BELUM AKU BERI JUDUL; Ka’ Fajar, dan Ka’ Rizky
Maukah Kalian memeberi Judul?.
Muhammad Zuhri Anshari
Muza Elfarabi
Rizky Islami, Fajar Winata, dan aku sendiri di tahun 2004 silam. Waktu yang cukup lama untuk di jalani, namun terlalu cepat untuk terlewati begitu saja. Rindu tentu meluap dalam relung jiwa, namun bagaimana bisa rindu itu terobati?, pertemuan?, bagaiman caranya?, apa bisa?
“Peralatan MOSnya biar saya yang buat, Kamu istirahat saja. Liat tuh keringatmu kamana-mana, tenang aja ga akan aku makan ko’.” pinta Ka’ Fajar terhadapku yang saat itu baru saja pulang dari MOS di hari pertama.
Aku ingat kala itu aku masih kekampungan, culun, ga tau kehidupan kota. Grage Maal saja ga tau sama sekali, padahal jarak dari sekolah tidak terlalu dekat. Tapi bukan hal ini yang hendak aku ceritakan.
“Iya Ka’, makasih yah.” ucapku sambil menaikkan celana yang melorot.
“Sama-sama, yang betah yah disini. Kalau butuh apa-apa langsung bilang, ga usah sungkan, kita keluarga disini.” Tambahnya lagi, tentu hal itu sangat sepesial bagiku. Perhatian seorang yang di sebut “Kakak”. Kakak yang benar-benar mengayomi adiknya. Kakak yang menjadi panutan bagi adiknya. Amat indah kala itu, aku rindu.
“Ayok sepedahan” Ajak lelaki itu di suatu sore, Ka’ Rizky.
“Sepedahnya cuman satu, emang bisa?” Tanyaku lugu sambil nglirik kuda-kuda sepeda BMX yang Rizky kendarai.
“Saya bonceng, ayok ikututan?” Ajaknya lagi, “Boleh,ayok” Jawabku lugas setengah malu-malu. Sore itu Cirebon nampak indah, sangat indah. Jalan Pilang, Jalan Wiratama, Jalan Tuparev, Jalan Cipto kami selusuri dengan sepeda. Senja tak begitu menakutkan, bahkan iya seraya mendendangkan simfoni yang siapa saja mendengarnya akan tertawa riang. Sepertiku, dan Ka’ Rizky.
Seiring waktu, ia suguhkan kirah-kisah indah. Tangis lebih sering sepi, karena tawa selalu saja berhasil datang dan kalahkan segala gundah. Kisah-kisah nakal pun menjadi suatu hal yang aku rindukan, kabur saat piket, main bola ga pada tempatnya, menggambar-gambar buah mangga di pelataran, naik ke atap masjid, ngrengek di bikinin gambar, rewel saat dapet PR, dan bahkan kenakalan memprotes pimpinan asrama. Aku ingat kala itu, Pimpinan Asrama mengisi Kultum subuh yang sampai pingsan gara-gara usai mengomentari kenakalan-kenakan yang kami alami. Sadisnya lagi tubuhnya di biarkan tergolek di ruang bilik, tanpa aku tengok sedikitpun. “Biar saja” kesal fikirku kala itu.
Sampai kisah indah itu berahir di malam yang tak mau aku mengingatnya, aku menyesal malam itu aku terlelap pulas. Aku sesali, malam itu Ka’ Fajar pamitan meninggalkan Asrama tanpa aku ketahui, dan tanpa berpamitan langsung kepadaku, selain hanya iya titipkan selembar gambar yang ia titipkan pada Ka’ Agus.
“Zuh, ini dari Fajar. Dia pamit, maaf kayanya ga bisa langsung, dia kasihan melihatmu tidur pulas.”. Ucap Ka’ Agus.
“Kasihan?, Kasahan membangunkan Aku Ka’?, apa Ka’ ga merasa lebih kasihan ketika aku di tinggal tanpa ada suara serta nasehat sebelum kepergian Kakak?, lebih sukar mana Ka’, membangunkan aku tertidur kala itu, tau membangunkan aku dari kesedihan serta kepiluan ini Ka’. Ka’ egois!!.” Gerutuku sekananya dalam hati.
Minggu-minggu berikutnya terasa sunyi, sepi bagiku, ditambah lagi Ka Rizky yang lebih sering diam semenjak kepamitan Ka’ Fajar. Menambah hilang gairah hari-hariku, aktifitas-aktifitas tidak seramai dan seasick dulu. Selain hanya sekedar materi-materi tarikh, atau menterjemah Qur’an di pagi hari. Tiada lawakan-lawakan renyah dari Ka’ Fajar, dan Ka’ Rizky, Tidak lagi ada yang mengatakan “Zuhri, sering lari-lari biar kalau Kultum ga usah pake meja” Ucap Ka’ Fajar saat aku menyiapkan meja kecil sebagai jengkalan tubuhku yang pendek dan kecil agar wajah ini mampu mereka lihat dari depan. “Kamu sih jadi orang kecil banget Zuh,” Timpal Ka’ Rizky, “Sok tinggi kamu Ki, biar pun Zuhri kecil dia ga lebih bodoh dari kamu loh, hahahahaha” Sahut Ka’ Fajar sebelum ia tertawa lepas, “Apa kamu Jar, melihara ko’ lalat.” Balas Ka’ Rizky sambil nunjuk tahi lalat keramat milik Ka’ Fajar yang katanya berkat tahi lalat itu dia makin nampak tampan, “Ga papa Ki, daripada kamu kayak jerapah, otaknya nol, di tolakin terus ama cewek. mending saya, sekali tembak satu, dua, dan tiga cewek takluk.” Balas Ka’ Fajar tak mau kalah.
“Fajar, Rizky udahan bercandanya. Ga mulai-mulai nih kultumnya” Seru Ka’ Agus memacah tawa keduanya.
Sepi kala itu, kultum tersa hambar. Tidak lagi ada jelotehan Ka’ Fajar, yang memang sudah tidak lagi ada. Sementara Ka’ Rizky, disudut sana hanya diam pura-pura menyimak kultumku yang mulai tak berjiwa. Mati rasa, sunyi, sepi, bahkan musnah terlahap mati.
Hingga pada beberapa minggu setelah kediaman Ka’ Rizky yang makin menjadi, sore itu aku di buat terkejut, senja begitu galak merampas senyumku sore itu, sore seusai latihan Paskibra. Ada hal yang ganjil, ada yang kurang, ada yang tidak bisa lagi aku lihat. Sepeda MBX biru kesayangan Ka’ Rizky, tidak ada lagi bola basket di pojok itu. Kemana?, Apa memang Ka’ Rizky belum pulang?, bukannya hari ini biasanya sudah pulang?. dan beberapa sekelabat pertanyaan heran berjubal di otakku. “Mungkin Ka’ Rizky main futsal dulu, terus pulang maghrib nanti.” Tebakku.
Maghrib pun berkumandang, sepeda itu belum juga kembali, bola barket pun tidak ada. Tentu ini menambah kecemasanku.
Mahgrib pun usai, di lanjut Kultum. Hari itu bukan giliranku Kultum, sehingga aku bisa bebas duduk di belakang, tepat di bibir pintu Masjid. Angin tak ramah menampar wajahku di Maghrib itu, namun aku tak acuhkan saja ia menamparku berkali-kali.
Kultum pun usai, Ka’ Rizky pun belum juga pulang. “Ka’ Agus, Ka’ Rizky kemana?, ko’ belum pulang?” Tanyaku ke Ka’ Agus yang tengah membaca buku. “Rizky sudah pulang kerumah, tadi orang tuanya kesini menjemput Rizky. Dia juga nyampein salam untuk kamu. maaf juga katanya” Jawab Ka’ Agus sambil metap mantap kearahku.
“Oh gitu ya Ka’, makasih yah” Ucapku sekenanya sebelum aku beranjak ke kamarku, merintih, menangis sekenanya. Malam-malam besok tak ada lagi yang mengajakku tidur di bawah rebulan, bercerita tentang mimpi-mimpi masa depan, tak ada lagi candaan di bawah rebulan, tak ada lagi. Pergi, Ka’ Rizky atau pun Ka’ Fajar tak mungkin lagi mengajakku tidur mertap keindahanya, rembulan. KeindahanNya, keindahan kisahNya untukku, kita.
Sepi itu akhirnya memberi putusan untuk meninggalkan Asrama itu, Asrama hijau yang mulai tak berpenghuni. Satu-satu pergi, satu-satu entah kemana pergi. Aku tak jua dapati alamat pasti, mungkin Ka’ Rizky bisa aku temui. Tapi itupun sulit, sampai saat ini aku tak tahu iya dimana. Apalagi Ka’ Fajar yang tinggal di Jakarta, Jakarta mana?, itu kabar terakhirnya, yang terbaru? aku tak pernah tau.
Aku menjadi satu-satu yang pergi, Aku pun turut pergi ke Asrama lain, sekedar untuk menenangkan diri. Berharap di Asrama baru aku peroleh kisah indah lain, dan menemukan keceriaanku lagi.
Pertanyaan itu kembali berjubal di tempat baru, Apakah kita musnah begitu saja Ka’?, Aku tak tau dimana Kalian berada secara pasti, apakah kalian tau asrama kita dulu telah berubah fungsi, ibu santun pun entah kemana. kabar terakhir beliau kembali ke Jakarta. Tapi tidak aku temui alamat tepatnya, ataupun sekedar nomor yang bisa aku hubungi.
Bagaimana aku mencari kalian?, mencari sembilah kisah yang pernah kita alami. Apakah aku patut menyalahkan zaman yang pada saat itu HP masih menjadi barang yang sangat asing. Alamat?, alamat-alamat itu sirna begitu saja sebanding dengan sirnanya asrama kita yang beralih fungsi.
Di tujuh tahun setelah perpisahan kita, Aku masih mengingat siapa kita, hal-hal yang pernah kita alami bersama. Aku pun masih ingat lagu yang biasa kita dengar bersama di atap Masjid seusai Ashar, apakah kalian mengingat lagu ini?, The Rain; Dengar Bisikku. Aku masih lekat suara Ka’ Fajar saat menyanyikan lagu ini, yang selalu saja aku cemooh karena suara Ka’ Fajar yang sumbang. Tapi tau kah Ka’?, Suara sumbangmu manjadi indah kala ini, kala aku mengingat peristiwa itu. Ka’ Rizky yang ga mau ketinggalan mencemoohmu Ka’, apakah kalian mengingatnya?.
Malam ini, aku ingin memutar berkali-kali syair ini. Sekedar membasuh gundah serta ingin yang tak kunjung jua aku ciptakan dalam perwujudan nyata. Semoga Allah menjaga Kalian, menjaga kita yang kini terpisah secara jarak yang tidak kita saling ketahui. Berharap Allah beri kesempatan kita untuk bertemu sebelum ruh ini kembali.
THE RAIN; DENGAR BISIKKU
Kadang aku berfikir
Dapatkah kita terus coba
Mendayung perahu kita
Menyatukan ingin kita
Sedang selalu saja
Khilaf yg kecil mengusik
Bagai angin berhembus kencang
Goyahkan kaki kita
Gemgam tanganku jangan bimbang
Tak usahlah lagi di kenang
Naif diri yang pernah datang
Jadikan pelajaran sayang
Dengar bisikanku oh dinda
Coba lapangkan nada kita
Trima aku apa adanya
Jujur hati yang kita jaga
mengapa selalu saja
Kilaf yang kecil mengusik
Bagai ombak yang besar
Goyahkan kaki kita
Genggam tanganku jangan bimbang
Tak usahlah lagi di kenang
Naif diri yang pernah datang
Jadikan pelajaran sayang
Dengar bisikanku oh dinda
Coba lapangkan nada kita
Trima aku apa adanya
Jujur hati yang kita jaga
Bila indahmu tak menghilang
Hentikan dulu dayung kita
Bila kau ingin lupakan aku
Ku tak tau apalah daya
Lahaulawalaquwwataillabillahil’aliyyil’adziim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar