Pena, si Pengisah Labirinku [Mu]
Muhammad Zuhri Anshari
muza elfarabi
di Penghujung september tahun ini…
Pena, butiran tintanya tersendat lama benda itu terbujur dalam kotak trasparan membisu. Hanya sudut mata yang seringkali menengoknya hanya untuk memastikan iya baik-baik saja, yah sedencing mata melihat yang tak lebih lama dari kilatan petir.
Dengan pengunci coklat yang semakin menua jadi hitam, yang seharusnya memutih, terkena tinta yang luber disebabkan posisi menjengking. Ujung penutupnya masih nampak kokoh, hanya saja tidak lagi sekencang dulu mengikat ujung katup. Kendur.
Balutan berwarna merah jambu yang di perindah dengan motif-motif hati membuat Pena itu nampak anggun diusianya yang semakin senja. Atau memang balutan itu menandakan iya sudah mati dan tidak lagi menandai pengisahan atau sekedar bercerita tentang kisah-kisah yang dulu membuatnya jaya. Seperti manusia saja pena itu, terbalut kain kafan. Mati.
Pena, yang tak bisa lagi aku pakai untuk sekedar meluberkan seisi hatiku, ruhku, jiwaku, ragaku, bahkan untuk sekedar bercerita hal-hal sederhana tentang kerinduan, cinta, cemburu, kecewa, luka, derita, nelangsa, tawa, canda, atau sekedar untuk aku tuliskan “Aku Mancintaimu”-pun pena itu enggan memaksa dirinya untuk menuliskan apa yang aku kehendaki.
Bakar sajakah Pena itu?
Tidak, tidak, tidak.
Kubur sajakah Pena itu?
Tak perlu!!!
Apa aku masih menyayagi Pena itu?
Iya?, iyakah?
Apakah Pena itu menyangiku?
Iya?, Iyakah?
Tempo hari Pena itu bercerita, “Aku menyangimu”.
Ingat?.
Biarlah Pena ini ada padaku, meski pena itu tak lagi bisa menuturkan kisah-kisah yang aku ingini. Apa aku terlalu egois untuknya?, “Aku menyayangimu, tapi aku tak bisa memastikan kamu pemilikku yang sungguh”. Pena itu melukaiku tempo hari.
Bakar saja!!!
Musnahkan!!!
Kubur!!!
“Bukan, bukan, BUKAN AKU!!!”
Siapa?
“Tanyakan siapa aku?”
Pelangi?
“Entahlah, siapa aku. Tentu kamu mengenalku”
Pena itu masih aku pandangi lekat semabari menekan nut-nut huruf dalam laptop yang dengan tangangku aku cumbui penuh gairah. Sesekali aku melirik Pena itu, mungkin iya juga turut membaca tulisan ini, tulisan tentangnya. Penghianatanku?, BUKAN!!!.
Pena itu aku jejerkan diantara Pena-pena lain. Iya nampak menawan, masih sama saat aku baru memilikinya. Terlalu banyak kisah-kisah indah yang ia tuliskan untukku, terlalu banyak kebaikan yang ia bagikan padaku secara cuma-cuma. Tengok saja labirinku, tinta itu miliknya, milik Pena itu. Jauh lebih banyak dari pena-pena yang aku miliki. Meski cuman sebentar Pena itu membersamaiku, empat tahun. SEBENTAR??!!!, iya sebentar. Hanya seperlima dari usiaku kini. Sebentar bukan?.
Aku kembalikan Pena itu, di kotak transparan tua. Sembari aku hembuskan nafas-nafas panjang. Lagi-lagi. Mata ini aku pejamkan. Tak lagi bisa aku menulis, tanpa mata ini dan Pena ini. Selain tulisan yang nampak di bawah ini. Kau lihat?, “Kau lihat?”.
“Pena, Kamu melihatnya?”
Wahai Hati, inilah aku yang kadang mendukanmu.
Wahai Nurani, inilah aku yang hingga kini masih tuli dengan rengekanmu.
Wahai Diri, inilah aku yang hingga kini masih enggan berbagi.
Wahai Aku, inilah aku yang kini masih sukar meng-Aku-I aku.
Wahai Penciptaku, inilah aku, dan si pena wasilah pengisahku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar