Seperti apa shalatku?, benar salah?, salah benar?, keyakinanku diambang semu entah kemana keyakinan itu pergi selain hanya tersisa sedikit. Ashar kemarin entah aku ulang berapa kali. Lagi-lagi bacaan itu tercampur tanpa sengaja, antara yang sudah biasa aku baca dengan yang baru saja aku hafal, berulang kali. Dangkal sekali ilmuku, dangkal sekali shalatku, perkara-perkara itu masih menunjukkan kuasa merajamku, merajam shalatku.
Aku teringat sebuah buku fiksi yang di tulis Tere-Liye, aku tau ini fiksi yang keberanarannya masih di pertanyakan, tapi seditaknya kisah Delisa kecil yang berjuang mati-matian melawan lupa, bencana sunami, dan kehilangan Ibu dan kedua Kakaknya tetap mau menghafal bacaan shalat, bahkan di usianya yang belum di katakan dewasa iya amat teguh untuk menjalankan shalat, ia tidak lagi mengharapkan kalung pemberian Bundanya yang bergantungan “D” untuk delisa. Hafalan Shalat Delisa. Dibanding aku?, jauh tentu. Aku tau Delisa hanya di fiksi, tapi bukan sekedar fiksi, ia hadir dalam kisah nyataku sore kemarin, aku melihatnya, ia berbisik lembut dan menuntunku membaca bacaan shalat sama persis dengan apa yang dilakukan kakak delisa ketika shalat berjamaah dan mengeraskan suaranya guna memebimbing Delisa. Imajikah ini?, duh Robbi.
Aku pun teringat buku “Hiburlah Dirimu Dengan Shalat; ketika hati gundah, sedih melanda, kesusahan menghampiri, obatilah dengan shalat” buku yang di tulis Al- Ustadz Muhammad Rusli Amin. Aku di buat iri dengan isi buku itu, lagi-lagi aku tidak bisa untuk sekedar shalat tidak terburu-buru apalagi shalat khusu’. Bagaimana bisa aku di hibur?, sementara shalatku masih jauh dari hakikat shalat itu sendiri.
“Shalat berjamaah agar menjadi orang benar, Belajar agar menjadi orang pintar”, Jargon sakti yang melekat di Laptop nampak sia-sia, padahal Almarhum Romo Kyai Sanusi Babakakan Ciwaringin dengan teguh dan sudah memberi suri tauladan dengan Jargon Sakti itu. Sementara aku?, aku masih jadi ma’mum yang sering ingkar pada imam. Dengan dalih, “Aku rindu “imam-imam” shalatku.”. Innalillahi, duh Robbi.
Hal itu makin menjadi menjelang pukul lima sore, senja tepatnya, karena matahari sudah lusuh di barat sana. Selusuh bahagia yang kemudian terganti gundah yang terus mencekik sendi-sendi yang aku yakini. Air hangat itu menangir tanpa di pinta ketika aku dapati suara serak nan teduh, Ayah dan Ibu, buncah tergenang membanjiri tawa serta suka kemanusiawian yang aku miliki. Patah kalimatku tak puguh, namun Ayah dan Ibu jauh lebih memahami isakan demi isakan.
Usai diri cukup tenang, melalui Facebook, “Ang minta nasehat tentang shalat” Pintaku pada sohibku yang sudah sering membimbingku dalam hal-hal seperti ini, Ang Muhammad Adieb. Demikianlah lerainya dalam kegudahan hati.
Mengenai bacaan shalat, memang banyak pernedaan di kalangan ahlul ilmi ai ulama. Sebaiknya, yang sudah diajarkan awal, itu saja yang diamalkan. Hanya kalau pengen mengamalkan yang baru juga tidak apa-apa. Menghafal bacaan shalat yang beda dengan sebelumnya jugakan menambah ilmu dan ga salah.
Mengenai orang shalat; untuk orang yang sangat awam shalat hanyalah sebagai rutinitas. Ada juga orang yang shalat karena merasa di bebani kewajiban. Ada orang yang shalat karena ingin mendapatkan Surga. Ada orang shalat karena ingin di jauhkan dari Neraka. Ada juga orang yang shalat karena kesadaran diri bahwa dia butuk shalat, jadi tanpa iming-iming Surga pun akan shalat.
Setidaknya ada tiga golongan:
a. Shalat orang awam, mereka hanya membaca rukun Qouli tanpa faham artinya. Shalatnya tidak memberi efek mencegah pebuatan keji dan mugkar.
b. Shalat orang khusus, mereka yang membaca rukun qouli dengan memahami arti apa yang ia baca. Tapi terkadang lisan mengucapkan dan fikiran memahami dengan masih punya hanyalan/fikiran lain selain shalat dalam shalatnya. Salatnya terkadang memberi efek, terkadang tidak.
c. Shalat orang yang lebih khusus ialah faham dengan apa yang ia baca, meletakkan fikiran dari urusan selain shalat dan hati terus berjalan. Shalatnya memberi efek dan membersihkan hati.
Contoh: Orang yang berdzikir “Subhanallah” atau “Alhamdulillah”
Orang Awam yang penting lisan mengucapkan.
Orang yang khusus/ menengah tau maknanya, tapi banyak tidak berefek karena fikiran dan hati tidak berjalan
Tapi orang Khoas, ketika lisan menyebut “Alhamdulillah” (segala puji bagi Allah.), dia sadar betul bahwa segala puji hanya milik Allah, sedangkan cacian dan hinaan milik dia. Dia sadar akan hal ini, sehingga ketika di caci tidak marah karena kalau marah berarti dia muafik di karenakan makna hamdalah adalah segala puji hanya bagi Allah yang mafhum mukholafahnya hanya cacian yang dia miliki. Tetapi ketika di hina ia marah berarti secara tidak langsung dia merasa punya pujian.
Menurut Gus Mus, dalam islam juga ada kelasnya. Ada yang memahaminya setingkat dengan TK, ada yang setingkat dengan SD, ada yang setingkat dengan SMP dan seterusnya. Kita yang sudah SMP (misalnya) tidak boleh menyalahkan anak SD. Mengapa?, karena dia masih dalam proses. Kita hanya boleh menyalahkan jika dia berfaham salah tapi menyalahkan orang lain dan sudah selesai prosesnya.
Artinya, teruslah kita belajar tanpa menyalahkan orang lain selagi masih di benarkan Syari’at. Memahami makna bacaan shalat sampai meresap dalam hati tidaklah wajib dan jika hanya ada yang melakukannya tidak salah menurut Syari’at. Tapi kita harus menyalahkan diri kita jika tidak bisa sampai meresapi bacaan itu dengan tidak menyalahkan orang lain.
Contoh maqom dalam tasawuf, ketika ada orang yang memberi kita sesuatu, kemudian kita langsung mengucapkan “terimakasih” kepada orang yang ngasih. Maka menurut orang yang sudah dalam maqom tinggi hal ini tidak di benarkan. Bahkan dalam maqomnya Syaikh Abu Yazid al Busthomi hal demikian sudah derajat syirik. Padahal bagi orang awam hal ini tidak salah. Hal ini karena orang yang tinggi maqomnya memiliki keyakinan “Hakekatnya yang memberi adalah Allah, yang menggerakkan dia untuk memberi juga Allah. Jadi sudah sepantasnya mengucapkan Alhamdulillah terlebih dahulu kemudian mengucapkan trimakasih kepada mahluk yang memberi.”.
Demikianlah urai beliau detail, semoga Allah meneguhkan Iman, Taqwa, dan Islam kita. Inna sholatii wanusuki wamahyaya wamamati lillahirobbil ‘alamiin. Wallahu’alambishshowab.
Muhammad Zuhri Anshari
Muza elfarabi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar