Jumat, 04 Maret 2011

BIDADARI di SEPERTIGA MALAMNYA



Muza elfarabi
Muhammad Zuhri Anshari
Yogyakarta, 26 desember 2010

Aku rebahkan tubuhku bersamaan dengan mencuatnya ketegangan yang terus mencabik-cabik ragaku. Entah apa yang merasuk dalam diriku, ingin mengaum tetapi untuk apa?. Hendak berlari, tapi kemana?. Kau tau?, apa kau lebih memahamiku?. Jawablah!.
Aku hanya bercumbu dengan ketidak pastian, hanya sebatas mimpi. Ratapanku kosong tiada lagi hingar-bingar suara, atau sekedar nada yang syahdu untuk hati dan jiwaku. Semuanya kosong, yang tersisa hanya aku dan segunduk kehampaan.
Kakiku tak lagi sanggup ku laju cepat, bahkan otakku mulai mogok untuk memikirkan suatu hal yang dapat merubah keadaanku. Jiwaku melayang entah kemana, semakin dalam aku rasa semakin jauh pula panggang dari perapian. Selaksa tubuh ini hanya seonggok lara yang ditinggalkan oleh rasa, jiwa serta akal. kemanakah mereka?. Tega nian kalian meninggalkanku tanpa apapun.
Nafaspun mulai memprotes untuk undur diri dan beristirahat, aku tak sanggup dengan segalanya. Mati sajakah?, tapi untuk apa?. Mati tak mungkin menyuapku dengan kebahagiaan. Pasti Tuhanpun akan menaruhku lagi pada siksa yang lebih dalam dari pada ini. Toh selama ini Tuhan selalu tak adil terhadapku, Dikemanakan Kemaha Kasih Sayangannya?. Ataukah diperuntukkan hanya untuk mereka yang selalu tersungkur?, hingga menghitam keningnya?, atau membengkak mata kakinya saking rapanya bertahiat?. Padahal akupun tak pernah alpa dari shalat, tapi tetap saja. Hatiku mulai membeku tanpa syarat, ya ini semua karena cinta. Cinta yang Tuhan ciptakan.
Cinta telah menggerogoti kehidupanku, bahkan nyawaku selalu hampir saja terkalahkan olehnya. Selalu terhunus rindu yang tak pernah di pertemukan. Di cekik rasa sayang yang terabaikan, tangisku pun dianggap lelucon. Terdustai mimpi-mimpi indah. Selalu saja kepedihan demi kepedihan yang selalu setia menjadi sahabatku, meskipun aku tak mau. Tapi sungguh kepedihanlah yang selalu mengawalku kemanapun aku melaju.
Ugthtss.. aku membencimu cinta!, sangat!
“Tuhanmu sungguh tak adil, kau diciptakan untuk manusia. Tapi mengapa aku tak merasakan kebahagiaan yang dirasakan manusia lain ketika manusia itu bersahabat denganmu?. Kenapa? Hah!!!, sungguh tak adil bagiku. Apa kamu pikir aku bukan manusia?, kenapa kamu diam??, atau kamu puas melihatku seperti ini?. Mulai sekarang aku membencimu. Tak lagi aku mengenalmu. Pergilah jauh dariku”
Begitulah protesku, terhadap apa yang telah aku alami. Lalu mataku mulai memberat, dan aku mulai kehilangan segalanya. Dan...
Sampai pada Aku bertemu dengannya disuatu masa yang aku sendiri tak tau kapan itu terjadi. Dia menyodorkan aku seutas senyum indah dan tiba-tiba saja aku merasa begitu damai menatapnya. Lukapun tak lagi sempat aku ingat saat aku menatapnya yang nampak merunduk saat mataku menangkap simpul ceria yang tergambar diwajahnya yang teduh.
“Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh” ujar gadis itu penuh kelembutan, dan lagi-lagi aku merasa teramat damai. “Jangan buatku menggilaimu wahai gadis berwajah teduh, dan akan lagi cinta kembali menyakitiku” ujarku dalam hati. “Mmm.. Waaalaikum salam warohmatullahiwabarokatuh” jawabku terbata.
Dia pun duduk diatas batu yang terletak dibawah sebuah pohon rindang. Dia nampak lebih manis sekarang. Wajahnya nampak lebih meranum terkena sinar mentari senja. Angin membelai indah kerudung yang dia kenakan, sebuah kerudung yang cukup lebar hingga menutupi bagian dadanya. Sesosok gadis yang teguh menggenggam syari’at.
“Duduklah.” ujar gadis itu terhadapku dibarengi sesimpul senyum yang jauh lebih merona dibanding sebelumnya. “Letakkanlah segala rundung dukamu, Allah takkan terlelap dari seorang hamba yang tulus menghambakan diri padaNYA. Dia maha adil, dan tiada kesiaanpun atas penciptaanNYA pada dirimu” tegurnya halus. Aku pun tak setuju sebenarnya dengan tuturnya. Tapi entah hatiku mulai sanggup ia kendalikan. Sungguh aku tak sanggup mencela ucapan gadis itu. Akupun terkesima terhadapanya, dari mana dia tahu jika ada beban yang sedang aku pikul, bidadarikah, atau sesosok malaikat yang menjelma menjadi seorang gadis. “ah tidak mungkin ujarku dalam hati sambil tetap menatap dia yang duduk manis disampingku, tidak terlalu dekat memang. Dia masih merunduk, dan sesekali bola matanya menyibak bunga-bunga yang tumbuh di sekeliling kami. Rumput yang hijau memberi kesan alangkah teduhnya nuansa senja itu, langit nan teduh. Sepoi angin yang sejuk membuatku tatap nyaman, belum lagi duduk bersamanya. Meski aku belum begitu mengenalnya.
“Apa yang kamu lakukan ditempat ini.” tanyaku. “Aku memenuhi titah Penciptaku” jawabnya santai, sambil merapikan kerung biru yang sejak tadi tersentuh seok angin. Aku tak begitu faham ucapannya, tapi kini hatiku semakin tenang dibuatnya. Serasa tubuhku mengalami perombakan total, dan digati dengan tubuh baru yang masih kokoh. Apalagi ini?, aku harap bukan sang cinta yang telah merampas segalanya dariku.
“Janganlah berputus asa atas penciptaanmu, aku akan tetap disini, dan datanglah esok hari. Aku akan mengajakmu. Untuk saat ini tenangkanlah dulu dirimu, jangan kamu tutup hatimu dengan kesakitan yang kamu rasakan, percayalah akan ada hikmah dibalik ini semua. Karena ketetapanNYa amatlah indah” ujarnya lagi. Lagi-lagi aku tak sanggup mencela ucapannya itu.
Esok harinya aku datang terburu-buru, untuk menemuinya lagi sesosok yang berwajah teduh kemarin senja. Aku teramat merindukannya kini, teramat dalam. Aku hampir melupakan masalahku, dia gadis yang sanggup memberiku keteduhan. Kini muncul dihatiku untuk bisa memilikinya, sebagai sahabat yang akan menemaniku selamanya. menguatkan hatiku yang telah remuk dilahap sang cinta kemarin hari. Yah cinta yang sudah tak ingin lagi aku temui, cinta yang telah mempertemukan aku dengan segala luka dan lara. “Ah semoga saja, hufst...” aku masih menyelempangkan tanganku di depan dada. Mataku terbelalak kesana-kemari, mencari dimana dia berada.
“Husstf.” seok angin di kedua telingaku, angin yang sejuk nan menyegarkan. “Bebanmu kemarin hari telah sirna tapi nafsumu buruk itu lebih sering merajaimu, jangan biarkan iya membudak dirirmu. karena ia akan memusnahkan, muslimkanlah nafsumu.”.  “Siapa itu!!!” tanyaku terkejutkan suara tanpa rupa, “Siapa Kamu!!” Seruku dengan sedikit tercengang penuh keterkejutan. Aku putarkan tubuhku mencari seseorang yang baru saja bersua. “Aku angin yang barusan menyentuh telingamu” jawab suara itu. “Aku dibalik pohon yang kini berada dibelakangmu” suara itu menggema. Akupun segera bergegas, untuk mengetahui sesosok angin. Ketika aku mendekat. “Ah, benarkah kamu si angin tadi?” tanyaku dengan sedikit terengah-engah. Dia begitu tegap, teduh namun begitu wibawa. Aku tak dapat melihat wajahnya dengan jelas, namun aku bisa merasakan ketenangan setelah dia memelukku erat, erat sekali. Aku merasa lebih ringan dibuatnya.
“Aku begitu merindunya sesosok tang tawarkan kesucian diri, menguatkan hati ini dikala ragu, akankah lagi aku dapatkan sesosok dia dalam hidupku. Aku telah mengenal sesosok wajah yang sangat aku yakini hatinya, tapi entah semua sirna tak lagi ada.” Keluhku padanya.
Diapun diam dan melengkah menuju tepi telaga yang berada tidak jauh dari tempat kami berdiri, aku mengekorinya sambil terus merunduk. Aku hanya mengikuti bayangannya saja. Setelah cukup jauh, bayangannya tiba-tiba menghilang dari pandanagnku. Akupun mencari sesosok angin itu, “Dimana kau wahai angin” suaraku sedikit keras. Tapi tak juga bersuara.
Kini aku seorang diri menyusuri telaga yang indah, yang belum pernah aku temui telaga sejernih ini. Aku ratapi seisi ruang yang telah menyekaku. Tiba-tiba gadis itu muncul, namun dia begitu jauh.
Akupun mengejarnya, lalri- lari dan terus kupacu tenagaku untuk meraih gadis yang telah memenuhi hati ini. Nafasku mulai terengah-engah belum lagi keringan yang terus mengguyur tubuhku yang mulai melemah.“Bruks” Akupun terjatuh. “Mengapa tak jua aku mendekat, seolah aku tetap berada pada posisiku yang tadi” keluhku sambil aku pandangi gadis yang tadi, masih teramat jauh dalam pandanganku, bahkan hampir menghilang. “Sebenarnya apa yang telah terjadi pada diriku, hendakkah kau mengingkari janjimu kemarin hari wahai gadis jelita, atau kamu akan memperlakukanku seperti yang dilakukan si cinta terhadapku?” celotehku sekenanya.
Akupun kembali bangkit. Aku merasa aku begitu haus. Tak lagi ragu, langsung saja aku seok air telaga dengan tanganku lalu aku meminumnya dengan lahap.
“Alhamdulillah hufs segarnya.” Aku berucap, tapi kini aku tak sendiri, dia kini tepat berdiri disamping kananku, iya gadis yang aku kejar kini berada disisiku. Alangkah bahagiannya aku. “Kamu kemana saja?, jangan kamu perlakukan aku seperti yang dilakukan si cinta terhadapku” ucapku tanpa menengok kearahnya.
“Aku tidak kemana-mana” ucap gadis itu diiringi senyum.
“Sudahkah kamu bersiap diri untuk memenuhi ajakanku tempo hari?” timpal gadis itu.
“Tentu” jawabku mantap sambil berdiri. Aku menatapnya lekat. Aku tak mau lagi kehilangan gadis sesuci dia. Aku pandangi lekat-lekat dan lekat sampai aku sendiri tak menyadarinya. “hik,,hik,,hk,,” rengek gadis itu dengan nada tertahan. Akupun terperanjat, wajahnya kini menghitam. Tak ada lagi kedamaian yang aku sarakan. “Kamu siapa?” tanyaku lantang. Tapi nihil, dia hanya terdiam sambil sesenggukan.
“Kamu telah mendzolomiku” ucapnya sedidkit meninggi. Singgkirkanlah nafsu burukmu itu sekarang juga. “BLuur” gadis itu menghambur seperti debu.
Akupun tak mengerti apa yang terjadi. Tiba-tiba air sungai beriak “Tundukkan pandanganmu, jangan sampai nafsu turut mencelakai kesucian serta kemurnian cinta. Karena cinta maha indah.”
Akupun tercengang, barusan angin yang bisa berbicara, kini air.
“Gilakah aku ini” gumamku. “kamu tidak gila wahai pemuda” tegur air yang masih beriak.
“Tidak, aku tidak sepakat dengan ucapanmu. Cinta justru mencelakakanku, dia yang memuatku hampir mati.” Seruku.
“Iya aku tau, tapi bukanlah cinta ilahi yang kau rasakan kemarin. Nafsumu syaitanmu telah memenjarakan cinta yang sesungguhnya. Jangan sekali-kali kamu tertipu dengan nafsumu itu, karena ia bisa menjadi apa saja yang kamu innginkan, tetapi hakekatnya nafsu syaitan tetaplah nafsu syaitan. Carilah ia, seorang gadis yang kau inginkan. Dimana cintanya tertuang atas titah Tuhanya, ALLAH. Dan akan kau raih kebahagiaan yang kau cari selama ini” tutur si air.
Akupun mulai faham, “Maafkan aku wahai gadis” “Maafkan aku...!!!!!!” teriakku lantang, aku mencoba bangkit. Tapi susah nian aku menggerakkan tubuhku. Ada beban yang teramat berat yang bertengger di punggungku. Tidak hanya itu, kini kulitkupun menghitam legam. Sampai-sampai aku sendiri takut untuk menatap tubuhku sendiri. “UGHHHTTT... apakah ini semua...!!!” teriakku lagi. Kini cahaya disekitarku mulai meredup, dan menghitam.
Kini aku sendiri dalam kegelapan, tak tau arah. Dan tak sanggup melangkah. Kengerian mulai menyeruak punti-pundi ketegaranku. Nyeripun melumat tubuhku, akupun menegrang hebat, lunglai tak berdaya.
“Sakit yang kini membekuk ragaku
Menyeruak dalam sel-sel hidupku.
Betapa lemah dan tiada arti hidup dalam kesiaan.

Ibadah terhias nafsu,
Shalat menjadi hilang mutu.
Kebaikan berwajah ria, shodaqoh  serta infaq menjadi sirna.

Aku yang masih jauh,
Buta diri akan sayangMU.
Aku yang jauh hina, melara diri dari ampunMU.
Aku merunduk dalam gelimangan malu nan lara diri, getir nan kesakitan yang tak pernah aku           sadari dalam masa-masaku.
Aku tergolek dalam luluh lantah remuk diri, linu nan memar yang tak pernah aku sadari dalam episode diri yang semakin merugi.... (AKU dan MASA, muza elfarabi)” gumamku dalam pekat diri yang terus diperdaya kengerian. Tiada warna kecuali kelam hitam pekat.
“Izinkan aku sujud rebah dalam maghligai ketaqwaan serta keistiqamahan sebelum aku tiada, tersungkur dalam rahmat dan hidayahMU, dalam reguk kautsarMU.” Timpalku lagi.
Saat air mata ini hampir ikut menghitam, tiba-tiba sebias cahaya nampak didepanku. Aku terus meratap kearah cahaya tersebut. Hendak aku melangkah untuk mendekati, tapi tubuh ini tak sanggup lagi bergerak. Tidak hanya itu, kesakitanpun mulai meremukkan tulangku. Pasrah sudah. Biarlah ketentuanNYA yang akan merubah keberadaanku.
Cahaya itu kini jauh lebih besar dan... blass...
Aku taksadarkan diri untuk beberapa saat, saat aku tersadar. Tubuhku sudah kembali seperti sebelumnya. “Kamu? Sang gadis itu?” aku terkejutkan. “Dimanakah aku sebenarnya?” timpalku lagi. Tapi gadis itu hanya tersenyum. Dia berdiri di sampingku tak begitu jauh menghadap kearah telaga. Sementara aku terbaring dibawah pohon rindang. Sebuah pohon yang menjadi tempat pertama pertemuanku dengan gadis itu.
“Trimakasih ya, kamu telah mengembalikan keadaanku lagi. Semoga Allah meridhai perbuatanmu” ucap gadis itu lirih sambil menegok kearahku. Pemandangan amat syahdu. Aku tak perlu memandang lekat gadis itu. Tapi aku bisa merasakan kedekatan yang lebih dibanding sebelumnya.
“Memangnya apa yang telah aku lakukan sehingga kamu berterima kasih terhadapku?” aku balik tanya. “Kamu telah menolongku dari kebidaban nafsu syaitan itu, aku harap kamu bisa menjadikan kemurnian hati sebagai raja bagi dirimu sendiri” jawabnya halus.
Akupun bangkit untuk mendekati gadis yang tak jauh dari ku itu. “Aku mencintaimu wahai gadis berhati suci, aku baru faham hakikat cinta itu. Aku menyesali semua tindakanku sebelum ini.” Tegasku tanpa ragu setelah aku berdiri cukup dekat. “Aku sudah mengetaui apa yang kamu rasakan dari sejak awal, semoga ketentuanNYA mempertemukan kita” jawab sang gadis yang tetap mematung dihadapanku. Senyumnya terus tersuguh dalam setiap ucapannya. Tanangnya aku saat ini, tutur bicara yang terus menyejukkan hati yang telah lama tergersangkan oleh tingkah diri yang tak terkendali. Aku tak hendak memotong ucapan gadis itu, aku ingin dia terus melantunkan kata-kata indah agar aku tau seberapa “Hambakah aku dihadapan Tuhanku, ALLAH”
“Basuhlah wajahmu di telaga ini” tutur gadi itu. “Untuk apa?” tanyaku.
“Lakukanlah, dan kamu akan memahami” jawabnya lembut.
“Apakah nanti kamu akan pergi lagi?, aku sungguh mencintaimu” tegasku.
“Akupun demikian terhadapmu, tetapi belum berhak aku merasakan cinta yang kamu berikan. begitupun aku yang belum pantas memberikan seutuhnya rasa ini terhadapmu. Sungguh ada Dzat Yang Maha Cinta yang harus didahulukan, cukuplah DIA menjadi sandaran cinta kita” tuahnya.
“Baiklah” jawabku. Akupun melangkah mendekati telaga tersebut. Aku seok airnya dengan kedua tanganku.
Dan...“Assalamuaiakum warohmatullahi wabarokatuh temukan aku lagi dalam syahdu sepertigaNYA. Dan temukan cinta kita bersamaNYA. Dzat yang Maha Cinta”. Suara terahir yang sempat aku dengar dari bibir sang gadis sebelum mata ini benar-benar terbuka.
“Subhanallah, yang barusan tadi apa?. Mimpi? Tapi seperti nyata terjadi, siapa gadis itu? Dan apa maksud dari ucapannya?” beribu tanya terjubal saat aku sadari itu adalah mimpi. Mimpi yang begitu nyata terasa. Damai, tentram kini yang aku rasa. Aku serasa terlahir kembali, terimakasih mimpi. Kau telah mengantarkanku padaNYA.
“Inilah saatnya”  begitulah isyarat jamdinding yang menunjukkan hari mulai pagi, sunyi, tenang nan tentram. Yah inilah sepertiga malamNYA. “Tunggu aku wahai gadis berwajah bidadari, berhati suci . Kita lantunkan lafazh-lafazhnya yang sempat aku lupakan ” ujaku.
Sejak saat itulah aku menamai gadis itu dengan “bidadari di sepertiga malamNYA”. Pertemuan demi pertemuan terjalin indah bersama dalam maghligai cinta antara aku, bidadari dan Penciptaku. Allah. “Kuatkan keistiqomahanku dalam ibadah, berdzikir serta mensykuri karuniaMU. Aku belum siap untuk menemuiMU. Izinkanlah aku memperbaiki diri dalam Penghambaan utuhMU. Serta Banyak janji yang belum aku tepati, izinkalah aku memenuhi janjiku terlebih dahulu ya rob, menghadiahkan kebahagiaan terhadap ayah dan ibuku, sebelum benar-benar Engkau ambil ruhku. Ridhailah diri hambaMU ini wahai Dzat Maha Cinta.”.
Barokallahu lanaa... amiin.

SEMOGA ENGKAU GOLONGKAN KAMI KEDALAM GOLONGAN ORANG YANG ENGKAU BERI PETUNJUK, YANG ENGKAU RIDHAI, YANG ENGKAU BERI KEMURAHAN UNTUK BERTEMU DENGAN NABI KAMI MUHAMMAD SAW. MENJADI HAMBA YANG ENGKAU RIDHAI SERTA ENGKAU BERI HIDAYAH DAN TAUFIQ. AMIIN
JAGALAH KEDUA ORANG TUA KAMI DALAM KASIH DAN SAYANGMU YA ROBB, KERENA KAMI TAK MUNGKIN SANGGUP MEMBALAS JASA MEREKA.
WAHAI AYAH DAN IBU, MAAFKAN KAMI YANG SERING MELALAIKAN AMANAHMU, KAMI YANG BELUM MAMPU BERBIRUL WALIDAIN, TAPI DO’AKANLAH AGAR KAMI TETAP PADA JALANNYA. DIKARUNIA KEMANFAATAN ILMU. MENJADI PRIBADI YANG MENJUNJUNG TINGGI NILAI-NILAI KEILAHIYAAN.
Muza elfarabi
Muhammad Zuhri Anshari
Yogyakarta, 26 desember 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar