Muza_elfarabi
Muhammad Zuhri Anshari
Derai air hujan menghujam kerikil kecil, mengalunkan desingan digendang telinga, basahi tubuh kumuh yang tersungkur kaku didepan sebuah rumah yang cukup mewah. Mata yang teramat sayu disertai wajah yang semakin memucat. Gemeretak gigi beradu meyakinkan betapa kedinginannya lelaki itu.
Jalan teramat sepi, tak ada seorangpun melintas. Mereka sibuk memanjakan diri diatas pembaringan atau sekedar menonton televisi, bersenda gurau dengan anggota keluarga sambil manikmati hangatnya teh, ataupun sekedar membaca koran dikursi goyang dengan kopi serta sedikin cemilan ringan. Keadaan yang amat klop untuk mengusir kebekuan hujan sore ini.
Hujanpun mulai nampak reda ditandai dengan rintik-rintik air yang berpacu dalam sekala yang teramat kecil diatas genengan air, membentuk nada yang cukup sahdu.
“Maaf saudara siapa?” suara seorang gadis menggugah kekakuan pemuda itu. Gadis yang termat anggun. Tatacara mengenakan pakaian yang jauh beda dengan gadis-gadis era sekarang yang terbius oleh dunia barat. Baju longgar membalut tubuh gadis itu, belum lagi rok yang dia kenakan tidak membuat kaki sulit untuk bernafas. Kerudung yang dia kenakan amatlah serasi dengan wajah mungil nan polos, sorot matanya yang iba menatap panorama yang dia temui di sore itu.
Mata pemuda itupun terbelalak saat mendengar suara yang sejuk mengalir dalam telinga dari bibir manis gadis itu. Tangannya masih erat merangkul kedua kakinya yang ia rapatkan kedadanya. Dagu ia tumpukan pada lutut kaki yang masih bergetar.
“Dingin.” gumam pemuda itu dengan nada terbata-bata.
“Mari kerumah orang tuaku.” pinta gadis itu. Dengan sigap dibukanya gerbang rumah. Dilihatnya lagi pemuda yang masih ternyenyak oleh hawa dingin. Kasihan sekali lelaki ini, gadis itu membatin.
“Saudara tidak perlu takut, ini benar rumah kedua orang tuaku.”
Akhirnya pemuda pun berjalan mengikuti langkah mungil gadis yang berhati mutiara itu. Dengan tubuh yang masih terbungkuk, tangan yang masih dia lipatkan kedada. Matanya menyisir seisi halaman rumah, dipandanginya taman yang rapih dengan beberapa tanaman hias yang terawat dan tertata. Tentu menyuguhkan keindahan sebagai bukti kekuasaan ilahi.
“Tunggu disini yah, saya kedalam dulu.” sergah sang gadis, “Maaf, bukan berarti saya melarang saudara masuk, saya hanya takut ada fitnah.” timpal sang gadis dangan nada lembut. Keaktifannya dirohis tidak membawa kesia-siaan dan kemubadziran. Syari’at yang amat kuat ia gigit dengan gerahamnya. Dia tau pemuda yang ia temui bukanlah muhrim. Namun bukan berarti dia menolong dengan setengah-setengah, syari’atlah yang membataskan.
“Emm, iya saya faham.” jawab sang pemuda sambil beranjak duduk dikursi, dia teliti sudut demi sudut halaman, tanaman. Dia sibak dengan ratapan keasingan. Sisa-sisa air masih membasahi dedaunan. Sinar matahari yang baru nampak tak begitu cerah, menandakan hari mulai sore.
“Silakan diminum tehnya. Ini juga ada sedikit kue, kamu makan ya. Semoga bisa mengusir rasa dinginmu.” tawar gadis anggun. “Terimakasih, kau sangat baik.” tegas pemuda. Lalu keduanya duduk tersekat meja di depan teras rumah. “Maf, mas siapa?” tanya sang gadis membuka percakapan. “Alfin” jawab pemuda singkat. “Darimana mas?, serta mau kemana?” gadis itu menimpali pertanyaan. Suasana mendadak senyap sesaat, nampak sang pemuda menerawang ke arah langit mencoba mencari jawaban yang terlantun oleh gadis berwajah manis. Dihelanya lagi beberapa nafas berharap ada jawaban yang akan dia lontarkan. “Ada apa mas kok diam?” tegur sang gadis. “Aku dari sebuah kampung keterasingan, suatu hari kamu akan mengerti” jawab Alfin dengan nada yang teramat dingin. Begitu kaku bibirnya untuk merangkai kalimat selaksa beban menggandrungi pundaknya.
Rona kebingungan terpancar dari wajah sang gadis, ada yang tak ia fahami dengan ucapan Alfin. “Ohh demikian, ohya mas sebentar saya kedalam dulu.” sambil melangkah kedalam rumah. Dia sempat melirik kearah Alfin “Astaghfirullahal ‘adzim” sepontan bibir mungilnya beristighfar, “Aku telah memandang berlebih, ampuni aku ya rob. Sebenarnya pemuda itu siap.”, guman sang gadis dalam hati. Diambilnya sebuah bungkusan yang baru ia beli, dan ia papah keluar rumah. “Mas ini untukmu, mas membutuhkannya” sambil menyodorkan bingkisan ke arah Alfin. Alfin menatap kearah gadis yang manunduk dihadapannya.”Kamu baik sekali, tidak hanya memilki kecantikan fisik, tapi hatimu juga baik” Alfin membatin. “Mas terimalah” tawar sang gadis. Alfinpun menerima pemberian gadis berhati mutiara itu, tangan alfin bergetar menerima hibah itu. Embun telah mengalir sejuk dihati Alfin, belum pernah dia temui sosok yang berdiri mematung didepannya. “Trimakasih banyak, kamu siapa?” dengan nada yang masih kaku. “Adinda Laras, panggil saja laras.” jawab laras yang masih menunduk. “Nama yang cantik, secantik hatimu.” celetuk Alfin sambil menelisik langit yang mulai gelap. Laras hanya tersenyum “Alhamdulillah hadza min fadlli robbi” gumamnya dalam hati.
Dua potong kue telah Alfin makan. Tehpun telah menghangatkan tubuhnya sehingga kebiruan di bibirnya nampak memudar. “Laras, saya pegi dulu.”. “Kemana?, pulang?” tanya Laras. “Entah kemana kaki ini akan singgah, mencari tempat singgah.”. “Maksud mas apa?” tanya Laras penuh keingin tahuan. “Kamu akan tau nanti” tegas Alfin sambil beranjak dari kursi, “semoga Yang Baha Baik membalas kebaikan hatimu” timpal Alfin sambil menatap laras yang masih duduk dikursi dengan wajah tertuntuk sedikit meninggi. “amiin”
Laras tak bisa berbuat apa-apa, selain menatap kepergian Alfin. “Alhamdulillah ya rob, Engkau masih memberiku ni’mat yang jauh lebih banyak dari syukurku. Semoga Engkau menuntun langkahku, pemuda itu dalam jalanMU” laras membatin. Di helanya nafas panjang, lalu dia hembuskan. “Tunjukkan HikmahMU hari ini ya rob”.
Waktu melangkah tanpa permisi, satu tahun berlalu begitu cepat mengantarkan usia menuju kedewasaan. Pakaian abu putih tertanggalkan menjadi bukti masa yang berganti. jika kemarin masing bermanja-manja, maka hari ini mulai terkikis malu sehingga kemanjaanpun mulai terbias oleh kedewasaan. Salah satu perguruan tinggi negeri di indonesia, persinggahan baru sebagai ihtiar meraih keridhoanNya. Kedewasaan terangkum dalam ucapan penuh makna. Ahlaqul karimah terpancar dalam gerak langkah, Allah menjadi tujuan, qur’an dan hadist menjadi petunjuk arah serta peta diri dalam jalanNya, iman serta taqwa bekal yang tertanam dalam diri maka amal shalih menjadi senjataamar ma’ruf nahi munkar.
Laraspun dengan lincah menaiki tangga menuju kelas dimana ia memperoleh ilmu serta pemahaman psikologi. Diapun duduk di kursi paling depan “bismillahirrahmanirrahim” gumamnya. Lalu diapun khusu’ memperhatikan penjelasan dosen yang masih terliat gagah serta penuh wibawa.
“Laras, bisa temani saya ke penjualan buku-buku murah?” pinta seorang gadis yang duduk disampingnya. “Okey deh sobatku” laras mengiyakan permintaan sahabatnya. Nihayatuzzain, sahabat yang sangat berarti bagi hari-hari laras, teman sharing dan berbagi. Aya pulalah yang paling mengerti jika dia dilanda masalah. Laraspun tak sungkan meceritakan tentang kehidupannya dengan seorang ayah. Bahkan diapun mempercayakan kisah pertemuannya denagn seorang pemuda beberapa tahun lalu yang membuatnya masih terbingung-bingung, ada seribu lebih tanda tanya yang belum dia mengerti dari tingkah laku pemuda itu, laras masih ingat benar ucapan lelaki itu, “Kamu akan tau nanti”.
Laras dan Aya mengadu kaki diatas trotoar yang menahun, menerobos debu yang menghambur disertai sengatan matahari yang semakin tak bersahabat. Setelah jauh berjalan kaki, nampaklah jejeran penjual buku-buku. Laras dan Aya pun memacu langkah lebih cepat. Setelah sampai, merekapun membidik buku yang mereka perlukan untuk litelatur kuliah mereka. “brukk” suara buku tejatuh. “Maf tidak sengaja” celetuk Laras dan seorang pemuda berbarengan. “Tidak apa-apa” lagi-lagi keduanya berbarengan. Pemuda itupun memungut buku yang terjatuh, lalu segera dia berdiri, dan dia menerawang kearah laras. Dia mencoba mengingat-ingat. Dia merasa telah akrab dengan gadis dihadapannya. Gadis anggun yang telah menolongnya, tapi siapa. Dia lebih keras lagi memutar memori ingatannya. Mencari nama gadis anggun yang mematung dihadapannya. Tidak hanya sang pemuda. Laras pun nampak mengingat-ingat nama pemuda dihadapannya. “Ya rob hamba lupa siapa nama pemuda ini, apa dia masih mengingatku juga” Laras membatin. “Mas Alfin?” tanya Laras. Sebuah nama yang dia temukan dalam memorinya. “Laras, kamu masih mengingatku” ucap Alfin.
Nampak keduanya memutar memori yang telah membekas dalam sejarah hidup mereka, gadis anggun yang menjadi embun bagi Alfin. Pemuda misterius yang mengundang berjuta tanya bagi laras. “Gimana kabarmu Ras?” tanya Alfin menutup kebisuan sesaat. “Alhamdulillah baik, mas sendiri?” tanggap laras dengan nada santun di iringi senyum manis yang tersimpul menambah keanggunan gadis yang bernama Laras. “Alhamdulillah mas juga baik, sudah kuliah ya sekarang?”. “Alhamdulillah sekarang jadi mahasiswi. Ohya mas hampir aku lupa. Ini sahabatku, Nihayatu zain” timapal laras sambil menengok ke arah sahabatnya yang telah tak bersuara beberapa menit menikmati obrolan Laras dan Alfin.
“Salam kenal, Alfin” celetuk Alfin sambil menelungkupkan telapak tangan didepan dadanya. “Salam kenal juga” balas Aya dengan penuh keheranan, ”Inikah lelaki yang dimaksud Laras, Alfin. Lelaki yang gagah, serasi dengan laras” Aya membatin.
“Maaf, saya harus kembali ketempat saya Ras”. “Di mana tempatmu mas?”. “Maaf Ras, saya belum bisa memberitahunya saat ini”. “Mas punya hutang memberi tahuku tentang asal mas”. Keduanya masuk dalam percakapan yang sengit. “Maaf mas jika perkataanku terlampau menjengkelkan” tegas Laras dengan nada rendah “Ya Rob aku hampir terkalahkan nafsuku, keingintahuanku pada mas Alfin terlalu berlebih, bimbing hati hambamu ini ya rob. Kepada jalan yang telah Engkau hiasi dengan cinta dan keridhoanMU.” Kesekian kalinya Laras membatin. “Berikan alamat yang kamu tempatin sekarang saja” tegas Alfin penuh wibawa.
Dengan tangkas jemari laras menuliskan alamat, dia tak mau membuat menunggu terlampau lama lelaki yang membuat hatinya gelisah tanpa dia mengerti. “Ini mas”. ”Makasih ya, maaf sesudah dan sebelunya. Semoga Allah selalu memberkahi langkahmu dalam atsmosfir keridhaanNya”. “Amiin, semoga yang demikian juga membingkai hari-hari mas Alfin kedepan.”. “Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh.” Alfin mengucap salam diiringi langkah kaki yang mulai menjauh dari gadis anggun. “Wa’alaikum salam warohmatullahi wabarokatuh mas.”
Dua tahun telah berlalu terhitung dari pertemuan Laras di penjualan buku langgananya, tak jua Laras dapati kabar tentang Alfin, lelaki yang mulai memasuki hatinya. Warna-warna cinta telah berpendaran dalam hati laras.
Saat sekuntum mawar mulai merekah, aku takut untuk memulai hati.
Bercak hitam terus mengejarku,
Berlahan aku buka episode masa, memerah cinta dalam sauna.
Kesejukan menyayangi telah berhembus dihati, merekah, meranum.
Buahkan ketenangan hati dalam sujud-sujud penghambaan diri.
Duhai damba diri, kujamukan cinta ini sebagai syukurku atas embun yang telah kau taruh diatas gersang masaku.
Karena dengan inilah aku dapat merasakan benih-benih kecintaan pada Dzat
Pemilik hati.
Air mata mengalir mebasahi pipinya yang mungil. Haru telah menyihir wajahnya yang berseri menjadi kelabu, puisi yang dia tulis tak lagi jelas karena tinta yang pudar terkena air mata. Begitu cepat waktu berputar, setrata satu sudah dia sandang.
“Laras.. laras...” Suara Aya memecah kesunyian. “Ini ada surat, ko’ kamu nangis?” sabil merangkul tubuh Laras. “Siapa yang nangis, aku kelilipan ko’” jawab laras sambil menyeka sisa-sisa airmatanya. “Kelilipan apa?, gajah yah? Kalo kelilipan pasir ga sampe segitunya loh” celoteh Aya renyah. “Kamu bisa aja Ya” jawab Laras sedikit tersenyum dilanjutkan dengan helaan nafas panjang. “Nangisin Alfin ya? Yang belum jelas rimbanya. Ko’ kamu bisa ya jatuh hati sama orang yang belum kamu kenal sepenuhnya?” celetuk Aya dengan nada menggoda. “Sok tau banget deh kamu, aku nangisin...” belum selesai Laras berbicara. Aya langsung menyahut “Nur alfin, Pemuda penuh wibawa itukan?, sudah deh ngaku ja Ras”. “Kalo iya kenapa?” tanya laras. “Wah ngaku juga akhirnya, aku seh ga nglarang. ”Tegas Aya sambil tersenyum. Tapi jauh berbeda dangan Laras yang mulai tak malu-malu menitikkan airmatanya. Laraspun memeluk erat sahabatnya. dia makin tenggelam dalam tangis. Isakan demi isakan terus bergemuruh. “Tenanglah, kuatkan dirimu” Aya mencoba menenangkan hati sahabatnya. tanpa sadar air matanyapun ikut serta meramaikan kesedihan.
“Laras, sabar ya. Bukankah Allah telah mensehati kita yang intinya seperti ini. Diantara orang- orang yang mendapat naunganNya di yaumil mahsar, saat tak ada lagi naungan kecuali naunganNya yaitu pemuda yang saling mencintai karena Allah. Boleh saja kamu mencintai dia, tapi jangan sampai kamu lupa untuk memperbaiki ibadah-ibadahmu kepada Allah” Tegur Aya penuh keibuan, keduanyapun menagis. “Ya sudah buka dulu tuh suratnya, sebelum terhanyut oleh airmatamu yang terus-terusan mengalir itu” celoteh Aya meledek. Dia tak mau sahabatnya terlarut-larut lam kesedihan. “Kira-kira apa ya isinya” suara laras dengan terbata. “Mana aku tau, kalo penasaran lansung saja dibuka, tapi airmatanya di simpen dulu tuh” timpal Aya. “Aku cari angin dulu yah, mau ketempat biasa nyari buku. Kamu baik-baik disini yah. Sebelum maghrib aku pulang lagi ko’. Kan mau tau bapakmu hehe” pamit Aya sambil ngloyor pergi.
Wajah laraspun tak lagi mendung, rupanya mentari telah berkilau kembali dihati laras. Wajahnya kembali berseri-seri. Segera dia buka amplop yang bertengger di ujung tempat tidur.
Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh..
Teruntuk gadis berhati mutiara disenja hari
Detik terus memburu waktu, semoga Allah SWT anugrahkan keridhaan untuk membingkai sisa nafas kita, seiring angin yang bergemuruh. Semoga kedewasaan Iman Taqwa membingkai hidup dalam jalanNya. Amiin.
Seperti janjiku, setelah kamu baca suratku kamupun akan faham.
Aku terlahir tanpa pernah tau betapa hangatnya pelukan sang ibu. Beliau berjuang mempertaruhkan hidupku saat hari kelahiranku. Kemudian disusul kepergian ayahku karena kecelakaan. Usiaku masih amat kecil saat itu. Aku diasuh oleh kyai sepuh yang ada ditetangga desaku, hanya beliau yang peduli terhadapku. Selain beliau, aku dianggap hina karena kondisi ekonomi yang teramat mencekik jantung keluarga. Sedikit benar memang jika uang adalah segalanya, orang bisa mulia karena uang. Meski kemulyaannya bersifat semu. Hal demikianlah yang sedang menjarah hati manusia, terlenakan harta dan kebahagiaan semu. Hingga hati nurani tergadai hanya untuk memanjakan nafsu. Memang tidak seluruhnya.
Hari-hari aku lalui bersama Kyai Haydar yang begitu telaten mendidik saya. Bahkan saya dianggap sebagai anaknya. Dari beliaulah nama NUR ALFIN yang kini aku sandang.
Hingga suatu hari aku merasakan keterasingan yang teramat sangat, sehingga kepiluan menghantarkanku pada keputusasaan. Begitu tak adilanya Sang Pencipta yang telah mengambil orang yang telah melahirkanku, tanpa aku melihatnya. Seorang ayah yang barang sebentar mengasuhku. Hal ini terus merongrong raga yang semakin kehilangan jiwa. Aku pun bertekad untuk pergi dari kampung itu untuk mengubur kenangan yang membuatku merasa terasing.
Aku terus berjalan tanpa tau kemana tujuan serta tempat dimana aku bisa manyandarkan lelahku, meski sejenak. Tak aku tau siapa diriku, untuk apa diriku, apa maksud tuhan menyengsarakanku. Setumpuk protesan diri bertubi-tubi mengeroyokku dari berbagai arah. Akupun semakin hilang pandang, linglung.
Tanpa sadar aku memandang hidup ini tidak beraturan, akalku terpenjara. Akupun menguatkan diri untuk membebaskan akalku. Mengapa aku diciptakan kedunia yang menyangsarakan?
Aku telusuri memoriku, aku teriangat pada buku yang aku pungut dari sisa-sisa pabrik yang sedang cuci gudang. Sebuah buku yang amat tak terawat, kumal, dengan halaman yang tak teratur. Berkat Kyai Haydarlah aku bisa menuai pendidikan. Meski sekolah yang tak layak dan tidak jauh beda dengan peternakan. Namun aku tetap bersyukur.
Semua benda memiliki realitas tak berbah dan tetap, sebuah teori fisikawan yang membuatku marasa ganjil. Tak sesuai dengan nasehat yang aku peroleh dari kyai haidar bahwa Allah tidak merubah nasib suatu kaum, melainkan kaum itu sendiri yang akan merubahnya. Entah pengetahuanku yang salah atau keliru saat itu.
Dan akupu mengingat lagi, sebuah teori fisika kuantum dan prinsip ketidak pastian Heisenberg. Sifat benda sesungguhnya berubah tergantung sudut pengamatan. Akupun mulai merubah diri, mengingat-ingat pelajaran yang aku peroleh dari Kyai haydar. Hingga aku singgah disebuah rumah syurga, ditengah dingin yang menggerogoti tubuh. Seorang gadis anggun berhati mutiara menolongku, bidadari yang membantuku menemukan cahaya-cahaya hidupku yang redup. Bidadari yang membangunkanku dari lelap jiwa, rintih raga yang mati rasa. ADINDA LARAS, itulah nama dari bidadari itu..
Air mata mengalir deras dipipi mungil Laras, tersendu-sendu dalam haru. Sedih, haru dan bahagia bercampur satu dalam hatinya. Dipeluknya Surat yang belum selesai terbaca. Laras merebahkan badannya diatas pembaringan. Matanya terpejam, mencoba menutup jalan air mata. Tapi percuma, airmatanya terus mengalir. Dihelanya nafas yang cukup panjang, matanya kini terbuka dan menyibak langit-langit kamarnya. “Bimbing hatiku ya Rob, atas apa yang aku rasa pada lelaki di sore itu. Tuntun aku padanya untuk meraup kautsarMU” rengek Laras dibarengi sesenggukan.
Nama itulah sering hadir dalam hatiku, yang menjelma menjadi bidadari yang terus memotifasiku untuk merubah diriku. Allah termat baik terhadapku, hingga aku dipertemukan dengan gadis berhati mutiara. Aku belum mampu mensyukurinya.
Maaf sebelumnya jika aku terlalu lancang bicara. Wajahmu teramat dekat dalam pelataran hidupku yang telah kau rubah menjadi taman bunga. Rindu yang tak biasapun aku rasa semenjak pertemuan kita di sore itu. Namun aku sadar diri, aku bukan lelaki baik. Dan akupun mencoba menghindar, berharap tak lagi ada pertemuan yang akan menyuburkan lagi benih-benih yang tumbuh dihati. Namun di penjualan buku itu, Allah mempertemukan aku dengan gadis berhati mutiara untuk kedua kalinya. Akupun merasakan embun yang teramat sejuk, meski aku mencoba mengelak saat itu. Namun tak aku pungkiri, aku teramat bahagia, meski aku tau ini terlampau jauh aku berharab. Tak mampu rasanya jika kekuranganku menyakiti gadis yang jauh lebih baik dariku.
Maafkan aku, surat ini mengganggu hidupmu.
Semoga Allah selalu menaburkan Rahmat serta Ridhonya.
Wassalamu’alaikum warohmatulllahi wabarokatuh..
“Andai kamu tau mas, akupun merasakan hal yang sama. Namun bagaimana aku mengabarimu, tak ada alamat yang mas cantumkan” lenguh Laras, airmatanya belum juga mengering. Tubuhnya tergolek seakan berat untuk bangkit. “Ya Rob tunjukkan jalaku, aku mencintainya. Jika dia adalah Imamku maka pertemukan aku dalam cintaMU. Jika dia bukan imamku maka hapuskan perasaanku padanya. La Haula Wala Quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adlim” doa yang iya panjatkan pada Dzat Pemilik Cinta.
Mataharipun mulai beringsut menuju peraduan. Setelah shalat ashar Pak Abbas tiba di asrama yang ditempati oleh anak semata wayangnya. ADINDA LARAS. Kerinduannya pada sang anakpun terobati, ada bangga dalam diri yang mulai menua. Besok anaknya akan diwisuda. Meski kebahagiaan itu tidak dihadiri isrinya yang merupakan ibu yang melahirkan gadis berhati mutiara. Namun syukur tetap dia panjatkan, karena dia karuniai anak yang sholehan dan berbudi luhur. Malamnya Pak Abbas tidur dikamar tamu asrama, meski iya masih ingin berbincang dengan anaknya.
Sedangkan Laras masih digandrungi gundah, akankah dia bisa dipertemukan dengan lelaki di sore itu. Laras berdiri di jendela kamar, langit malam dia sibak penuh arti. Lamunannya melayang-layang dilangit luas bersama bintang-bintang yang seolah menghibur hatinya. Tak dia sadari kedatangan sahabatnya yang cukup lama berdiri dibelakangnya. Aya sengaja tidak menggubris sahabatnya.
“Eh Aya, ko ga salam dulu?” celetuk Laras saat dia menoleh ke belakang. “Sudah ko’. Makanya kalo nglamun jangan khusu’-khusu’ Ras” Aya membela diri. “Maaf Ya, kamu tau sendirikan isi surat itu. Karena itulah aku bingung seperti saat ini. Aku mencintainya” ucap Laras haru. “Allah akan mempertemukan kelian besok” suara Aya rendah. “Bagaimana mungkin?”tanya Laras. “Tiada yang ga mungkin bagi Allah, kun fayakun.”jawab Aya. “Kita duduk dulu yuk Ras, ada hal yang ingin aku sampaikan”. Keduanyapun duduk berdekatan. “Allah segera mengabulkan doamu sahabatku, tadi sore aku bertemu Alfin ditempat penjualan buku, dan aku sengaja memeberi tahu keadaanmu disini, dan perasaanmu. Aku menyampaikan hal ini karena aku bisa merasakan perasaanya padamu. Ini nomor HP-nya. Dia juga akan datang di wisudamu besok”. Mata Laras terbelalak lebar diiringi airmata “Benarkah apa yang kamu bilang ya?” tanya Laras diiringi tangisan, “Hu’um” jawab Aya singkat. Matanya terpejam sembari dia rebahkan kepala di bahu sahabatnya, menangis sejadi-jadinya menopang kebahagiaan yang baru dia dengar.
Esok harinya, saat mentari gagah menyabut hari baru. Angin yang termat sejuk. benar saja apa yang di sampaikan sahabatnya. Alfin menemuinya. “Trimakasih Mas sudah mau hadir di wisudaku” Laras berterimakasih pada pemuda yang berdiri dihadapannya. “Tidak perlu Laras berterima kasih, Mas turut bahagia.” Balas Alfin, “Surat yang mas kirim sudah sampai?” timpalnya. “Sudah Mas, kenapa?”. “Ga apa-apa” jawab alfin kaku. “Perlukah surat itu Laras jawab?, sementara Mas sendiri sudah tau jawabannya.” Tambah Laras masih tertunduk. “Mas ga faham.”. “Laras berharap mas Alfin yang mengimami hidupku.” Terang laras dengan nada rendah. “Alhamdulillah. Kamu selaksa embun di senjaku” Alfin berhamdalah diikuti oleh Aya yang berdiri dibelakang Laras. Air mata kebahagian meleleh di pipi Aya dan Laras. “Janji Allah tidak pernah ingkar, Allah tak akan rela melihat hambaNya yang selalu berdzkir dan menggantungkan diri padaNya jatuh dalam kenistaan” bisik Aya sambil memeluk tubuh Laras penuh keibuan.
“Kalian disini rupanya” Suara serak Pak Abbas mengagetkan.
“Maafkan Laras Yah, membiarkan Ayah sendiri di kursi tamu.” Terang laras.
“Pemuda ini siapa hayo?” goda Ayah laras. “Jangan-jangan calon menantu Ayah ya?” ledek Pak Abbas menjadi. “Kalau memang iya, apa Ayah merestui” jawab Laras dengan nada meledek, sambil diliriknya Alfin yang tersenyum kecil. “Jaga anak bapak yah” pinta Pak Abbas sambil menepuk punggung Alfin. Hampir-hampir airmata kebahagiaan tumpah dimata Pak Abbas. “Insya Allah Pak” tegas Alfin di iringi dengan berjabat tangan dengan Ayah Laras. Ayah laraspun merangkul Alfin erat.
Al hamdulillahirobbil ‘alamin
Terimalah sujud rebahku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar