Rabu, 30 November 2011

Insomnia?, Entahlah!

Peralihan 30 menjadi 1 yang sekejap aku rasa, cepat, sangat cepat.
Entah aku tak lagi bisa merasakan malam kemarin, dan kini sudah menjadi pagi.
Ataukah memang aku tak punya mimpi saat malam mengajak mereka terlelap?
Atau memang malam hendak memintaku untuk menyakisikan betapa ia sangat indah, di hias rebulan yang tentu saja merona, dan atau bintang bintang yang genit berkedip?

Malam, malam, malam, dan malam yang tiba-tiba menjadi pagi, seperti saat ini.
Aku buntuh mimpi, mimpi agar terlelap nyenyak.

Yahhhhhh, entahlah.
Beraneka ragam dan jenis perkara yang harus di fikir satu-satu, atau dua-dua, ataupun tiga-tiga. Kesemuanya menyolot satu sama lain, tak teratur. Sama seperti tulisan ini, entah puisi, entah epilog, entah deklamasi, entahlah.

Insomnia?
Iya, munkin itu kata yang tepat. kata yang sudah lama aku kenal.
Aku terinsomniakan insomnia, yah Insomnia aku di buat Kahitna.
Entah berapa kali syair itu menyumpal telingaku melalui HeadPhone yang sejak jam 22.30 kemarin, kini (Pukul 01.04), entah sampai kapan.

Dan ini adalah Pengulangan lagu yang ke-46, saat aku menulis ulang syair ini.
Genap


tak tidur semalam
hatiku sakit
bagai bulan temaram
tertunduk sunyi
kau ada di sana
di pelukannya
dan kau genggam tangannya
ingin ku tak melihatnya


yang kau lihat senyumku
tak kau sadari pedihku
namun hancurnya hatiku
kau tak perlu tahu
ku harap engkau bahagia
walau hatiku terluka


akan ku simpan cerita
kau tak perlu tahu
hanya aku yang harus tahu

hanya aku yang harus menghadapi semua
menyimpan rasa kecewa

yang kau lihat senyumku
tak kau sadari pedihku
namun hancurnya hatiku
kau tak perlu tahu
ku harap engkau bahagia
walau hatiku terluka


akan ku simpan cerita
kau tak perlu tahu



hanya aku yang harus
hanya aku yang harus
hanya aku yang harus tahu

Genap yang ke-67 syair ini asyik mengiang-ngiang tersimfoni menyibak seisi jiwaku, fikirku, dan bahkan nuraniku. Yang jadi soal, Apa lagu ini merupakan perwakilan dari hatiku? Aku jawab "Bukan", Lalu?
Sudahlah, biar lagu ini tetap aku putar sampai aku bosan.



http://www.youtube.com/watch?v=W1m-d2uyVfU

Tidak Tahu


Muhammad Zuhri Anshari
muza elfarabi
Tidak Tahu,
Sajak, Padam, dan Si Maaf.
Bukan barang sekelebat kilat ia berkutat, Sebelum padam.
Padam, Padam, Padam, dan Padam.
Maaf, Maaf, Maaf, dan Maaf.
Dan sajak Padam di ujung maaf.
Kamu tau?
Iya, iya tidak, tidak iya.

Tidak Tahu,
Sajak, Faham, dan Si Naif
Bukan barang sedencing lonceng ia mendongeng, Sebelum faham.
Faham, faham, faham, dan faham
Naif, naïf, naïf, dan Naif
Dan sajak faham di ujung naïf
Kamu tau?
Iya, iya tidak, tidak iya.

Selasa, 29 November 2011

HARI BERSAMANYA; RIZA, DINDA, HANY, HILDA, NADIA, DAN ERLIN



HARI BERSAMANYA;
RIZA, DINDA, HANY, HILDA, DINDA, DAN ERLIN

Siang ini agak kurang wajar, tapi Saya palingkan saja perasaan itu. Toh letih lagi-lagi puas mencengkram segala bebas yang Saya miliki. Grrrrrr!. Geram rasanya. Berjubal undangan rapat yang harus Saya hadiri asyik saja bertengger di HP jadul dengan ciri khas no space for new message, tanpa kompromi. Cuman tiga she, ga banyak. Tapi berat.

         Kantukpun datang laksana raksasa buas yang mencanduku dengan dongengan-dongengan indah saat perkuliahan. Wal hasil, interpretingpun tau apa yang di paparkan oleh Ibu Dosen di sudut ruang sempit itu. Sampai pada perkuliahan terakhir di hari ini, bukan kantuk seperti matSayaliah sebelumnya. Melainkan, bingung. Kenapa?, sms itu memintSaya kesana, kesini tanpa padu yang jelas. Menambah dongkol saja hari ini, tapi walau bagaimanapun harus Saya jalani. Harus!.

            Sampai pada putusan, “Saya pilih rapat KUI deh Han, urgen banget. Nebeng Kamu yah Han”, “Iyo jam empat kita ke kampus satu. Kamu ga Kuliah Study Islam po?” Timpal sahabatku, Hany Srihartaya, more than sahabat seh sebenarnanya. hehehe, bukan maho juga loh.

            Langsung deh yah, kelamaan neh. Anggap aja kuliah sudah selesai dengan diakhiri pengumpulan laporan Reading. Yup, lanjut. “Shalat sek, opo langsung kekampus satu ndul, trus shalat disana?” Tawarku pada Hany denga sok menggunakan logan Jogja yang ga Pasih. “Shalat disini aja ndul.” Tegasnya sambil merapikan jemper kesangannya yang sudah kehilangan warna asli, Saya sendiri tidak tau warna asal jemper itu, entah hitam yang kemudian menjadi coklat atau putih yang kemudian mencoklat, tau ah. Tapi bener, Jamper itu sudah setia banget Hany kenakan semenjak pertemuan pertamSaya dengannya di Hall Kampus dulu.

            Tuhkan, ngalor ngidul. Tapi ga papa ding, Lanjut. Seusai shalat, sSaya celanSaya bergetar. Rupanya nada sms mangajakku untuk segera lekat pergi, seperti pesan yang sedang Saya baca. “Segera merapat yah” Kurang lebih seperti itu kalau Saya bahasakan sms yang masuk barusan, tapi ini bukan sms dari KUI. Nah loh?, dari DeCo. Huffttt, “Maf ya Mas, Saya ga bisa datang di DeCo.” Ucapku saat menemui lelaki berkacamata itu.

            “Zuh, ke kos Hilda dulu yah. Ambil Flashdisk” Pinta Hany tepat di sisiku. “Okay, ga papa. Tapi KUI dah dikabari klo kita telat?” Tanggapku sambil merapihkan rambut yang mulai kucal. “Udah ko’, santai saja.”, “Sip.”

            Kampus yang tidak terlalu besar, jadi cepat saja beberapa menit kemudian sudah tepat di pipi jalan raya. Masuk gang, dan “Hilda,” Panggil Hany saat kami sudah tepat berada di mulut pintu yang menganga. “Masuk, masuk.” Jawab Hilda di dalam sana, “Okay”. Hany pun masuk keruang tamu, sementara Saya biasa duduk di sofa bambo yang terpajang di teras dekat pintu.
           
           “Zuh, masuk geh.” Pinta gadis yang termanja, Hilda. (Piss Hil, hehehe.), “Okay, bentar yah.” Jawabku sambil berdiri dan masuk ke dalam. “Zuh, lamaan yah. Flasnya ada di Erlin, dia mau kesini bentar lagi, Saya dah sms KUI juga ko’.” Terang Hany saat Saya baru saja menilik kamar petapaan Hilda. “Iya ga papa Han, Sayakan penebeng yang cukup tau diri, hehehe” CandSaya canggung, loh?. Iyalah,
            “Kalian minum dulu geh, habis ujan gini, masih agak gerimis juga noh” Tawar Hilda sambil melihat kearah pintu. “Yang anget loh Hil” PintSaya dan Hany kompak. “Mau yang mana? kopi?, teh?, atau susu?” Tawar Hilda yang kalahkan tukang angkringan depan kampus.

            Susu hangat ala Hilda sudah tersaji di hadapanku, begitu juga kopi hangat sudah tergendong di tangan Hany. Sementara Dinda asyik dengan film korea yang mulai membuatnya agak feminism. hehehe damai Din, (manis ko’, hehehe).

            Saya rasa aneh, mengapa?, ko Erlin ga juga dating-dateng, dan Hany malah ke kampus dengan alas an mau mengambilkan Helmetku di EDSA. Tapi tak Saya indahkan kejanggalan itu, asyik saja Saya menekan nut-nut TiPi, mainan baru fikirku. Saking asyiknya, Saya tak sadar klo Saya di tinggal sendiri di kamar. Biar sajalah, fikirku, toh suara canda mereka masih Saya dengar dari luar sana.

            “Selamat ulang tahun kami ucapkan” Suara itu mengagetkanku, iya siapa lagi kalau bukan mereka; Nadia, Hilda, Dinda, Hany, Riza, dan Erlin. MatSaya mulai terbelalak saat menatap kotak itu, kue gengan jejeran lilin diatasnya. Ternyata kejanggalan tadi adalah rangkaian dari acar ini, tebakkSaya sekenananya. “Ayook tiup lilinnya” Teriak gadis yang dulu sering Saya panggil Jenong, Erlin. “Ayok, Hilda dan Zuhri tiup lilinnya, ini untuk ulang tahun kalian.” Pinta Nadia.

            Betapa sore ini teramat indah, hari bersamanya, hari bersama Riza, Dinda, Hany, Hilda, dan Erlin. Tentu hari ini takkan menjadi sepesial, jika tidak ada kalian yang membuatnya special. Haru muncul memenuhi jiwSaya, teduh, tentram Saya menatap tawa kalian, tak ada lagi yang perlu Saya tSayati, dan tak lagi sepi.  Saya rindu, dan rindu itu terbayar lunas oleh hari ini. Senyum kalian, tawa kalian, canda kalian, ialah memoles biruku, bahagiSaya.
          
  Hampir saja air meleleh setelah sekian lama membeku, yah kita kebali, kita berhasil keluar dari titik jenuh yang sempat kita alami. Betapa sepinya akringan itu tanpa canda-canda kita dulu, tapi kemarin angkringan itu sudah mulai berwarna ceria.
            “Terus, pokoknya sampe lilinnya mati” Pinta Hany,
            “Iya, sampe lilinnya mati” Suara dari lima orang yang berada di hadapanku dan Hilda.

            “Ayokk terus!” Lilin itu sukar kami matikan, jikapun sudah mati, iya hanya mati suri. Cukup lama Saya dan Hilda menghabisi deretan-deretan lilin tersebut.
            “Ayok, potong kuenya,” Pinta Nadia.
            “Berdua loh, yang pertama yang paling special!”
           
“Ploookk” Cairan kuning itu mengguyur tubuhku, Telur. Sontak semua teriak, dan berlari kian kemari. Ceria, larut dalam tawa sampai akhirnya memberishkan kosan Hilda bersama. hahahhahah.
***
Saya belum make a wish loh tadi, kelupaan gara-gara niup lilinnya susah. Sekarang aja yah?, bolehkan?, boleh yah???, tapi sebelum itu, “Makasih yah Han, Za udah mau ngusahain ngajak si V. Tanpa dia, hari ini tetap indah, karena ada Kita.”, “Hilda, Nadia, Erlin, dan Dinda juga makasih banget yah. Kalian tak ada yang pantas Saya bilang cantik, tapi kalian manis. Manis yang selalu dirindu.” (Gombal nehhhh, wkwkwkkwk)

Pokoknya, kesepesialan kalian dalam hari-hariku tak mungkin bisa aku kisahkan. Semoga tulisan bermanfaat, sedikit memang dibanding kebeikan yang telah kalian beri untukku.
Sebelum aku akhri celotehan ini, Saya mau make a wish yah.
“Ya Allah, Semoga kami bertujuh Engkau ridhai dan Engkau beri tangguh sang Askabul Kahfi, Engkau beri indah selakasa makna TujuhMu”
Amiin.

Selasa, 22 November 2011

BELUM AKU BERI JUDUL

BELUM AKU BERI JUDUL; Ka’ Fajar, dan Ka’ Rizky
Maukah Kalian memeberi Judul?.
Muhammad Zuhri Anshari
                                                                                                 Muza Elfarabi



Rizky Islami, Fajar Winata, dan aku sendiri di tahun 2004 silam. Waktu yang cukup lama untuk di jalani, namun terlalu cepat untuk terlewati begitu saja. Rindu tentu meluap dalam relung jiwa, namun bagaimana bisa rindu itu terobati?, pertemuan?, bagaiman caranya?, apa bisa?

“Peralatan MOSnya biar saya yang buat, Kamu istirahat saja. Liat tuh keringatmu kamana-mana, tenang aja ga akan aku makan ko’.” pinta Ka’ Fajar terhadapku yang saat itu baru saja pulang dari MOS di hari pertama.

Aku ingat kala itu aku masih kekampungan, culun, ga tau kehidupan kota. Grage Maal saja ga tau sama sekali, padahal jarak dari sekolah tidak terlalu dekat. Tapi bukan hal ini yang hendak aku ceritakan.

“Iya Ka’, makasih yah.” ucapku sambil menaikkan celana yang melorot.
“Sama-sama, yang betah yah disini. Kalau butuh apa-apa langsung bilang, ga usah sungkan, kita keluarga disini.” Tambahnya lagi, tentu hal itu sangat sepesial bagiku. Perhatian seorang yang di sebut “Kakak”. Kakak yang benar-benar mengayomi adiknya. Kakak yang menjadi panutan bagi adiknya. Amat indah kala itu, aku rindu.

“Ayok sepedahan” Ajak lelaki itu di suatu sore, Ka’ Rizky.
“Sepedahnya cuman satu, emang bisa?” Tanyaku lugu sambil nglirik kuda-kuda sepeda BMX yang Rizky kendarai.

“Saya bonceng, ayok ikututan?” Ajaknya lagi, “Boleh,ayok” Jawabku lugas setengah malu-malu. Sore itu Cirebon nampak indah, sangat indah. Jalan Pilang, Jalan Wiratama, Jalan Tuparev, Jalan Cipto kami selusuri dengan sepeda. Senja tak begitu menakutkan, bahkan iya seraya mendendangkan simfoni yang siapa saja mendengarnya akan tertawa riang. Sepertiku, dan Ka’ Rizky.

Seiring waktu, ia suguhkan kirah-kisah indah. Tangis lebih sering sepi, karena tawa selalu saja berhasil datang dan kalahkan segala gundah. Kisah-kisah nakal pun menjadi suatu hal yang aku rindukan, kabur saat piket, main bola ga pada tempatnya, menggambar-gambar buah mangga di pelataran, naik ke atap masjid, ngrengek di bikinin gambar, rewel saat dapet PR, dan bahkan kenakalan memprotes pimpinan asrama. Aku ingat kala itu, Pimpinan Asrama mengisi Kultum subuh yang sampai pingsan gara-gara usai mengomentari kenakalan-kenakan yang kami alami. Sadisnya lagi tubuhnya di biarkan tergolek di ruang bilik, tanpa aku tengok sedikitpun. “Biar saja” kesal fikirku kala itu.

Sampai kisah indah itu berahir di malam yang tak mau aku mengingatnya, aku menyesal malam itu aku terlelap pulas. Aku sesali, malam itu Ka’ Fajar pamitan meninggalkan Asrama tanpa aku ketahui, dan tanpa berpamitan langsung kepadaku, selain hanya iya titipkan selembar gambar yang ia titipkan pada Ka’ Agus.

“Zuh, ini dari Fajar. Dia pamit, maaf kayanya ga bisa langsung, dia kasihan melihatmu tidur pulas.”. Ucap Ka’ Agus.

“Kasihan?, Kasahan membangunkan Aku Ka’?, apa Ka’ ga merasa lebih kasihan ketika aku di tinggal tanpa ada suara serta nasehat sebelum kepergian Kakak?, lebih sukar mana Ka’, membangunkan aku tertidur kala itu, tau membangunkan aku dari kesedihan serta kepiluan ini Ka’. Ka’ egois!!.” Gerutuku sekananya dalam hati.

Minggu-minggu berikutnya terasa sunyi, sepi bagiku, ditambah lagi Ka Rizky yang lebih sering diam semenjak kepamitan Ka’ Fajar. Menambah hilang gairah hari-hariku, aktifitas-aktifitas tidak seramai dan seasick dulu. Selain hanya sekedar materi-materi tarikh, atau menterjemah Qur’an di pagi hari. Tiada lawakan-lawakan renyah dari Ka’ Fajar, dan Ka’ Rizky, Tidak lagi ada yang mengatakan “Zuhri, sering lari-lari biar kalau Kultum ga usah pake meja” Ucap Ka’ Fajar saat aku menyiapkan meja kecil sebagai jengkalan tubuhku yang pendek dan kecil agar wajah ini mampu mereka lihat dari depan. “Kamu sih jadi orang kecil banget Zuh,” Timpal Ka’ Rizky, “Sok tinggi kamu Ki, biar pun Zuhri kecil dia ga lebih bodoh dari kamu loh, hahahahaha” Sahut Ka’ Fajar sebelum ia tertawa lepas, “Apa kamu Jar, melihara ko’ lalat.” Balas Ka’ Rizky sambil nunjuk tahi lalat keramat milik Ka’ Fajar yang katanya berkat tahi lalat itu dia makin nampak tampan, “Ga papa Ki, daripada kamu kayak jerapah, otaknya nol, di tolakin terus ama cewek. mending saya, sekali tembak satu, dua, dan tiga cewek takluk.” Balas Ka’ Fajar tak mau kalah.

“Fajar, Rizky udahan bercandanya. Ga mulai-mulai nih kultumnya” Seru Ka’ Agus memacah tawa keduanya.

Sepi kala itu, kultum tersa hambar. Tidak lagi ada jelotehan Ka’ Fajar, yang memang sudah tidak lagi ada. Sementara Ka’ Rizky, disudut sana hanya diam pura-pura menyimak kultumku yang mulai tak berjiwa. Mati rasa, sunyi, sepi, bahkan musnah terlahap mati.


Hingga pada beberapa minggu setelah kediaman Ka’ Rizky yang makin menjadi, sore itu aku di buat terkejut, senja begitu galak merampas senyumku sore itu, sore seusai latihan Paskibra. Ada hal yang ganjil, ada yang kurang, ada yang tidak bisa lagi aku lihat. Sepeda MBX biru kesayangan Ka’ Rizky, tidak ada lagi bola basket di pojok itu. Kemana?, Apa memang Ka’ Rizky belum pulang?, bukannya hari ini biasanya sudah pulang?. dan beberapa sekelabat pertanyaan heran berjubal di otakku. “Mungkin Ka’ Rizky main futsal dulu, terus pulang maghrib nanti.” Tebakku.

Maghrib pun berkumandang, sepeda itu belum juga kembali, bola barket pun tidak ada. Tentu ini menambah kecemasanku.

Mahgrib pun usai, di lanjut Kultum. Hari itu bukan giliranku Kultum, sehingga aku bisa bebas duduk di belakang, tepat di bibir pintu Masjid. Angin tak ramah menampar wajahku di Maghrib itu, namun aku tak acuhkan saja ia menamparku berkali-kali.

Kultum pun usai, Ka’ Rizky pun belum juga pulang. “Ka’ Agus, Ka’ Rizky kemana?, ko’ belum pulang?” Tanyaku ke Ka’ Agus yang tengah membaca buku. “Rizky sudah pulang kerumah, tadi orang tuanya kesini menjemput Rizky. Dia juga nyampein salam untuk kamu. maaf juga katanya” Jawab Ka’ Agus sambil metap mantap kearahku.

“Oh gitu ya Ka’, makasih yah” Ucapku sekenanya sebelum aku beranjak ke kamarku, merintih, menangis sekenanya. Malam-malam besok tak ada lagi yang mengajakku tidur di bawah rebulan, bercerita tentang mimpi-mimpi masa depan, tak ada lagi candaan di bawah rebulan, tak ada lagi. Pergi, Ka’ Rizky atau pun Ka’ Fajar tak mungkin lagi mengajakku tidur mertap keindahanya, rembulan. KeindahanNya, keindahan kisahNya untukku, kita.

Sepi itu akhirnya memberi putusan untuk meninggalkan Asrama itu, Asrama hijau yang mulai tak berpenghuni. Satu-satu pergi, satu-satu entah kemana pergi. Aku tak jua dapati alamat pasti, mungkin Ka’ Rizky bisa aku temui. Tapi itupun sulit, sampai saat ini aku tak tahu iya dimana. Apalagi Ka’ Fajar yang tinggal di Jakarta, Jakarta mana?, itu kabar terakhirnya, yang terbaru? aku tak pernah tau.

Aku menjadi satu-satu yang pergi, Aku pun turut pergi ke Asrama lain, sekedar untuk menenangkan diri. Berharap di Asrama baru aku peroleh kisah indah lain, dan menemukan keceriaanku lagi.
Pertanyaan itu kembali berjubal di tempat baru, Apakah kita musnah begitu saja Ka’?, Aku tak tau dimana Kalian berada secara pasti, apakah kalian tau asrama kita dulu telah berubah fungsi, ibu santun pun entah kemana. kabar terakhir beliau kembali ke Jakarta. Tapi tidak aku temui alamat tepatnya, ataupun sekedar nomor yang bisa aku hubungi.

Bagaimana aku mencari kalian?, mencari sembilah kisah yang pernah kita alami. Apakah aku patut menyalahkan zaman yang pada saat itu HP masih menjadi barang yang sangat asing. Alamat?, alamat-alamat itu sirna begitu saja sebanding dengan sirnanya asrama kita yang beralih fungsi.

Di tujuh tahun setelah perpisahan kita, Aku masih mengingat siapa kita, hal-hal yang pernah kita alami bersama. Aku pun masih ingat lagu yang biasa kita dengar bersama di atap Masjid seusai Ashar, apakah kalian mengingat lagu ini?, The Rain; Dengar Bisikku. Aku masih lekat suara Ka’ Fajar saat menyanyikan lagu ini, yang selalu saja aku cemooh karena suara Ka’ Fajar yang sumbang. Tapi tau kah Ka’?, Suara sumbangmu manjadi indah kala ini, kala aku mengingat peristiwa itu. Ka’ Rizky yang ga mau ketinggalan mencemoohmu Ka’, apakah kalian mengingatnya?.

Malam ini, aku ingin memutar berkali-kali syair ini. Sekedar membasuh gundah serta ingin yang tak kunjung jua aku ciptakan dalam perwujudan nyata. Semoga Allah menjaga Kalian, menjaga kita yang kini terpisah secara jarak yang tidak kita saling ketahui. Berharap Allah beri kesempatan kita untuk bertemu sebelum ruh ini kembali.

THE RAIN; DENGAR BISIKKU

Kadang aku berfikir
Dapatkah kita terus coba
Mendayung perahu kita
Menyatukan ingin kita
Sedang selalu saja
Khilaf yg kecil mengusik
Bagai angin berhembus kencang
Goyahkan kaki kita
Gemgam tanganku jangan bimbang
Tak usahlah lagi di kenang
Naif diri yang pernah datang
Jadikan pelajaran sayang
Dengar bisikanku oh dinda
Coba lapangkan nada kita
Trima aku apa adanya
Jujur hati yang kita jaga
mengapa selalu saja
Kilaf yang kecil mengusik
Bagai ombak yang besar
Goyahkan kaki kita

Genggam tanganku jangan bimbang
Tak usahlah lagi di kenang
Naif diri yang pernah datang
Jadikan pelajaran sayang
Dengar bisikanku oh dinda
Coba lapangkan nada kita
Trima aku apa adanya
Jujur hati yang kita jaga

Bila indahmu tak menghilang
Hentikan dulu dayung kita
Bila kau ingin lupakan aku
Ku tak tau apalah daya


Lahaulawalaquwwataillabillahil’aliyyil’adziim.



Jumat, 18 November 2011

SEBUAH HARAPAN di TITIK TERBALIK



SEBUAH HARAPAN di TITIK TERBALIK

Muhammad Zuhri Anshari
Muza Elfarabi


Kurindui sebuah nama.

Nama yang menggaung di labirin biru, nama yang lekat di kota singgahku, singgahmu, dalam sejuk biru merdu meranum keperakan. Sebuah nama yang selalu mendayu LafazhMU, nama yang sempat Engau beri kesanggupan mencairkan kebekuan diri, hati ini.

Tentang sesuatu yang belum sepenuhnya aku fahami atas syair yang Engkau siratkan dalam sajak-sajak hidupku, sebuah bait yang selalu menggaung dalam serambi seorang diri ciptaan-Mu.

Namun tetap saja aku yang ini, yang berharap maqom kemafhuman atas sajak hidupku sendiri. Sesungguhnya hidayah adalah milik-Mu, ku mohonkan agar senantia hidayahkan diri dengan cinta-Mu yang hakiki.

Masih bercerita tentang Pelangi, yang terus membiru hati dan jiwa serta diri. Gadis berjiwa teguh yang terus mengalirkan ketenduhan atas lafazh-lafazh yang terlisan tanpa kata. Wajahnya yang kini tak sanggupku ratap sempurna, namun suaranya masih saja menggaung indah dalam masaku yang kini sudah mulai terkurangi. Semoga Sampai tergaung sahdu menuju hakikat kemuhabbaan.-Mu.

Matahari nampak senja dimata Reza yang kini terdiam membatin menghadap sebuah bangunan hijau yang mulai menua namun tetap gagah, Aula. Kisah-kisah lawas pun turut serta bersimfoni memenuhi seisi otaknya. Bersahut satu sama lain, merenda serta membingkai adegan-adegan yang nampak nyata di hadapannya.

Pagi itu di ingatnya lekat, terahir kalinya iya menatap gadis yang ia sangat cintai. Memar hatinya kala itu. Namun takdir tak mampu elakkan untuk menambah usia kebersaan bersama gadis yang ia sebut Pelangi. “Pagi ini amat indah sekaligus menyedihkan bagiku, kamu tau kenapa?, tiga tahun bukan hal sebentar sekelebat waktu, meski aku tau lisanmu masih terkunci untukku, untuk hati ini. Kau tau betapa sangat bahagianya ketika aku menganalmu, menentramkanku di hari ini di hari saat kamu mendendangkan shalawat. Bukan karena suaramu, entah ada sesuatu yang mengalir sejuk dalam relung jiwaku kala itu.”

Air mata haru mulai turut pelan di sela pipi keduanya, hening kala itu. Burung seolah enggan berkicau, mungkin burung-burung itu sibuk menyimak nada-nada yang mulai meranum dari dua insan yang ia saksikan di bawah rindang bangunan itu. Tiara pun turut khusuk mendengarkan kalimat-kaliamat yang di rangkai Reza untuknya.

“Za, terimakasih atas segala yang engkau berikan kepadaku, begitu banyak pelajaran berharga yang aku dapatkan darimu. Semoga Sang Pemberi membalas dengan yang lebih baik. Za kamu tau selama ini hatiku tak bisa serupa dengan apa yang kamu rasakan terhadapku, selain sayang. Aku tak tau apa ini, aku tak berani menyatakan ini cinta, fahamilah”

Hingga kini hati terjejali kerinduan yang tak sanggup tertepikan oleh Reza. Seakan berlayar menyisir samudra seorang diri. Hingga benci itu terlahir, tapi kebencian justru menjadi pemanis bagi hati yang masih di hadapkan dengan cinta yang meski sepenggal pengisahan. Sesaat raga hendak campakkan rasa itu, tapi jiwa tak sanggup bila di akhir menimbah derita.

Malam menjadikan mimpi yang suram, persis seperti kenyataan yang selalu terebut oleh serdadu mimpi-mimpi yang iya ciptakan tanpa sadar, jika begitu nyata yang ia harap sirna sekejap. Tangan dan kaki tentu mampu berbohong untuk menafikkan cinta itu. Namun hati takkan mungkin. Malam dan siang sudah semakin jelas, sejalas luka dan suka.

Bait-bait syair menjadi teman setia di barengi dengan cumbuan mesrah tinta-tinta hitam yang mengelamkan serta tinta biru yang mengharu, karena cinta masih sebatas mimpi. selaksa sebuah sudut harapan titik terbalik.

“Toh sejatinya di dunia ini tidak ada cinta hakiki, rohmat ta’dzim hanya milik Allah pada orang-orang yang di pilih-Nya. manusia hanya mampu memberi mawaddah pada sesama, itupun tak setulus para rasul dan waliullah.” Kalimat yang berhasil Reza ingat kuat dari sosok anggun Pelangi, Tiara. Sejak sebelum detik mulai enggan mengenankan pertemuan keduanya di dua tahun yang lalu.

Gemericik waktu mengalir beriringan dengan sulur-sulur kisah yang terus meramaikan kesunyian. Dunia adalah cerita dan manusia adalah jemari yang di beri kasempatan untuk menjadi penokohan atas cerita-cerita tersebut, mengalun dalam dendang diri pada makna hakiki ataukah tersia dan mati. Dan cerita itu, akan terus bersimfoni. Siapa yang masih setia mengalunkan setengah nada atau penuh paruh nada, atau bagi pemilik penuh nada, sedang seorangpun selalu menemui jenuh dalam jalan-jalan semu, bersama hati yang mengalir kesemuan rindu. Seharusnya tiada lagi kerinduan yang tersesat, terkecuali pada Penghambaan terhadap-Nya.

Seiring angin bergemuruh. Kedewasaan mulai membingkai dalam penuaian diri yang hendak utuh, karena keutuhan hanya milikNya semata.

Tereduksi sudah darah dalam tubuh, sementara kepala masih sanggup mengisahkan keindahan yang Reza dihadiahkan dari Sang Pencipta. Sebuah unsur berbahaya ,natrium, akan berubah menjadi suatu hal yang amat nikmat, yang dengan sedikit percikan sedikit air unsur tersebut akan meledakkan dirinya. Tapi disisi lain ia berperan merangsang reseptor lidah, natriun clorida. Terlalu ilmiyah rasanya, namun begitulah kuasa-Nya yang maha indah. Sesuatu yang buruk, tidak selamanya tak berguna. Begitupun hal yang indah takkan selamanya berguna. Sungguh tiada sesuatu apapun yang Allah ciptakan sia-sia.

Tubuh itu masih kokoh tegap berhadapan dengan Aula. Dihela nafasnya panjang mengomando oksigen bergerak kekepala, terdiam. “Biarlah pelangi tetap hadir ketika mata ini terpejam, mengubah kesayuan kedalam kebiruan yang terus saja aku harap menentramkan, dan menenangkan. Bersamaan dengan jiwa teduh yang aku rindukan.”

Wajahnya mulai tertunduk, jemari nampak tergeletak lunglai, lututpun mulai menekuk berlahan. “Brukkk” Lututnya beradu dengan teras. Tangisnya mulai membuncah bersamaan nada yang ia suarakan dengan amat berat.

Hasrat bersua, waktu tak kunjung tiba
            Air meluap, aku dan kau terhadap
            Bencana bagiku, biasa bagimu

            Senja itu menuai darahku, Cinta
           
            Genderang menabuh, terpukau aku
            Nafas terbuang, semakin larut
            Balut saja luka ini di sudut

Adakah aku disudut hati
            Lagiku tanya, adakah aku di sudut hati

Terbawa bila, memutar dunia
            Lambat laun menjadi menahun


Bibir Reza kaku, sementara batinnya masih meriak “Keteduhan diwaktu itulah yang aku rindu, meski tiada kata yang bisa terlisankan. Senyum yang terurai sanggup menentramkan jiwa yang terlumat kesunyian yang tersekian lamanya. Semoga di episode masa berikutnya takdir-Mu menjadikan diri ridha dalam cinta yang pasti indah pada akhirnya. Selama Engkau yang membimbing hati ini, seberapa perih harapan yang hanya memiliki titik terbalik.

            “Berserakan daun-daun
            Barulah terjamak sudah.”
           
            “Biarlah senja terus menampakkan dirinya dihadapanku, walau tanpa bisa aku temui Pelangi sekalipun di ujung masaku nanti. Aku tahu, hanya Engkau takdir diri ini.” Kalimat terahir sebelum terganti isakan-isakan kecil nan berat bersenandung subur.
           
            Tiba-tiba Reza terbelalah manatap Aula, ada lantunan syalawat di lima tahun yang lalu. Teramat kecil suara itu, di sisirnya Aula dari kejauhan “Ya uhailal hubbi judu mughroman, wafa ilaikum kultu ya ahba bu’udu kullu amani ‘alaikum,” Syalawat itu seolah terdengar semakin jelas, telinganya amat akrab dengan nada klasik langitan. Tapi bukan Tiara, atau Pelangi. Lalu siapa?.
           
            “Aghfirni Robbi, Bolak-balikkan hati ini hanya padaMU, jangan Engkau biarkan aku kelam dalam kegelapan nafsuku sendiri.” Kalimat sesaat sebelum Reza melangkahkan kaki meninggalkan Aula itu.



Rabu, 16 November 2011

Sajak yang tak berpaut


Untuk MU
Untuk mu

Biarlah pelangi tetap hadir ketika mata ini terpejam, mengubah kesayuan kedalam kebiruan yang terus saja aku harap menentramkan, menenangkan. Bersamaan dengan jiwa teduh yang aku rindukan.

Kurindui sebuah nama.
Nama yang menggaung di labirin biru, nama yang lekat di kota singgahku, singgahmu, dalam sejuk biru merdu meranum keperakan. Sebuah nama yang selalu mendayu LafazhMU, nama yang sempat Engau beri kesanggupan mencairkan kebekuan diri, hati ini.

Tentang sesuatu yang belum sepenuhnya aku fahami atas Syair yang Engkau siratkan dalam sajak-sajak hidupku, sebuah bait yang selalu menggaung dalam serambi seorang diri ciptaan-MU.

Namun tetap saja aku yang ini, yang berharap maqom kemafhuman atas sajak hidupku sendiri. Sesungguhnya Hidayah adalah milikMU, ku mohonkan agar senantia Hidayahkan diri dengan Cinta-MU yang Hakiki.

Masih bercerita tentang Pelangi,
yang terus membiru hati dan jiwa serta diri. Begitupun gadis berjiwa teguh yang terus mengalirkan ketenduhan atas lafazh-lafazh yang terlisan tanpa kata. Semoga Sampai tergaung sahdu menuju hakikat kemuhabbaa.-MU. ALLAH,

Pelangi,
kehadirannya agak mengusik langkahku diawal masa, selaksa fatamorgana anggapku. namun tak berarti sejuk kebiruannya akan menenggelamkanku dalam kalut yang meradang. Justru kebiruannya selalu menenangkan diri. larutkan aku dalam rindu dan cinta. Semoga kisah birumu selalu terhadiahkan kebaikan dari Sang Maha Indah, ALLAH. Barokallahu lii, ma'ak..

Apakah aku telah menjadi yang lain?
saat dua dimensi bersapa, saat dua roman saling berjabat.
Aku yang termilikiMU. kuatkan hati ini dalam nada yang melahirkan simfoni cintaMU yang mengalun teriringi RidhaMU.

Keteduhan diwaktu itulah yang aku rindu, meski tiada kata yang bisa terlisankan. namun senyum yang terurai sanggup menentramkan jiwa yang terlumat kesunyian yang tersekian lamanya. Semoga di episode masa berikutnya TakdirMU menjadikan diri Ridha, dalam cinta yang peasti indah pada akhirnya. Selama Engkau yang Membimbing hati ini, hatinya.

Gemericik waktu mengalir beriringan dengan sulur-sulur kisah yang terus meramaikan kesunyian. mengalun dalam dendang diri pada makna hakiki.
inilah aku, bersama hati yang mengalir rindu. berharap tiada lagi kerinduan yang tersesat, terkecuali pada Penghambaan terhadap-NYA

Aku diantara berjuta wajah yang mengharapmu, merindumu bahkan mencintaimu. Namun takkan aku turuti semua yang menjadi inginku, karena Allah jauh lebih memahami kebutuhanku. kebutuhan hamba-hambaNYA.

Cukup inilah fitrahku sebagai manusia. Aku yakin Roman yang DIA tulis amat indah. Sebias wajahmu hadir dalam dimensi lelapku, telah lebih dari kesekian kalinya.
aku tak begitu faham dengan ini, namun aku berharap Allah selalu membimbing hati ini, hatimu. agar tetap pada RidhaNYA.

Ini aku kamu dan Dia. dan adanya kita.
semua dalam cinta, dalam rindu, dalam sahdu.
dalam dambaMU.

Teduh dibawah rindang cahaya, membentuk keterahasiaan diri dibalik cahaya yang mulai meredup. cukup indah cahaya yang nampak disenja itu, membuatku betah termanjakan. tak ingin aku undur diri.
Teduh dibawah rindang cahaya, membentuk keterahasiaan diri dibalik cahaya yang mulai meredup. cukup indah cahaya yang nampak disenja itu, membuatku betah termanjakan. tak ingin aku undur diri.

Aku takkan sanggup menatap air hangat yang mengalir dari ketulusanmu dalam keadaan tanpa hijab. Karenanya aku tak sanggup menahan nada yang terlalu indah untuk ku dengar dari bibir mungilmu.

Cukup Allah yang akan mengindahkan segala sesuatunya berdasarkan kadar takdirNYA.

Dalam dimensi itu aku terus termubhamkan keSIAPAanmu, serta keSIAPAanku pula. maka cukup Allah saja yang sok tau, karena Ialah DZAT yang maha TAU. maka biarlah kisahmu, kisahku ditemukan dalam equilibium hanya olehNYA.

Beberapa menit saja kegelapan serta kesunyian melanda, segala arah lenyap berhamblur sirna. haruskah aku kambing hitamkan waktu? atau diriku sendiri?
aku mohon bimbinganMU ya Robb, Atas hati, cinta dan diri.
Kiranya demikianlah hati ini terhadapmu, lalu biarlah rahasia tetap ada agar keyakinan makin mengakar.

semoga Dzat pencipta diri selalu mejaga hati-hati ini.

Hubbku masih berkelana dihatinya, khaufku-pun enggan relakan ketiadaannya, begitupun roja'ku masih terpaut akan cintanya.
Ya Robb, jadikan hubbku kepadanya atasMU, tangguhkan roja'ku kepadanya atasMU serta khaufkan aku atasMU pula.

Semenit saja hal itu terjadi padaku, tapi sanggup menghadirkan ketakutan yang luar biasa sampai-sampai bisa merelakan segalanya asalkan tidak terjadi hal itu di menit kemudian. Semoga saja ini wasilah pengampunan penghambaan. kuatkan ragaku ya Robb, Ragaku serta Iman Taqwaku.
Ya Allah, ku mohon ,
Apa yang telah Kau takdirkan aku harap dia adalah yang terbaik buatku kerana Engkau tahu segala isi hatiku.

Pelihara daku dari kemurkaanMu.
Ya Tuhanku, yang Maha Pemurah,
Beri kekuatan jua harapan , Membina diri yang lesu tak bermaya,
Semaikan setulus kasih di jiwa.

Sejuk terhirup, seperti udara saat embun masih begitu riang berdendang. mengingatmu adalah sebagian kesejukan hingga terangkai bait-bait ketentraman hati yang syahdu. peraduanku, peraduanmu. iyalah ALLAH.
Cukupkan hati diri-diri ini dengan Syahdunya kautsar keridhaanMU ya Robb.

Masih seperti cerita di kemarin pagi, saat hunian penuh kesahduan meski sedikit ketakacuhan sepasang mata, namun tak berlaku kepadaMU.
Engkau maha Melihat segala sesuatu yang meromankan hidupku.
sertakan aku dalam penjagaanMU ya rob, atas sebuah hati yang mendamba sesesok wajah berjiwa teduh.
Terkadang hidup begitu sesak atas jejalan fatamorgana yang tak sanggup aku maknai sendiri. Maka tak jarang kaki-kaki melangkah murung.
Hanya aku masih AKU-MU, maka istiqamahkan hati dalam keridhaanMU.

Seberapa tangguh aku menyimpan perahasiaanmu, sampai ada lisan yang sanggup menjadi benteng aku, kamu, dia dan ALLAH.
Semoga Ukhuwah selalu kita junjung tinggi agar tergapailah cintaNYA yang hakiki.

Aku beri kesempatan agar engkau mengenali diriku atas dirimu sendiri. begitu pula pun aku. karena aku tak mau lagi kehilangan makna kesejatian atas anugrah penciptaan.
Semoga kita mampu berlapang dada serta bersyukur atas segala putusanNYA.
semoga ALLAH menjagamu, serta menyayangimu selalu.

Aku takut berlebih dalam mengungkap segala yang menurutku pantas untuk menggambarkan kesejukan yang telah aku terima, aku takut kedustaan menjerat lidahku sendiri. Semoga Allah menjaga lisan ini.

Aku harus memutar melodi yang seharusnya aku mainkan, agar tiada lagi kesunyian dalam diri. Agar tiada lagi kelabu dalam masa yang makin bergulir tanpa bersua.
Aku turut larut dalam syahdu keanggunanmu, namun tak sedikitpun aku faham atas sebuah nama, ialah namamu.
Semoga hanya dengan namaNYA akan melahirkan kata KITA untuk sebuah yang haq. dalam cinta syahduNYA.


Terkadang jalan ini teramat sulit ditempuh, kesabaranpun tidak sebatas cakupan embun melaikan lebih dari samudra. tapi enggan saja terjal lebih pandai mensiasati untuk menghalang jalan.
Kebiruan ini masih cukup menyejukkan raga serta sel-selku yang mulai rentan dalam pergulatan waktu. Namun semoga Engkau meridhai jalanku.


Ketika langit hati telah merona lagi setelah gugur dalam kesunyian serta kesemuan, maka hanya aku tujukan perkara hati hanya padaMU. seraya aku mohon sampaikan hati ini pada hati yang mengagungkan cintaMU.


Aku azzamkan diri saat matahari senja serta embun kesejukan yang tawarkan kesahduan dalam sebuah keihlasan insani. Seraya diriMU satu tanpa sekutu, maka rela diri dalam rebah penghambaan kepadaMU.


Apakah ini benar-benar dari hati?
tak mungkin sanggup untuk kesekian kalinya terjelembab dalam kelebaman, sesosok yang aku anggap pelangi.
Teguhkan hati ini dalam Keistiqamahan kepadaMU.


Semua terasa gelap dimata saat hati enyah dari kesadaran diri. takkan lagi cahaya, takkan lagi kehidupan atas ibadah dan penghambaan. maka Ya Allah aku memonhon, Hidupkanlah hati ini oleh dan hanya karenaMU.


Dunia baru memperkenalkan kepada kejadian-kejadian baru yang tak terelakkan, yang terkadang dituntut untuk cermat diri. tapi akupun takkan luput dari masa lalu yang telah mengantarkanku pada hari ini.


Dikala cahaya mulai meredup lalu sirna, kengerian takkan terelakkan sementara hati menghitam pekat. Lalu siapa yang akan menunjuki jalan terang selain Egkau ya Robb?
tiada lain HANYA Kehendak serta Kuasamu.


Seperti masa yang terus bergerak maju. tak perlu lama-lama sesali penyesalan yang dibuat sendiri, niatkan untuk yang Maha Bijaksana.
Tiada lagi embun disenja hari seperti hari-hari sebelumnya...
ya Robb kuatkanlah aku dalam jalanMU.
lahaulawalaquwwataillabillahil'aliyyil 'adhim,,,


Teruslah bercerita tentang hidupmu, jangan sampai terhenti sebelum masa merampas usiamu.
teruslah berpacu untuk asa dan citamu sebelum nafas ini terhenti.
Allah akan bersama hambanya yang selalu mengingatNYA.
Aku ingin mendengar suara yang hanya aku sendiri yang sanggup mendengarnya, dimana kedamaian tercipta akannya.


Sekedar ini yang aku bisa, namun aku akan tetap berusaha.
meraih apa yang sepatutnya bisa aku raih.

denganMU, hanya denganMU. hidup matiku.
karenaMU pula aku mengerti ayat-ayat hikmah MU.
Bismillah,, bersiap untuk menambah aset masa depan (dunia dan akhirat) dengan ilmu.
semoga engkau memudahkan aku ya Rob dalam pencapaian keridhaan serta kemulyaan atas sebuah penghambaan.


Sepertinya aku takkan lagi melupakan lafazh-lafazh cintamu, wahai pelangi terindah dalam embun senjaku.

Ketika senja baru saja mengadu padaNYA, aku rasakan sunyi itu lagi dan lagi. semoga ini menjadi washilah kerinduanku padaMU, ALLAH.
aku titipkan rasaku padanya kepadaMU. karena hanya karenaMU semua terasa INDAH.