Jumat, 04 Maret 2011

GARIS TAKDIRNYA


Bismillahirrahmanirrahim,,
 “Ahhh...” teriaknya keras penuh kepanikan. Terlalu sering nyeri itu menggandrungi lambungnya. “Lambung saudara harus mendapat perawatan yang lebih” ucapan seorang dokter ahli sebulan lalu yang terus terngiang ditelinga Izul. Yang hampir saja memupupus segala harapan yang  dia rencanakan, pasalnya diusianya yang amat muda, Izul sudah berkawan dengan penyakit yang amat mengerikan, yang kapan saja merampas nyawanya. Hari-hari yang semakin dihantui kegelisahan belum lagi obat-obat yang harus dia jejalkan kemulutnya sendiri.
“Kapan aku hidup nyaman selaksa kemarin hari??” erangnya didepan layar laptop yang dibiarkan menyala sementara tangannya sibuk memegangi perut yang terasa nyeri. Sorot matanya memudar ngilu, raut mukapun semakin tertinggalkan keceriaan. “Bufhh” dihempaskannya tubuh Izul yang semakin melemah, dihirupnya nafas panjang lalu ia hempaskan berlahan. Hal tersebut ia lalukan agar ia tetap tenang.
Matanya terpejam sesaat. Mengatur posisi tidur yang nyaman. Tangannya kini mendekat perutnya sendiri, seakan-akan meminta damai kepada lambungnya itu. Nafasnya mulai teratur, diapun kembali duduk denghadap layar laptop yang sejak tadi hanya memperhatikan erangan-erangan Izul.
Izul pun kembali lagi bercumbu dengan keyboard meramu kata dalam kalimat yang kemudian menjadi bait-bait. Sakit yang iya rasa sedikit terlupakan, yah ramuan yang cukup mujarab untuk izul saat ini.
“Kenapa lagi-lagi memoriku bergerak mengingat kejadian itu, hufs” dengan nada setengah berpuisi.
-Suatu kamis- Saat matahari mulai kusut menampakkan kegagahannya. Tepatnya tiga tahun lebih di masa lalu. Syarafnya menyimpan memori itu sampai untuk saat ini. Izul masih mengingat kejadian saat itu, saat dia memacu sebuah matic merah milik seorang yang kini telah semerbak mewangi dalam rongga hatinya. Konsentrasinya membuyar dan “Brak,,” dia menabrak sebuah tong sampah. Semua orang menatapnya lekat, mungkin juga ada yang terkekeh melihat panorama yang terjadi seperti para comedian dalam penayang salah satu stasiun TV yang cukup tersohor.
                “Minum dulu yah, kamu tenangin dulu”
                “Maaf ya Nay, motormu ada yang rusak ga?”
                “Motorku nda’ usah toh kamu fikirin, yang penting kamunya ga papa. Sudah tenangin dulu”
Izul pun meminum  segelas air yang Nay berikan sebelumnya, seteguk demi setegug air sudah dia habiskan hapir separuh gelas besar. Dari situlah mulanya keakraban itu tersentuh. Di suatu sore yang hampir meranum dalam atmosfir jogja.
                “Kamu ga saum kan Zul” Timpalnya lagi.
                “Ga ko’” jawab Izul yang masih terkaku-kaku sambil melirik keadaan matic sekedar untuk memastikan matic itu tidak kenapa-kenapa. “Astaghfirullahal adzim, hatiku ga enak sekali terhadap Nay, dia terlalu baik” Izul menggumam. Rasa bersalah masih terkatung-katung dalam kerendahan jiwa yang selalu berubah selaksa air yang terseok angin saat bertengger diatas sehelai daun talas. Belum lagi ia baru mengetahui bahwa sebelum mereka berada di Universitas yang sama, keduanya pernah satu SLTA. Namun itulah yang terjadi, Izul tak pernah mengenal Nay di SLTA berbeda dengan Nay yang telah mengenal Izul saat di SLTA. Izul yang terlalu sibuk dengan kegiatan Ekstrakulikulernya saat itu, sehingga tak sempat berkenalan dengan beribu tubuh yang berada dalam SLTA-nya itu. Belum lagi Nay yang tak terlalu aktif dalam kegiatan sekolah menjadikan dia sosok yang asing bagi Izul sendiri. Tidak hanya itu, keduanyapun pernah berada pada pesantren yang sama, jadi makin kuat sudah alasan untuk tidak mengenali Fatkhiyyah Naylah karena selain ketidak aktifan Nay sehingga Izul tidak mengenali Nay, alasan lainnya adalah peraturan pesantren yang masih membatasi pergaulan dengan lawan jenisterkecuali sudah waktunya dan dalam batas syari’at tertentu. Sebagai ihtiat.
“Untunglah kalo gitu, saya akan merasa bersalah memberi minum kalo memang kamu saum” Ujarnya lembut, Fatkhiyyah Naylah nama lengkap gadis itu. Gadis yang dikarunai keteduhan yang tergambar dari perilakunya yang cukup tenang. Modis namun tidak terlalu isrof. Memiliki selera humor yang cukup.
“Ah santai aja Nay, thanks banget yah. Tapi maticmu bener ga papa?”
“Ya ga papa, yang kenapa-kenapa tuh kamu Zul. Udah lupain aja.”
“Okay, kalo begitu maumu Nay”
Begitulah kiranya bayangan masa yang barusan saja memadati kepala Izul, sampai-sampai sakitnyapun tidak lagi dia rasakan. “Hufst.. mengapa aku tak mengenalmu dari dulu ya Nay. Tapi memang benar rencana Allah lebih indah seperti yang kita alami ini.” Tuturnya setengah menggumam. Lalu kembali lagi bergelut dengan papan ketik lappinya itu untuk kesekian kalinya. Tapi situasinya tidak menguntungkan imajinasinya, dikarenakan hadirnya sekelumit rindu yang keburu meraja dalam relung hatinya. Tentram selaksa syair yang menyatu dalam lafaz serta sholawat, sejuk terdendang. Bening bak embun. Siapa yang tak ingin rebah dalam kasturi cintaNYA, rindu yang terus membuncang berlalu lalang serta meruncingkan kerendahan hati, sementara sakit menjadi sebuah maghfirah. Yah Cinta yang telah memenuhi syari’atnya, tiada mungkin menyesakkan raga yang fana’.
“kring,,” dering HP yang membuyarkan lamunan izul “Brakk”.“Innalillahi,” saut izul melihat Hpnya yang jatuh berantakan tak sengaja tersenggol.
Aslm,
Aku mengirim sesuatu di emailmu zul. Mohon di baca.
Langsung saja Izul menacapkan modem di lappynya, rasa penesaran menyeruak dalam dinding jiwanya, berdendum mebentuk nada yang tak begitu teratur.
“Bismillahirrahmanirrahim,,”
Asslamu’alaikum wr. Wb.
Semoga Allah melapangkan hati kita dalam setiap masa yang terus kita pijaki. Dan semoga kita hanya selalu mengharap dan menggantungkan diri kita pada Dzat yang maha Kekal, dimana kasih dan sayang yang Dia beri jauh melebihi dari segalanya. PenjagaanNYA melampaui segala hal.
Saya sudah membaca surat yang kamu dititipkan melalui nida,
Saya pun cukup mengerti, tapi belum mampu memahami,
Aku sangat menghargai orang yang mencintaiku, yang mengharapku sejak lama. Tapi aku sendiri tak faham perasaan apa yang telah menyelinap dalam hati, aku tak bisa menyimpulkan bahwa itu cinta, yang ada hanya perasaan khawatir menyakiti orang yang telah mencintaiku.
Jiwaku masih asyik mengembara, sampai-sampai aku tak tau untuk dan kepada siapa aku dapat merebahkan kepalaku dipundak seorang hamba disaat aku butuh perlindungan. Akankah aku wakafkan semua cintaku kapadaNYA? Hingga tak ada yang memiliki, namun hal itu tidaklah mungkin karena aku tak seperti jalaludin rumi atau hamba-hamba terpilih. Terkadang aku sengaja tumbangkan cintaku pada seoarang pemuda karena khawatir aku mengecewakannya, melukainya.
Tapi satu hal yang ingin cukup kamu dan Dia yang tau dalam hal ini,
Biarlah aku mencoba mencintai oarang yang sudah mencintaiku, dengan mengharap ini adalah AnugrahNYA tanpa harus mengurangi muhabbah ku padaNYa. Tapi apakah aku akan mampu? Dapatkah aku berlaku adil terhadap diriku sendiri? Seiring dengan itu ketakutan masih menjamuri diriku.
Aku hanya bisa mengucapkan, tak dirasa aku telah menyayangimu. Namun lagi-lagi semoga ketentuanNYA adalah hal utama yang aku harapkan.


Fatkhiyyah Naylah.
Wassalam....
“Barokallahu fiih..” saut Izul seusai membaca email dari Nay
“Hufst.. hanya Engkau yang tahu ya robb akan perkara hati, Engkau pula yang membolak-balikkan hati ini. Maka jika hati ini serong dariMU maka aku berharap Engkau luruskan lagi.” Rintih Izul, entah apa yang dia rasakan, senang dan atau sedih.
Hingga kantuk menjegalnya.
**
“Innalillahi, kesekian kalinya aku terbaring disini” ujarnya saat tersadar. Di rungan yang serba putih, beraroma obat yang tidak menggairahkan. Infus sudah menikam tangan kirinya. Tubuhnya terbaring lemas.
“Alhamdulillah kamu sudah sadar Zul” ucap zein sahabat akrab yang satu kontrakan dengannya.
“Orang tuamu sudah kami hubungi, sekitar dua atau tiga jam lagi beliau datang” timpal Nay. “Sementara menunggu orang tuamu, kita bertiga akan menemanimu” ujar Nida tak mau ketinggalan.
“trimakasih ya, Zein, Nay ma Nida.”
“Jangan berterimakasih atas sebuah kewajiban Zul, kita inikan sahabatmu sudah seharusnya kita saling menolong. Ta’awanu ‘alalbirri katamu” tutur Zein.
“Cepat sembuh ya Zul, bulan depankan kita diwisuda.” Tambah Nida sedikit bergaya dengan gaya khasnya.
“Ya insya Allah.”ucap Izul sedikit senyum.
                Lalu dilanjutkan obrolan-obrolan yang cukup ringan sekedar untuk mengusir kepucatan di wajah Izul. Beruntung Izul memiki sahaba-sahabat seperti mereka. Saling menguatkan, mengisi tanpa harus mengharap balas budi. Murni karena ilahi, pantas jika selama ini kedekatan mereka tak pernah teragukan. Kokoh tak seperti sarang laba-laba yang bisa goyang tersapu angin. Yah Uhwah ilahiyyahlah yang tumbuh dalam keempat hati. Meski perbedaan warna melatar belakangi mereka tapi meraka tetap satu kiblat yang sama, ALLAH. Hal itulah yang mengeratkan hati mereka dalam garis syari’atNYA.
                “Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh”
                “Wa’alikum salam warohmatullahi wabarokatuh” serentak keempatanya menjawab salam.
                “Abii, Umii.” Nada yang begitu rendah yang terlantun dari mulut Izul diiringi airmata hangat.
“Kamu kenapa lagi?” tanya sang ibu yang langsung memeluk tubuh anaknya yang masih terbaring. Berdearai airmata mengalir melewati pipinya yang mulai kriput dimakan usia.
“Ga’ papa Umi, Izul baik-baik aja ko’” ujar Izul setengah terisak. Ia brusaha menenangkan ibunya.
                Sang ayah hanya mematung melihat adegan anak dan istrinya, ingin sekali dia menangis. Tapi ia tak mau menampakkan airmatanya, ia hanya menjerit dalam hati. dia tau anaknya adalah anak yang tegar. Jadi iapun akan mengalirkan ketegaran itu dari apa yang dilakukannya saat menatap adegan itu.
                “Sudahlah Umii, anak kita baik-baik saja ko’, Izul hanya butuh waktu beristirahat”Tegas sang Ayah menenangkan hati istrinya.
                Suasana haru menyeruak seisi ruangan itu. Nay pun turut terisak di pelukan Nida saat menyaksikan keharuan itu, Nida mencoba menenangkan hatinya. Begitu juga Zein.
                “Maaf ya nak, Izul sudah merepotkan kalian” tutur Ibu terhadap sahabat anakanya itu.
                “Ga papa ko bu” jawab Zein.
                “Ohya Bu, Pak, kami pamit dulu. Kalau butuh bantuan kami, kami siap” Tambah Zein
“Kalau misal butuh istirahat atau yang lainnya bisa di tempatku dan Nida juga bu, pak.” Tambah Nay sedikit tenang.
“Iya bu, pak. Kami senang bisa membantu. Untuk bergilir menjaga juga insya Allah” Tambah Nida.
“Bapak dan Ibu sangat berterimakasih sekali kepada kalian. Semoga kebaikan kalian dibalas oleh Allah dengan balasan yang jauh lebih baik dari yang kalian berikan pada kami” Ujar ayah izul.
“Amiin” ketiganya serentak mengamini.
“Zul Kami pamit dulu yah, moga lekas sembuh, Waasslamualaikum warohmatullahi wabarokatuh.” Ucap Zein sambil menjabat tangan sahabatnya itu, sementara Nay dan Nida cukup menyatukan telapak tangan mereka di depan dada mereka. Kemudian keduanya berjabat tangan dan memeluk tubuh ibu dari sahabat mereka “Yang sabar ya bu”tutur Nay saat memeluk tubuh sesosok ibu dari lelaki yang dia sayangi. Sementara Zein berjabat tangan dengan ayah sahabatnya.
Ketiganya meluncur keluar melewati koridor-koridor rumah sakit. Mata Nay masih sembab oleh airmata. Ia tak menyangka akan kejadian begini, takut-takut ini reaksi dari email yang ia kirimkan tadi malam. Lalu Izul lepas kotrol. Sayu memagari hatinya.
“Kamu sudah membaca surat dari Izul?” tanya Nida.
“Hu’um” jawab Nay seoah malas untuk berbicara, kata-katanya tercekal di pangkal tenggorokan. Dan langkahnya tiba-tiba berhenti, menghela nafas. “Semalam aku langsung membalasnya” tambahnya.
“Kamu jawab bagaimana” Tanya Zein.
“Aku tak bisa berkesimpulan, karena aku belum bisa memahami ini semua.” Jawab Nay dengan nada rendah.
“Aku percaya kamu bisa memberi keputusan yang bijak untuk Izul” Tambah Zein.
“Aku mengerti, kamu sayang kan terhadap Izul?” Tanya Nida kesekian kalinya.
                Nay pun mengangguk ringan, kemudian ia hanya meruduk sambil terus berjalan keluar dari rumah sakit, tangannya menggandeng erat tangan Nida. Seolah-olah ia ingin mengalirkan bebannya pada Nida. Nida pun membalas bergandeng. Sementara Zein hanya menyaksikan kedua sahabatnya yang saling beradu kesedihan.
                “Kriing..” dering HP dari tas yang dikenakan Nay menghenyakkan kebisuan ketiganya.
                “Sebentar” pinta Nay pada kedua sahabatnya.
                “Hah Izul” celetuk Nay ringan. Kedua sahabatnyapun penasaran.
                “Ada apa dengannya Nay?” Tanya Zein cukup meninggi dengan nada tegang, ia khawatir akan keadaan karibnya itu.
                Aslm..
Nay sampaikan maafku pada Nida dan Zein jika ternyata aku lebih dulu tiada. Akupun minta maaf jika ada janji yang belum aku tepati.
Semoga Allah selalu mencintaimu,
Wassalam.

Tanpa pikir panjang ketiganya memutar balik kembali ke ruangan Izul. Mereka melangkah setengah berlari, tak tau lagi apa yang mereka fikirkan. Yang pasti sahabatnya butuh kehadiran mereka. Koridor demi koridor mereka lewati. Kini ruangan yang di tempati oleh Izul sudah gamblang dihadapan mereka. “Hufts..” ketiganya menghela nafas, kini posisi ketiganya sudah berda tepat di bibir pintu.
“Assalamu’alakum,, pak, Bu” ketiganya serentak. Lalu terhenyaklah ketiganya saat melihat isak tangis dari sosok ibu. Belum lagi para dokter yang kini telah memeriksa kondisi Izul yang tidak sadarkan diri.
“Wa’alaikum salam”
“Izul kenapa bu?” tanya Nay sedikit merunduk, ada takut dihatinya. Takut ucapannya akan menambah kepiluan ibu sahabatnya itu.
“Ibu ga tau nak” sambil memeluk tubuh Nay. Nay pun memeluknya erat. Keduanya pun terisak hebat cukup lama.
Sementara Zein dan Nida menenangkan Ayah Izul, meski mereka tak cukup berhasil. Karena airmata sudah lebih dulu mengalir gambarkan kesedihannya. Tapi tangis sosok bapak itu tak seekstrim Nay yang kini masih menangis bersama dalam pelukan Ibu, meski bukan ibu kandungnya. Tapi ia cukup merasakan apa yang dirasakan wanita yang sudah umur itu.
“Kamu yang bernama Nay?” tanya sang ibu setelah melepas pelukannya sambil masih terisak. “Iya bu, kenapa?” belum sempat pertanyaan Nay terjawab, Nay sudah dalam pelukan ibu Izul untuk kesekian kalinya tanpa sepatah katapun. Tak ada suara terkecuali isakan demi isakan. Sementara para dokter terus memberi penanganan.
Sudah hampir tiga hari Izul tidak sadarkan diri, tentu saja ini menyajikan kecemasan yang teramat dalam bagi kedua orang tuanya. Kebekuan demi kebekuan masih memenangkan peperangan yang bergejolak dalam sebuah dimensi tersembunyi. Menyatukan mata rantai antara sakit dan perih. Tapi inilah sebuah takdir, takdir yang harus dijalani dengan tetap menggaungkan AsmaNya dalam hati. Roja’ dalam pertolonganNYA, hanya pertolanganNYA. Tiadalah mungkin suatu golongan menyelamatkan seseorang jika DIA tetap mencelakakan orang tersebut. Begitupun sebaliknya jika suatu golongan itu berusaha mencelakai seorang tiadalah sanggup golongan itu mencelakainya sementara Allah mengkendaki keselamatan baginya. Maha besar Allah atas segala ketentuanNya.
Rangkaian do’a demi do’a bersemi membasahi kedua orang tua Izul, tak ketinggalan ketiga sahabatnyapun turut larut dalam do’a demi takdir yang dikehendaki serta kebaikan dari ketentuanNya. Sampai pada suatu malam, saat Nay membangun sujud-sujud di sepertiganya. Iyapun melarutkan diri dalam  do’a. Matanya sembab oleh deraian airmata, menyadari betapa tidak berdaya dirinya menjalani takdirnya, terguling kesana-kemari. Terombang-ambing masa sampai pada masalah tentang hati yang harus ia jalani. Rasa cinta mengalir dalam relung-relung qalbunya, khub telah menghantarkannya pada kepasrahan diri. Hanya Dia yang maha cinta, dan sepatutnyalah cinta membalut hatinya ia titIpkan pada sang khaliq yang maha mengetahui.
“Ku percayakan hidupku ini atas izinMu ku mampu tetap berdiri dan ku ihlaskan segenap diri dalam lirihku mohonkan petunjukMu menerangi.
Garis takdirku sebagai hambamu, selalu bersujud mengharap cintamu, hidup matiku digenggamanmu. Ku pasrahkan hanya padaMu.
Badai merintang menghalangi asal engkau tetap dihati tiada ragu tuk jalani takdir ini. Kuteguhkan keimanan hadapi cobaan, karena takdir digariskan adanya ujian, kuatkanlah hamba[1].
Ya Robb.. aku selipkan do’a ini diantara semua ibadahku untuk orang yang tulus dan bersih hatinya, kuat, tegar dan teguh. Orang yang selalu sabar dalam menghadapi cobaanMU hamba yang taat serta shalih. Orang itu saat ini sedang terbaring dalam sakitnya. Sembuhkanlah iya ya Robb.
Ya Allah aku menyayanginya, berikan kebahagiaan  dunia akhirat dan derajat yang paling mulia disisiMU.”
                Tangisan kini mulai meraja, syahdu dalam pengaduan kepadaNYA. Cinta adalah pangkal dari setiap perbuatan yang baik ataupun yang buruk. Maka pangkal dari semua amalan agama ini adalah cinta kepada Allah dan RasulNya[2].
                “Kring..” Bunyi yang terurai dari benda kecil yang bergetar diatas meja. Naypun langsung mengambilnya, tanpa lebih dulu melepas mukenah yang ia kenakan. Jarinya terampil menyaut ajung benda itu, “Ibunya Izul..” Gumamnya sambil mengernyitkan jidat. Ada tanya dalam hatinya. Ada apa di pagi yang masih menyembunyikan keramaian ini sehingga beliau sms.
                “Alhamdulillah” ucapnya cukup lantang lalu ia lanjutkan dengan sujud syukur atas kesadaran Izul dari komanya itu. Airmata hangan terurai membasahi pipnya yang meranum. Lalu tetap tanggelam dalam syukur sampai saat subuh menggema.
                Aslm..
Wajahmu begitu dekat dihadapan subuhku ini, ada embun yg sejuk menyirami hatiku yg lusuh. Aku bahagia mendengar kamu telah sadarkan diri.
Wassalam..
**
                Hari itupun datang, Izul sudah sehat seperti sedia kala. Bahkan lebih baik sekarang. Harinya kini lebih tegar. Tentram, pasalnya gadis yang ia cintai akan segera bersanding dua bualan setelah wisudanya. Dan pada hari ini, resmi sudah gelar sarjana tertulis dalam akhir namanya. Alangkah bahagianya kini. Selain mendapat IPK yang memuaskan, iapun menemukan belahan hati yang akan menyempurnakan agamanya serta menjalani sunnah rasul. Sungguh maha indah Allah menyekenariokan hidup ini.
                Asslam..
Kapan kita silaturrahim kepesantren Nay?
.
Wa’alaikum salam..
Nanti saja sekalian mengantarkan undangan ke Asatidz dan Asatidzah, sekaligus meminta kehadiran Romo Yai untuk mengisi khutbah Nikah. Bagaimana?
.
Ide yang cemerlang, Alhamdulillah.
Sudah ya, jaga dirimu. Insya Allah lusa aku ke jogja.
semoga Allah meridhai ihtiar kita.
Amiin..
.
Aminn..
Kami menunggu,,
Hati-hati di jalan.
MUHAMMAD ZUHRI ANSHARI
Muza elfarabi
Yogyakarta, 2 Januari 2011


[1] (Haris Shaffix - Garis Takdir)
[2] (Ibnu Qayyim)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar