar, makanya
kemarin saya mengamini” Tegasku sambil menelisik hati yang kini benar-benar
dirundung kerinduan. Lulusan Gontor bukan syarat utama bagi perempuan yang akan
aku nikahi kelak. Namun syukurku ternyata saat ini Allah memepertemukanku
dengannya, seorang yang belum bisa aku sebut namanya disini. Pondok Pesantren
Darussalam.
Rindu
ini kian bergulir, seiring putaran roda kendaraan yang aku tumpangi. Tak terasa,
senyum tersimpul ketika aku teringat kalimat yang begitu kuat mendiami
relungku, “Insya Allah akan aku jaga, Semoga Allah menjaga kasih sayang yang
telah terbina diantara kita A’.” sebuah jawaban atas pernyataanku yang aku
ajukan kepada seseorang dimana cintaku untuk manusia terpatri kepadanya “Bila
kamu percaya kepadaku, jagalah janji dan kepercayaan ini. Namun jika kamu ragu,
sungguh aku tidak ingin menyakitimu walau sedikitpun”.
“Mas,
ko’ senyum-senyum?” Tegur temanku ini, “Ga papa, seneng aja.” Jawabku
sekenanya. “Emang kamu lagi deket ama siapa Dik?” tanyaku menutup percakapan
sebelum turun dari kendaraan. “Sama tetangga kota asalmu Mas.”
Wallahu A’lam Bishshowab
Semoga Bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar