Sabtu, 16 Juni 2012

SENJA DI PENGHUJUNG RAJAB KETUJUH




Muhammad Zuhri Anshari

“Aku memamng tak pantas bersanding dengan wanita baik. Namun terkadang aku berfikir adakah wanita yang mau menerimaku dengan segala kekuranganku untuk menjadi imamnya.” Ucap Izul pelan, seiring angin yang ramah menyapa kalimatnya barusan.
Cahaya keemasan menerobos celah jendela sore ini, membasuh tubuh yang tengah khusuk berdiri didekat jendela. Meratapi setiap gerak gerik orang yang sedang asyik bercada ria dibawah sana, di lihatnya segerombolan anak kecil tertawa riang menjelang senja ini. Senja di bulan Rajab ke-7.
Angin yang riang berusaha menghibur siapa saja yang dia lewati, termasuk Izul. Tawa renyah anak-anak dibawah sana menggiurkan dirinya, sekaligus menyuguhkan sesak yang kian merasuk menusuk rongga hidup yang masih mubham [Istilah yang digunakan dalam ilmu nahwu yang menunjukkan arti belum jelas] dihadapannya. Angin masih berayun-ayun, menyelusup dalam ruang-ruang hampa, dan bersuka ria. Sejuk. meski langit mulai pekat, seiring senja yang mulai menutup cahaya.
Jalanan seperti biasanya, mengisahkan cerita dalam simpang siur kehidupan kian kemari, seperti waktu yang terus memacu masa dan usia, namun waktu lebih unggul dari kendaraan tercanggih manapun, waktu selalu gagah tak terkalahkan. Hingga waktu mengajaknya sampai pada senja ini, hingga ramadhan ketujuh dari pengharapan yang masih dipenuhi kemubhaman.
Enam huruf yang merubah keangkuhan menjadi kesederhanaan, enam huruf yang mengajarkan hidup. Nindya. Gadis itulah yang memetamorfosis kehidupan Izul, Enam huruf yang mengajaknya pada enam keimanan terhadap sang pencipta. “Yakinlah, apapun yang terjadi kepada kita nanti merupakan keputusan terbaik dari Allah. Dengan cara seperti inilah saya menjaga kemurniannya, tidak ada yang perlu kita takuti, keputusan Allah tidak akan menyakiti” kalimat itulah yang menyihir kematian hati menjadi hidup.
Lafazh surat Al-Isra’ yang pernah dilantunkan Nindya saat Peringatan Isra’ Mi’raj 1426 H yang kemudian menjadi Rajab pertama pertemuan Izul dengannya masih teringat jelas terngiang sampai pada saat ini, Rajab 1433 H. Rajab ke-7.
Lafazh yang mengantarkannya pada keteduhan, ketentraman, dan keindahan. Tidak hanya itu, melalui lafazh itu kemudian menumbuhkan cinta serta rindu terhadap Nindya, yang berhasil menyibak kabut ketakutan ketika senja datang, senja yang menyakitkan.
Enam huruf menumbuhkan tiga kata – khauf (takut), roja’ (harap), khubb (cinta)- dalam diri Izul. “Aku tau takdirku atas-Mu, bahkan bertemu atau tidak aku dengannya adalah rahasia-Mu. Lalu bagaimana jika benar yang aku takutkan selama ini terjadi?, ketika orang lain yang Engkau takdirkan bersamanya. Tentu jika tanpa Cinta-Mu, aku terjatuh dalam lara yang teramat mendalam, sesak yang merongrong secuil imanku, dalam gersang yang menggerogoti taqwaku yang tak seberapa, dan dalam gundah yang bisa saja aku melenakan-Mu.” Sayup kalimat itu terdengar dari tubuh yang mulai lelah.
Senja mulai menjemput malam, ketika mentari sudah semakin habis dan beberapa lampu rumah di dusun itu sudah dinyalakan. Sebentar lagi maghrib berkumandang dari surau yang tidak jauh dari tempat Izul saat ini.
Senjapun mulai mengembang. Mentari sudah tidak adalagi disana. Sementara itu rembulan malu-malu menampakkan diri. Senja yang mulai mengembang seiring tubuh Izul yang mulai lelah meregang. Mata yang mulai sayup sering kumandang maghrib yang terdengar sayup-sayup. Lalu kemudian senja itu mengantar Izul kepada Dzat yang dia rindukan, Dzat yang menghadiahkan pertemuan dengan seorang gadis yang mendekatkan dirinya pada Dzat yang telah menciptakannya. Allah.
Sosok itu terbang dengan wajah sumringah. Kenikmatan cinta terus mengalir deras hingga nafas tak mampu menjegalnya. Ketika tidak seorangpun mampu menerima cintanya, maka Dia menemuinya dengan cinta serta mengajaknya menuju keharibaan cinta yang sesungguhnya.
“Bruuk” Tubuh itu beradu dengan lantai, sehelai kertas yang telah menjawab kemubhaman atas penantiannya pada Nindya turut melambung kelangit-langit seolah turut mengantarkan kepergiannya. Sehelai kertas tertuliskan “Annisa Nindya Putri dengan Yanuar Iman Anshari”.
Sehelai kertas jatuh mentup wajah Izul. Wajah yang menyisakan senyum, seiring takdir yang telah diputuskan-Nya. Bidadari menyambutnya dengan gembira, “Selamat wahai Hamba Allah yang didalam hatimu ada cinta yang mendalam untuk-Nya. Sesuai janji Allah, ketika tidak ada lagi naungan selain naungan-Nya di yaumil mahsyar nanti, maka dengan cintamu yang suci menjadikan naungan atasmu sebagai kado terindah dari-Nya untukmu.” Amiin.