Kamu; Hanya Sebatas Impianku
muza elfarabi (Muhammad Zuhri Anshari)
Dalam khatulistiwa waktumu di lembaran buku hidupku
16 September 2011
Bismillahirrahmanirrahim
Sejuta warna dunia telah penuh menyibak mataku, semoga ini bukan fatamorgana yang melenakanku untuk mensyukuri Ni'matMU ya Robb.
.
"la ilaha ila Anta subhanaKa inni kuntu minadzdzolimiin"
.
"la ilaha ila Anta subhanaKa inni kuntu minadzdzolimiin"
Usia teramat cepat berlalu aku rasa. Kini sudah hampir kepala dua, itu artinya sudah kurang lebih Sembilan tahun yang lalu aku memimpikanmu. Bermimpi berada dalam tamanmu, bermain dengan bahasamu, beristiqamah dengan disiplinmu, amanah dengan didikanmu, mulia dengan ilmumu.
Mimpiku mulai bermunculan saat aku mengenalmu tanpa sengaja. Aku ingat kala itu aku sedang soan kerumah kakek yang kebetulan sedang nonton TV hitam putih, namun masih teramat mewah kala itu, pasalnya aku juga belum mempunyai TV dirumah. Tiap ahad pagi sebelum jam tujuh aku sudah nongkrong di rumah tetangga yang punya TV, tapi bukan hal ini yang membuatku ingat tentangmu. Saat itu, dirumah kakek, sedang menonton TV dan menayangkan kegagahanmu, keindahanmu, kesejukanmu, dan kemanisanmu yang membuatku overngiler hendak memelukmu erat layaknya pelukan seorang kekasih yang sedang bercumbu dimabuk cinta. Sampai-sampai jika kala itu ditarwari gulali-pun(Jajan yang sering membuatku mewek karena selalu ketagihan.) aku tak akan berpaling mengagumimu. Sungguh wibawamu membuatku terpana di usiaku yang masih kurang 9 tahun yang belum bisa untuk mengerti tentang kekaguman dan mengagumi, pasalnya aku masih terlalu kecil untuk memikirkan hal yang teramat dewasa, semuran kelas dua SD di Sembilan tahun yang lalu.
Mimpi itu akhirnya menestimoniku di usia yang masih kelas dua SD. Aku rela menghafal mufrodat yang di setorkan ke Ayah setiap hari. Pindah sekolah Madrasah Ibtida’iayah yang aku takuti kala itupun akhir aku lakukan juga. Menghafal bacaan-bacaan, sampai aku rela meninggalkan serunya bermain demi shalat Dhuhur dan Ashar dirumah, aku kadang merinding dan iri mengingat semangatku dulu saat mengenalmu aku ingat waktu sedang asyik-asyiknya main bola dengan teman-teman yang kemuadian aku segera berlari pulang karena Adzan Ashar berkumandang “Isune balik dikit yah, engko dilanjut ari tes pragat sembayang asare.” (Saya pualng dulu yah, nanti dilanjutkan kalau sudah sholat Ashar). Berlanjut sampai kelas empat SD yang rela shalat jama’ah lima waktu dimasjid dengan rekan saya Rozak, kami selalu berangkan bareng dengan sarung yang di ikatkan di perut seperti layaknya ikat pinggang, peci putih yang dimasukkan kesaku. Biar praktis fikirku saat itu.
Mimpi itu menghadiahkan semangat di usiaku yang masih kelas empat SD. Semenjak pindah sekolah nilai rangkingku anjlok, nilai pelajaran-pelajaran keagamaan yang di pecah-pecah membuatku susah untuk memahami, berbeda saat di SD yang pelajar agamanya hanya seminggu sekali, itupun kalau gurunya masuk. Aku malu, aku takut ga bisa memelukmu, aku takut ga bisa bermain bahasa denganmu, aku takut aku ga bisa datang di pintumu. Dan mimpi itu memusnahkan ketakuan-ketakutan itu, “Aku harus bisa, akukan sudah persiapan untuk ke Pondok itu”, akhirnya semangat itu merubah rangking jelekku menjadi rengking yang cukup membanggakan, angka satu-pun aku raih. Usahakupun tidak membuatku menggigit jari.
Mimpi itu akhirnya aku simpan di saat kelulusan kelas enam, harapanku mulai lebur, sakit, hendak berteriak sekencang-kencangnya, Jantungku rasanya seperti tercabik taring serigala buas sampai sempat berfikir Sang pemilik taqdir tak begitu adil terhadapku, apakah Dia tidak percaya akan tekadku memelukmu, apakan Dia memang tak mau melihatku mengukuhkan diri dijalanNya?. Apakah Dia enggan melihatku tersenyum bangga bersamamu?, Apakah Dia tidak pernah tersentuh sedikitpun atas usaha dan tangisku?.
Dan suatu hari di Madrasah Tsanawiyyah Cirebon 1, Impian itu mulai bergejolak kembali. Aku singgahi taman-taman ilmu agama; Santun, dan Nuurusshidiiq, dari kedua taman itu aku mengerti, tak perlu aku mengingkari pengelakanNya atas tegadku menemuimu, menjadi bagianmu.
Santun, mengajarkanku kedewasaan dan persaudaraan. Aku yang paling kecil, yang lain sudah kelas 8 (Fajar Winata, Rizky Ramadhan), dan tingkat SLTA (Ka Eka S. E., Ka Agus S., Ka’ Cahyadi, Mas Gatot) bersama para Amii (Ami Upang (Pengajar Tarikh dan tempatku curcol), Amii Asmuri(Pimpinan Asrama), Amii Fidi, Amii Jazuli (Pengajar Matematik dan teater), Pak Lalan dkk), para ummii (Ummi Dhona, dkk), dan Ibu Santun yang begitu mencurahkan kasih sayangnya kepada kami. Dari sinilah aku mulai mengerti, bahwa hidup tak selamanya berjalan mulus. Aku ingat kala itu, sepulang sekolah perutku amat sangat lapar. Sesampainya di Asrama nasi yang di rice cooker sudah mengering, sayur dikulkaspun sudah ludes akibat hobby Isengku dengan Fajar dan Rizky yang suka bikin sayur yang aneh-aneh. Aku bingung mau makan apa, uang persediaan sudah menipis, emh “Ga bisa makan neh” gumamku. Bukan itu aja, kadang klo lagi pengen hiburan main bolling dengan Fajar dan Rizky. Aku ingat saat main bolling di pojok emperan asrama di jejer botol-botol plastic bekas, dan yang jadi bolanya menggunakan Bola Basket kepunyaan risky. Kalau sudah gitu biasanya Ka’ Agus Negor “Kalian bertiga mainan terus, mending bersih-bersih dapur”, yah maklum Ka’ Agus sebagai sie perdapuran dan sei kebersihan. Mending Ka Agus nyuruh bersih-bersih, Ka’ Cahyadi Beda lagi “Beresin Ga’, mainan tuh yang wajar, itu dekat kaca.” Serunya dengan Gagah, Maklum beliaukan Paskibra Kota, yang setiap harinya mengayuh sepeda kesekolah, latian pukul dan sebagainya.
Aku, Fajar, dan Rizky biasanya akan naik keatap masjid depan Asrama sebagai arena pelarian dari tugas bersih-bersih halaman. Kadang sengaja berangkat sekolah sengaja pagi-pagi dan pulang larut sore hanya karena ga mau bersih-bersih halaman. Namun hal ini tak selalu kami lakukan, kalau lagi rajin ya rajin banget. Kita bertiga selalu kumat-kumatan kalau bersih-bersih.
“Jar, Aku minta gambarin dong,” Pintaku Ke Fajar, Dia paling jago ngegambar sih soalnya. Cowok TiKus alias tinggi kurus dengan tahi lalat diatas bibir, yang selalu mengajakku melihat rembulan. “Zuh, tidur di Balkon yuk. Lembulannya terang neh, barangkali aja ada bidadari turun” kenangku saat Fajar menampakkan kepala di bibir pintu kamarku sambil menyeret kasur. Biasanya kalau sudah begitu kita bertiga akan bercerita tentang kisah masing-masing, tebak-tebakan, nyanyi-nyanyi, ngrenung bareng, kadang ejek-ejekan sekolah masing-masing, Rizky yang selalu asyik membanggakan SMPN 10nya, Fajar yang tak mau kalah membanggakan SMP Muha 2nya, dan aku yang selalu kalah untuk MTsNku, habisnya mereka berdua paling bisa ngomong seh, aku selalu kalah, belum lagi mereka 2 tingkat diatasku.
Nuurusshidiiq, Kutemui empat manusia super yang kembali lagi mengingatkanku terhadapmu. Adalah Ustadz Budi, ustadz yang pernah memergoki tulisan curhatanku untuk seorang perempuan. Malu, takut, dan kelabu kala itu. Namun beliau tetap ramah, humanis dan malah suka ngledek kalau mau berangkat sekolah, “Bid, jagain zuhri yah. Jangan sampe ada kesempatan berduaan dengan gadis yang dicintainya” Pesannya saat di salami (Berjabat, menciun tangan) oleh sahabatku Abid, “Zuh, Jagain Abid juga yah, Jangan sampe macem-macem dengan santri putri yang dia taksirnya” Pesannya saat aku salami.
Selama di Asrama tak pernah aku mendapat hukuman terkecuali saat itu ada komunikasi yang salah tentang pengajian Usul Fiqh, di dapati kabar pengajian di liburkan sementara. Aku dan bersama keenam teman saya termasuk Abid langsung meluncur ke warung untuk memenuhi permintaan perut yang masih ingin diisi. Sesampainya di warung, si pemilik warung sedang menonton Film “Memakan Dana ONH” Film yang di tayangkan oleh TPI (sekarang MMC), makanpun jadi agak lambat karena setiap kali iklan selesai mata kami tertuju pada layar televisi.
“Hoy pada keluar, di panggil Ustazd Budi di Lapangan” Seru seorang santri seangkatanku. “Degg”, jantungku tiba-tiba berdentum kencang, pasalnya tak pernah Ustazd Budi memanggil santrinya kelapangan terkecuali untuk menerima takziran. Sontak saja yang berada didalam langsung melesat keluar menuju lapangan. Benar saja Ustadz berkacamata itu sudah menenteng dua batang rotan di tangan kanannya.
“Baris, apa alasan kalian tidak mengikutipengajian?” Introgasi sang ustadz ditujukan pada kami. Salah satu dari kamupun menceritakan tentang kabar diliburkannya pengajian Usul Fiqh tersebut. “Lain kali, kalau ada informasi yang belum jelas di cari tau dulu kejelasannya. Jangan cuman langsung percaya, terus nurutin nafsu.” Tegurnya pelan sambil mengelilingi kami dan di tatapilah kami satu per satu.
“Sekarang maju satu-satu, biar kalian ga lalai dan bertindak hati-hati maka saya takzir. Kalian Ridho saya takzir?” Pintanya pada kami. Sudah menjadi hal yang biasa, beliau selalu meminta ridho untuk menakzir. “Takut terkena hukum hakuladam(Hak Manusia)” ucap beliau saat diskusi tentang masalah itu.
“Saya Ridho Ustadz” Seru kami. Rotan-rotan itu akhirnya bercumbu dipaha-paha kami “Plak, Plak, Plak” Bunyi rotan yang beradu dengan daging yang hanya dilapisi sarung. Tapi sungguh hukuman itu rupanya berhasil membiusku yang kadang jarang waspada dan berhati-hati dan sering ceroboh, hukuman itu mengajarkanku berhati-hati
Ustazd Faturrahman, Ustazd yang paling ga suka melihat kami bermalas-malasan. Kami biasanya takut ga bisa bangun pagi, lalu belau yang membangunkan. Beliau memiliki disiplin tinggi, tegas, namun tetap lues. Setelah Ustadz budi, ustazd kedua yang sering menasehatiku adalah ustazd faturrahman.
Ustazd Azis, dan Buya Yahya, aku sendiri tak begitu akrab, lebih akrab ke ustazd budi dan ustazd fatur.
Nuurushidiiq, Perpaduan modern dan salaf. Tempatku pertamakali mengenal tasawuf modern, Thariqah, dan Asatidz lulusan Gontor. Kamu, yah aku sangat bergejolak kembali ingin bertemu denganmu, aku melihat Ustazd Budi yang selalu memberi keteduhan.
Aku bertekad akan menemuimu, Apalagi setelah ustazd Budi berkenan membimbingku agar aku lulus seleksimu. Tekad itu kemudian memacu semangatku. Ku ikuti beberapa les, bahkan sampe malam masih ditempat bimbingan. Hujan anginpun sempat aku terobos demi agar bisa memenuhi syarat untuk menemuimu.
Namun, sakit itu datang saat kelas 9. Gejala tipus, Tubuhku menggigil saat seusai memimpin upacara di sekolah, aku ingat saat itu tubuhku sangat lemah dan dan gemetaran. Tapi jiwa patriotku dulu masih tinggi karena selain Lurah Paskibra sekolah juga kerana sudah menjadi kewajiban menjadi pemimpin upacara.
“Pemimpin upacara di perkenankan meninggalkan upacara” suara sang protocol, aku melangkah gemetar, dingin, dingin sekali. Pandangan agak kabur, perutku teramat sakit, bibirku pucat, jalanpun sempoyongan. Dan saat mau terjatuh, sahabatku Iqbal sudah merangkul tubuhku “Kenapa Zuh?, Belum sarapan?, ke UKS aja yah” Tanya Iqbal penuh perhatian. “mmm” Jawabku dengan sisa tenaga. Beberapa menit kemudia ibu Ru’yati,Wali Kelasku, datang ke UKS “Zuhri pulang saja yah. Nanti biar Iqbal atau Abid yang memintakan Izin pada pondok” Suara serak keibuan sedikit menenangkanku. “Ga usah bu, nanti pelajaranku ketinggalan” Jawabku lemah. Tentu aku ga mau ketinggalan pelajaran, pasalnya kalau aku ketinggalan pasti akan gagal juga bertemu dan bermain di tamanmu, Pondok Impianku. “Yaudah kamu istirahat dulu disini yah sayang” Sambil memelukku. Ibu Ru’yati adalah wali kelas yang menganggap kami adalah anak.
“Harus istirahat total, dan tidak boleh melakukan kegiatan yang menyita tenaga. Perkiraan proses penyembuhannya sekitar satu sengah bulan” Ucap Lelaki berbaju putih saat memberi obat. Tentu saja hal ini membuatku bingung bukan kepalang. Minggu depan aku harus ujian praktek, dan dua minggu depannya lagi ujian nasional. Itu artinya aku ga bisa ikut ujian nasional, ga bisa ikut ujian praktek, dan bisa ga bisa menemuimu, pondok impianku. Saran dokter untuk tidak memikirkan hal tersebut aku langgar, aku menangis dalam hati, memberontak, ingin sekali rasanya berteiak sekencang-kencangnya namun sayangnya bicarakupun amat tidak mampu keras. Aku berfikir, Tuhan memang tidak adil, Iya selalu sok mengatur, dang a pernah meridhai aku bertemu denganmu. Imanku entah melayang kemana, hatiku beku, sakit, nanar tertusuk sembilu. Pilu, bernafaspun aku enggan rasanya. Kenapa Tuhan ciptakan aku, tapi selalu saja Dia tak pernah memberiku izin menemuimu, padahal sudah barang pasti aku menemuimu untuk menegakkan syariatnya.
Hari kedua, aku masih terbaring payah hanya anganku saja yang bergerak bebas menghayalkanmu, menghayal aku berada didekatmu.
“Anak bapak bisa untuk mengikuti ujian nasional nanti, kesehatannya jauh semakin baik.” Ucap Dokter kepada ayahku seminggu setelah pemeriksaan yang pertama. “Tapi untuk ujian prakteknya, minta tiganti tugas saja, karena anak bapak masih harus banyak beristirahat” Tambahnya lagi. Sementara aku hanya diam, diam dan diam.
Ujian Nasionalku tidak memenuhi Passing Grade SMANDA Cirebon, sekolah yang menggantikanmu atas saran orang tua karena ga mungkin menemuimu dalam keadaan yang masih kurang sehat. “Sekolah di SMANDA saja, biar ga terlalu capek. kalau di Gontorkan sangat padat agendanya, sementara kamu sakit.” begitulah saran ayahku. Namun SMANDApun gagal.
MAN MODEL CIWARINGIN, ROUDLATUTH THOLIBIN, ASSANUSI. Penggantmu, Pengganti yang sangat begitu banyak pemahaman bahwa “Allah tidak akan memberikan apa yang diinginkan oleh hambanya. Melainkan memberi apa yang dibutuhkan hambanya. Maka berprasangka baiklah kepada Allah karena Dia akan melakukan sesuai sangkaan kita terhadapNYA. Belajar bersyukur, bersyukur untuk belajar. Serta Motivasi serta Motivator hakiki adalah cuman hanya ALLAH”. Wallahua’lambishshowab.
Alhamdulillah,
Semoga cukup hanya karena Engkau hidupku terkukuh.
subhanallaah..
BalasHapusaq tau akh prjuangnmu untuk itu..
smanda jg gagal utkq mlah msuk smanda depag..
hahaha
:D
semangat trus y,..
:)
alhamdulillah yah,,
BalasHapushahaha
kamu salah satu saksi hidupku dehhh,
Aku malah masuk SMANDA Model, wkwkwkwk
.
Sipp,,