Selasa, 27 September 2011

Hari Bersamanya; Dan inilah seraut biru keemasanMU



Hari Bersamanya; Dan inilah seraut sejuk birukeemasanMU
Bismillahirrahmanirrahim
Muza elfarabi (Muhammad Zuhri Anshari)
Syukurku Alhamdulillah padaMu,
Syukurku Alhamdulillah Engkau pertemukan diri ini dengan hamba-hambamu yang tangguh
Syukurku Alhamdulillah atas hikmah dan ibrah yang menambah biru serta hijau dalam senjaku.
Syukurku Alhamdulillah atas apa yang kalian ajarkan terhadapku, tentu tulisan yang aku rangkai tak seindah dan tak sesyahdu RomanNya, tak lebih istimewanya kalian manusia tangguh yang aku temui, namun kiranya izinkan aku hendak mengenang kalian dalam hidupku yang entah sampai kapan, saat sebelum kalian usai membaca tulisan ini atau bahkan saat sebelum tulisan ini kalian ketahui
Demi Allah, Dialah Dzat yang maha pengasih lagi maha penyayang.
Semoga kasihNya selalu setia selama hidup kita didunia, serta sayangnya tercurah kepada kita seusai kehidupan yang pertama ini, kehidupan kedua yang hakiki.
Semoga Dia beri kekuatan Pada kita untuk berIstiqamah di jalanNya, sehingga hanya Ridhanyalah yang kita tuju serta menjadi motivasi diri yang takkan pernah usai.

            Roman yang Dia tulis terus dan selalu saja menyuguhkan warna biru yang sejuk dan hijau menentramkan,  tidak hanya sebatas permukaan hidup para makhluk yang Dia ciptakan dengan tanpa sia-sia. RohmanNya menyayangi segala ciptaan, RohimNya menyayangi diri-diri yang mengimani serta mensyukuri nikmat yang iya beri.
“Nikmatnya yang manakah yang mampu kamu dustakan?”. Kisah-kisah yang Dia ceritakan dalam kehidupan seseorang, tidak sedikitpun kurang dari keadilannya, maka kiranya amat terlalu jika manusia menghakimiNya dengan sebutan tidak Adil.
Pagi itu sangat berbeda baginya, Izul. Pagi-pagi sekali dia sudah duduk manis didepan universitas swasta naungan Sang Surya, Sang Pencerah. Dinginnya pagipun dia sambut dengan hangat serta senyum manis, sesekali kedua bolamatanya menyisir seisi jangkauan pandangnya. “Sepi” Gumannya. Belum ada hilir mudik Panitia, yang ada hanya mobil dan motor yang melintas tidak jauh darinya.
“Tiit” Seru 1280 bernada Beep Once kepada lelaki yang terbaring disampingnya dengan begitu setia pasalnya di tangan lelaki benda itu bersarang sangat lekat, persis seorang pasangan kekasih yang di mabuk asmara menggandeng erat tangan pasangannya dengan sangat mesra.
“Zul, Besok mau ikutan baksos ga’?” Isi pesan singgkat dari salah satu panitia OSPEK sehari sebelum hari ini, Sigit.
Wajah yang semula masam kini meranum, “Mau Mas”, Balas Izul singkat. Letih ternyenyak lepas terhempas, sirna. Kembali lagi ia ajak memorinya ke masa yang lebih awal,
“Saya pengen kapan-kapan kepanti” Kiranya begitulah pesan singkat yang Izul kirimkan kepada teman barunya, Fina. “Sama dong, kapan-kapan yuk” balasan pesan singkat Fina dari seberang sana. “Kapan neh, memulai itu sulit loh”, “Tapikan kita harus berani mulai, klo ga mulai kapan tercapainya.”, “Nanti kita ngapain aja yah?”, “Nah itu yang mesti di rancang, hehehe”. Izul tersenyum sesaat mengingat memorinya. Izul masih mengingat salah satu keinginannya saat mula pertama datang di kota miniatur pendidikan Indonesia, Yogyakarta. Istilah nol kilo meterpun membawanya pada pilihan untuk mengambil study di kota yang masih klasik ini. Adalah mengunjungi salah satu panti di jogja.
“Ayok kebelakang dulu, angkat barang-barang” Seru Seorang Panitia PDD yang Izul panggi Mas Sigit.
“Malu Mas, yang lainkan panitia, saya cuman pendamping” Ucap Izul menyuarakan perasaannya sembil menggaruk-garuk kepala diiringi helaan nafas panjang.
“Yaudah ga usah ikut kalau gitu seh” Ledek si Kakak tingkatan Izul sambil ngloyong pergi, “Iya deh iya, aku kesana” Jawab Izul sekenanya.
Angin sepoi menerpa wajah-wajah beralmamater orange, ramah nan teduh, mentari tak begitu galak menyengat kulit. Senyum berpadu serasi dengan semangat mewarnai wajah-wajah tangguh. Mobil agak butut bukan masalah, asalkan hari tidak sehitam asam kenalpot yang dihasilkan oleh pembakaran mesin yang tidak sempurna.
Izul berdiri di bibir pintu mobil sehingga angin memporakporanda rambut serta almamater yang iya kenakan, warna-warna hijau yang di suguhkan alam sekekeliling menghadiahkan keteduhan hati baginya, lelahpun pudar begitu saja. Dan nikmatnya yang manakah yang mampu kita dustakan.
Rumah-rumah ringkih dengan anyaman bambu sebagai tembok sudah memenuhi batas pandang mata manusia. Gersang tanah berpasir, terseok angin sedikit saja debu terhamblur keangkasa, seolah-olah menggambar ia adalah manusia dihadapan Penciptanya bahkan lebih kecil daripada debu tersebut. Senyum dari manusia-manusia yang akan segera menerima sebungkus plastik putih berisi sumbako memenuhi dan menyirami gersangnya lapang, sumringah nan bahagia meski bagi orang yang mampu bungksan itu suatu hal yang biasa bahkan rendah, tapi bagi manusia-manusia itu amatlah memberi manfaat, inilah mengapa manusia diajarkan Penciptanya untuk melihat kebawah dalam hal duniawi, agar supaya selalu mensyukuri sekecil apapun karuniaNya serta saling mengasihi sesamanya dan serta menyayangi karib kerabat saudaranya. Dan sebaliknya, lihatlah keatas dalam hal beribadah dan berbuat kebaikan di jalanNya agar supaya menjadi hamba-hamba hakiki.
Barisanpun mulai terisi penuh, terisi oleh manusia-manusia berhati tabah dengan kupon yang siap ia tukarkan dengan bungkusan berlian di mata mereka kepada armada orange yang sudah memposisikan pos masing-masing.
Seorang anak kecil dengan senyum tulus, ceria tanpa dendam lagi-lagi membuatnya iri. Ia-pun menggendongnya, ia rasakan kesejukan-kesejukan yang mengalir dari hati orang yang ia gendong. “Ade’ bisakah kamu ajarkan kakak ilmu yang engkau miliki?”Gumam Izul dalam hati.
“Ayook pulang” Ajak Sang Ketua Panitia dengan gaya yang khas.
“Deg” degup jantungnya mulai berpacu kecewa. “Ga jadikah kepantinya” Izul membatin diiringi lenguhan nafas berat, itu artinya dia harus menunda kenginannya entah kapan. Tawa yang iya hadirkan tidaklah wajar, kekecewaan merenggut bahagia yang telah hampir mencapai puncaknya. Padahal bangunan itu sudah hampir jadi, namun badai telah mempora-porandakan bangunan itu, jauh lebih getir dari tsunami yang telah meratakan aceh.
Iya masih ingat hayalan-hayalan sebelum ia tidur, dikelilingi anak-anak kecil berlarian riang kian kemari. Canda, tawa yang tentu akan memberi warna biru yang selalu melambangkan kesejukan baginya, dan bahkan dengan sentuhan warna hijau yang mewakili ketentraman. Tetapi hal itu terhapus, dan berganti warna hitam pekat, amat pekat.
Mobil bus kusam sudah memainkan peran dan menerobos celah-celah angin. Omong-omongan rekan-rekan tak ia indahkan, ia asyik dengan imaji yang belum usai semalam sehari sebelum hari ini terjadi saat sebelum mimpi menenangkan imajinya. Ia duduk di bibir pintu belakang, sesekali ia pandangi alam sekitar yang tak begitu ia sambut dengan suka cita. Tak lagi hijau, atau biru, semua nampak senja, senja yang sebentar lagi usai, redup, lalu sirna dan mati.
Sesekali ia ratapi roda kendaraan yang melintas disamping bus, menyadari hidup tak selamanya seindah apa yang diimpikan. Terkadang impian terlampau jauh lebih indah dari kenyataan, namun seburuk apapun kenyataan itu tetaplah miliknya, milik yang tentu saja akan memberi ibrah bagi pemiliknya dari Dzat yang Maha Pemilik. Tentu indah belum tentu disukai, begitupun yang di sukai belum tentu indah, mengapa? karena keindahan yang hakiki adalah Dzat yang Maha Indah.
“Alhamdulillah Sampe kampus lagi, ayok istirahat dulu terus beres-beres” Seru Panitia yang Menjabat sebagai sekertaris. Satu per satu pengena jas orange turun dari bus, wajah lelah telah mengandrungi masing-masing dari mereka. Begitupun dengan Izul, ditambah lagi kekecewaannya yang tidak jadi kepanti.
“Shalat dulu Ka’ biar habis beres-beres langsung pulang” Ajak Nisa, “Iya, bentar ambil sarung dulu” respon Izul sekenanya di tengah gamang, asumsi tidak jadi kepantipun mulai kuat ketika mendapati ajakan Nisa tadi. “Ayok Shalat” Ajak Izul kepada Nisa seusai mengalungkan sarung di lehernya. “Hayuk”.
Beberapa saat sesudah beres-beres, “Aku mau pulang duluan yah” Pamit Izul menenteng tas dan Helm pinjaman temannya. Iya putuskan pulang dan hendak menyendiri dalam sudut labirin birunya, karena asumsinya ditambah semakin kuat ketika di dapatinya Fina keluar ruangan tiga menit yang lalu, pasalnya dari Finalah iya dapati kabar bahwa setelah baksos lalu ke panti, Namun yang jadi pertanyaan yang makin menguatkan Izul berasumsi tidak jadi kepanti adalah “Ko’ satu persatu dari mereka pada pulang yah?”. Atas hal itulah iya memutuskan untuk pamitan, ia merasa sudah selesai sebagai perwakilan dari pendamping dalam acara baksos hari ini.
“Loh ko’ malah pulang De’?” Tanya seoarang panitia yang amat dia kenal, Risvita Rahayu. “Kita mau kepanti loh, mau ikutan ga’?” Tambah Mas Tum.
Birupun mulai bermunculan kembali, subur dan menjadi keemasan. “Beneran?, Yaudah deh aku ikutan” Respon Izul lemes, lemes yang penuh makna. Dibalik itu menyimpan kebahagian yang tiada tara, Iya seolah ingin meneriakkan “Alhamdulillah mimpiku Engkau Kabul Ya Robb” 
Pukul empat belas lewat tujuh belas menit kuda besi memacu menuju Panti Asuhan Bina Siwi, Pajangan, Bantul, Yogyakarta.

Merintih batin, kaku, nanar, nan lunglai, rasanya airmatapun enggan malu menampakkan diri di pelipis. Betapa tidak?, disini tak cuman satu, dua dan atau tiga orang memiliki kekurangan fisik maupun spikis. Tidak sedikit mereka dianggap hina oleh manusia-manusia yang mengakui dirinya sempurna, yang mengakui dirinya memiliki segala atau bahkan manusia yang mengklaim dirinya Nabi bahkan merasa Tuhan sekalipun.
 
“Selamat datang” Bahasa yang terlafazh tidak sempurnya oleh salah satu dari mereka menambah gemetar hati terenyuh, betapa sangat ingin berteriak lantang “Aku begitu sombong dihadapanMU, Aku merasa Angkuh dihadapanMU, betapa tidak? Aku memang lebih normal dibanding mereka, namun nyatanya mereka jauh lebih hebat dariku, dari tubuhku sendiri. NikmatMu yang manakah yang mampu aku dustakan?.”

Kaku, serasa tulang tak mampu tertumpu. Sesak, seakan paru terisak-isak. Sedu, selaksa jantung turut tersedu. “Aku tersesat masuk kampus ini, Aku tersesat masuk kampus ini, aku sungguh tersesat masuk kampus ini” Memori itu terngiang keras dalam dinding kesadarannya, tepat satu tahun yang lalu ia menyuarakan hal itu di depan mahasiswa-mahasiswa baru seangkatannya. Sesal hendak mengulang masa itu dan ingin ia cabut ucapan itu dan mengganti “Alahmadulillah aku berada disini, bersama orang-orang tangguh seperti kalian”, mangapa?. Melalui Orange telah ia peroleh begitu kemanfaatan serta kisah yang sungguh sangat tak ternilai kemewahannya. Sesal jika ia tau disini, Panti Bina Siwi, yang nasibnya tidak lebih beruntung daripada dirinya. Bayangkan saja, disini, mereka memiliki banyak kekurangan, sudah bicara wajar saja sudah sangat hebat, belum lagi kebutuhan pokok yang tak pasti. Namun mereka melakukan hal yang berguna serta bermanfaat untuk diri dan orang lain, sementara disisi lain ada mahasiswa yang sok mengatakan “sesat masuk kampus ini” tanpa malu. Memang apa yang telah dia beri untuk kampusnya, minimalnya untuk dirinya sendiri. Sangat berbeda jauh dengan mereka yang cacat secara fisik, namun hati mereka jauh lebih tangguh dari serdadu tertangguh didunia ini. Lihat saja deretan kerajinan yang mereka buat terjejer dalam almari yang tertu saja membuat iri “Kita yang normal aja rasanya ga bisa bikin hal-hal seperti ini yah” celetuk salah seoarng dari panitia. Belum lagi ternak, kebun sayur serta wirausaha lain yang mereka lakukan.
Bulu kuduk mulai merespon rangsangan perenungan serta sesal yang di putar ulang oleh orang yang diamanahi Pencipta untuk memiliknya, Izul. “Alahamdulillah yah” dengan nada seperti aktris pelantun aku tak biasa terjuntai oleh perempuan berkacamata yang duduk tidak jauh dari Izul menutup memori di masa lalu seorang Izul.



Alhamdulillahiraobbil ‘alamiin.
Aku titipkan kisah ini dalam tamanMu yang indah, seindah hati mereka, seindah ibrah yang Engkau beri melalui mereka. NikmatMu yang manakah yang mampu aku dustakan.


Bersama kalian di P2K; PJ dan Co-Trainer PBI
Dan hari itupun di mulai.

Detik terahir P2K di Asrama UAD, Menanti pemilik lagu Hari Bersamanya.

Panitia dan Co-Trainer Evaluasi yuk, jadikan kesalahan adalah pembelajaran

Dan Syahdupun dimulai, di tempat ini.

Selamat datang di Panti Bina Siwi, sambut hangat salah seorang wanita berhati mulia pada kami.

Mb’ Risvita lagi asyik mengecek buku tamu, dan entah apa yang difikirkan Ai dengan bahasa tubuh memegang kepalanya sendiri.

Ibu menceritakan keadaan panti, haru sedu sedan dan bahagia.

Koleksi kerajinan Anak-anak Panti.
Ayok pada beli yah


Koleksi; Birunya Lumba-Lumba, tentu sebiru sejuk yang ia bawa melalui kebaikan Penciptanya.

Koleksi; Hayoo Panitia maupun Co-Trainer siapa yang bisa bikin kerajinan ini?
jangan mau kalah yah,

Makan lagi ah sebelum ke kebun, hehehe


“Ibu saya mau naik sepeda, ibu naik motor aja” kiranya begitulah pinta gadis dalam Foto kepada Ibu saat sebelum ke Peternakan, Kebun, dan Toko sederhana.

Peternakan yang mereka kelola

Ibu menjelaskan cara membuat emping

Dapur untuk membuat emping


Mari berkebun; mereka bertiga, jadi inget Riza dan Hany. Dah lama yah kita ga jalan-jalan bareng, hehehe.
Perpaduan yang serasi; Ada yang menyirami, menilik keadan tumbuhan dan merapihkan tempat tanam.

“Ayo mencangkul Mba” hehe, yang lagi nyangkul ini dia memiliki ingatan yang sangat tajam, “Coba saja kalian sebutkan nomor HP kalian kepanya, terus beberapa hari kedepan kalian datang dan mintalah untuk menyebutkan nomor yang pernah sebutkan, dia akan ingat” Tutur Ibu pada kami.

“Ayuk kita sirami biar subur dan bisa mencegah globalwarming”, *Lohh?

“Mas Tum mau berkebun atau mau ngajakin paduan suara yah?” hehe

Nah ini salah satu ternak mereka, Angsa.

“Ayo Mas-mas dan Mba’-mba’ beli, enak plus murah loh” Kiranya begitulah.

“Aku buatkan buat Mb’ minuman yah, pasti mb haus”

Humm, enak yah. “Pada Makan apa yah?, ko rasanya ga terjual di toko?” hehehe. “Thanks ya Teh Epa”.

Mari kita abadikan melalui foto bersama. “Mas Tum ko’ ga ada yah?, ulang tahun seh jadi dikerjain di suruh memoto deh” (Padahal bukan hari ultahnya, hehehe)

Aku titipkan kisah ini dalam tamanMu yang indah, seindah hati mereka, seindah ibrah yang Engkau beri melalui mereka. NikmatMu yang manakah yang mampu aku dustakan.











Jumat, 16 September 2011

Kamu; Hanya Sebatas Impianku


Kamu; Hanya Sebatas Impianku
muza elfarabi (Muhammad Zuhri Anshari)
Dalam khatulistiwa waktumu di lembaran buku hidupku
16 September 2011
Bismillahirrahmanirrahim
Sejuta warna dunia telah penuh menyibak mataku, semoga ini bukan fatamorgana yang melenakanku untuk mensyukuri Ni'matMU ya Robb.
.
"la ilaha ila Anta subhanaKa inni kuntu minadzdzolimiin"
Usia teramat cepat berlalu aku rasa. Kini sudah hampir kepala dua, itu artinya sudah kurang lebih Sembilan tahun yang lalu aku memimpikanmu. Bermimpi berada dalam tamanmu, bermain dengan bahasamu, beristiqamah dengan disiplinmu, amanah dengan didikanmu, mulia dengan ilmumu.
Mimpiku mulai bermunculan saat aku mengenalmu tanpa sengaja. Aku ingat kala itu aku sedang soan kerumah kakek yang kebetulan sedang nonton TV hitam putih, namun masih teramat mewah kala itu, pasalnya aku juga belum mempunyai TV dirumah. Tiap ahad pagi sebelum jam tujuh aku sudah nongkrong di rumah tetangga yang punya TV, tapi bukan hal ini yang membuatku ingat tentangmu. Saat itu, dirumah kakek, sedang menonton TV dan menayangkan kegagahanmu, keindahanmu, kesejukanmu, dan kemanisanmu yang membuatku overngiler hendak memelukmu erat layaknya pelukan seorang kekasih yang sedang bercumbu dimabuk cinta. Sampai-sampai jika kala itu ditarwari gulali-pun(Jajan yang sering membuatku mewek karena selalu ketagihan.) aku tak akan berpaling mengagumimu. Sungguh wibawamu membuatku terpana di usiaku yang masih kurang 9 tahun yang belum bisa untuk mengerti tentang kekaguman dan mengagumi, pasalnya aku masih terlalu kecil untuk memikirkan hal yang teramat dewasa, semuran kelas dua SD di Sembilan tahun yang lalu.
Mimpi itu akhirnya menestimoniku di usia yang masih kelas dua SD. Aku rela menghafal mufrodat yang di setorkan ke Ayah setiap hari. Pindah sekolah Madrasah Ibtida’iayah yang aku takuti kala itupun akhir aku lakukan juga. Menghafal bacaan-bacaan, sampai aku rela meninggalkan serunya bermain demi shalat Dhuhur dan Ashar dirumah, aku kadang merinding dan iri mengingat semangatku dulu saat mengenalmu aku ingat waktu sedang asyik-asyiknya main bola dengan teman-teman yang kemuadian aku segera berlari pulang karena Adzan Ashar berkumandang “Isune balik dikit yah, engko dilanjut ari tes pragat sembayang asare.” (Saya pualng dulu yah, nanti dilanjutkan kalau sudah sholat Ashar). Berlanjut sampai kelas empat SD yang rela shalat jama’ah lima waktu dimasjid dengan rekan saya Rozak, kami selalu berangkan bareng dengan sarung yang di ikatkan di perut seperti layaknya ikat pinggang, peci putih yang dimasukkan kesaku. Biar praktis fikirku saat itu.
Mimpi itu menghadiahkan semangat di usiaku yang masih kelas empat SD. Semenjak pindah sekolah nilai rangkingku anjlok, nilai pelajaran-pelajaran keagamaan yang di pecah-pecah membuatku susah untuk memahami, berbeda saat di SD yang pelajar agamanya hanya seminggu sekali, itupun kalau gurunya masuk. Aku malu, aku takut ga bisa memelukmu, aku takut ga bisa bermain bahasa denganmu, aku takut aku ga bisa datang di pintumu. Dan mimpi itu memusnahkan ketakuan-ketakutan itu, “Aku harus bisa, akukan sudah persiapan untuk ke Pondok itu”, akhirnya semangat itu merubah rangking jelekku menjadi rengking yang cukup membanggakan, angka satu-pun aku raih. Usahakupun tidak membuatku menggigit jari.
Mimpi itu akhirnya aku simpan di saat kelulusan kelas enam, harapanku mulai lebur, sakit, hendak berteriak sekencang-kencangnya, Jantungku rasanya seperti tercabik taring serigala buas sampai sempat berfikir Sang pemilik taqdir tak begitu adil terhadapku, apakah Dia tidak percaya akan tekadku memelukmu, apakan Dia memang tak mau melihatku mengukuhkan diri dijalanNya?. Apakah Dia enggan melihatku tersenyum bangga bersamamu?, Apakah Dia tidak pernah tersentuh sedikitpun atas usaha dan tangisku?.
Dan suatu hari di Madrasah Tsanawiyyah Cirebon 1, Impian itu mulai bergejolak kembali. Aku singgahi taman-taman ilmu agama; Santun, dan Nuurusshidiiq, dari kedua taman itu aku mengerti, tak perlu aku mengingkari pengelakanNya atas tegadku menemuimu, menjadi bagianmu.
Santun, mengajarkanku kedewasaan dan persaudaraan. Aku yang paling kecil, yang lain sudah kelas 8 (Fajar Winata, Rizky Ramadhan), dan tingkat SLTA (Ka Eka S. E., Ka Agus S., Ka’ Cahyadi, Mas Gatot) bersama para Amii (Ami Upang (Pengajar Tarikh dan tempatku curcol), Amii Asmuri(Pimpinan Asrama), Amii Fidi, Amii Jazuli (Pengajar Matematik dan teater), Pak Lalan dkk), para ummii (Ummi Dhona, dkk), dan Ibu Santun yang begitu mencurahkan kasih sayangnya kepada kami. Dari sinilah aku mulai mengerti, bahwa hidup tak selamanya berjalan mulus. Aku ingat kala itu, sepulang sekolah perutku amat sangat lapar. Sesampainya di Asrama nasi yang di rice cooker sudah mengering, sayur dikulkaspun sudah ludes akibat hobby Isengku dengan Fajar dan Rizky yang suka bikin sayur yang aneh-aneh. Aku bingung mau makan apa, uang persediaan sudah menipis, emh “Ga bisa makan neh” gumamku. Bukan itu aja, kadang klo lagi pengen hiburan main bolling dengan Fajar dan Rizky. Aku ingat saat main bolling di pojok emperan asrama di jejer botol-botol plastic bekas, dan yang jadi bolanya menggunakan Bola Basket kepunyaan risky. Kalau sudah gitu biasanya Ka’ Agus Negor “Kalian bertiga mainan terus, mending bersih-bersih dapur”, yah maklum Ka’ Agus sebagai sie perdapuran dan sei kebersihan. Mending Ka Agus nyuruh bersih-bersih, Ka’ Cahyadi Beda lagi “Beresin Ga’, mainan tuh yang wajar, itu dekat kaca.” Serunya dengan Gagah, Maklum beliaukan Paskibra Kota, yang setiap harinya mengayuh sepeda kesekolah, latian pukul dan sebagainya.
Aku, Fajar, dan Rizky biasanya akan naik keatap masjid depan Asrama sebagai arena pelarian dari tugas bersih-bersih halaman. Kadang sengaja berangkat sekolah sengaja pagi-pagi dan pulang larut sore hanya karena ga mau bersih-bersih halaman. Namun hal ini tak selalu kami lakukan, kalau lagi rajin ya rajin banget. Kita bertiga selalu kumat-kumatan kalau bersih-bersih.
“Jar, Aku minta gambarin dong,” Pintaku Ke Fajar, Dia paling jago ngegambar sih soalnya. Cowok TiKus alias tinggi kurus dengan tahi lalat diatas bibir, yang selalu mengajakku melihat rembulan. “Zuh, tidur di Balkon yuk. Lembulannya terang neh, barangkali aja ada bidadari turun” kenangku saat Fajar menampakkan kepala di bibir pintu kamarku sambil menyeret kasur. Biasanya kalau sudah begitu kita bertiga akan bercerita tentang kisah masing-masing, tebak-tebakan, nyanyi-nyanyi, ngrenung bareng, kadang ejek-ejekan sekolah masing-masing, Rizky yang selalu asyik membanggakan SMPN 10nya, Fajar yang tak mau kalah membanggakan SMP Muha 2nya, dan aku yang selalu kalah untuk MTsNku, habisnya mereka berdua paling bisa ngomong seh, aku selalu kalah, belum lagi mereka 2 tingkat diatasku.
Nuurusshidiiq, Kutemui empat manusia super yang kembali lagi mengingatkanku terhadapmu. Adalah Ustadz Budi, ustadz yang pernah memergoki tulisan curhatanku untuk seorang perempuan. Malu, takut, dan kelabu kala itu. Namun beliau tetap ramah, humanis dan malah suka ngledek kalau mau berangkat sekolah, “Bid, jagain zuhri yah. Jangan sampe ada kesempatan berduaan dengan gadis yang dicintainya” Pesannya saat di salami (Berjabat, menciun tangan) oleh sahabatku Abid, “Zuh, Jagain Abid juga yah, Jangan sampe macem-macem dengan santri putri yang dia taksirnya” Pesannya saat aku salami.
Selama di Asrama tak pernah aku mendapat hukuman terkecuali saat itu ada komunikasi yang salah tentang pengajian Usul Fiqh, di dapati kabar pengajian di liburkan sementara. Aku dan bersama keenam teman saya termasuk Abid langsung meluncur ke warung untuk memenuhi permintaan perut yang masih ingin diisi. Sesampainya di warung, si pemilik warung sedang menonton Film “Memakan Dana ONH” Film yang di tayangkan oleh TPI (sekarang MMC), makanpun jadi agak lambat karena setiap kali iklan selesai mata kami tertuju pada layar televisi.
Hoy pada keluar, di panggil Ustazd Budi di Lapangan” Seru seorang santri seangkatanku. “Degg”, jantungku tiba-tiba berdentum kencang, pasalnya tak pernah Ustazd Budi memanggil santrinya kelapangan terkecuali untuk menerima takziran. Sontak saja yang berada didalam langsung melesat keluar menuju lapangan. Benar saja Ustadz berkacamata itu sudah menenteng dua batang rotan di tangan kanannya.
Baris, apa alasan kalian tidak mengikutipengajian?” Introgasi sang ustadz ditujukan pada kami. Salah satu dari kamupun menceritakan tentang kabar diliburkannya pengajian Usul Fiqh tersebut. “Lain kali, kalau ada informasi yang belum jelas di cari tau dulu kejelasannya. Jangan cuman langsung percaya, terus nurutin nafsu.” Tegurnya pelan sambil mengelilingi kami dan di tatapilah kami satu per satu.
Sekarang maju satu-satu, biar kalian ga lalai dan bertindak hati-hati maka saya takzir. Kalian Ridho saya takzir?” Pintanya pada kami. Sudah menjadi hal yang biasa, beliau selalu meminta ridho untuk menakzir. “Takut terkena hukum hakuladam(Hak Manusia)” ucap beliau saat diskusi tentang masalah itu.
Saya Ridho Ustadz” Seru kami. Rotan-rotan itu akhirnya bercumbu dipaha-paha kami “Plak, Plak, Plak” Bunyi rotan yang beradu dengan daging yang hanya dilapisi sarung. Tapi sungguh hukuman itu rupanya berhasil membiusku yang kadang jarang waspada dan berhati-hati dan sering ceroboh, hukuman itu mengajarkanku berhati-hati
Ustazd Faturrahman, Ustazd yang paling ga suka melihat kami bermalas-malasan. Kami biasanya takut ga bisa bangun pagi, lalu belau yang membangunkan. Beliau memiliki disiplin tinggi, tegas, namun tetap lues. Setelah Ustadz budi, ustazd kedua yang sering menasehatiku adalah ustazd faturrahman.
Ustazd Azis, dan Buya Yahya, aku sendiri tak begitu akrab, lebih akrab ke ustazd budi dan ustazd fatur.
Nuurushidiiq, Perpaduan modern dan salaf. Tempatku pertamakali mengenal tasawuf modern, Thariqah, dan Asatidz lulusan Gontor. Kamu, yah aku sangat bergejolak kembali ingin bertemu denganmu, aku melihat Ustazd Budi yang selalu memberi keteduhan.
Aku bertekad akan menemuimu, Apalagi setelah ustazd Budi berkenan membimbingku agar aku lulus seleksimu. Tekad itu kemudian memacu semangatku. Ku ikuti beberapa les, bahkan sampe malam masih ditempat bimbingan. Hujan anginpun sempat aku terobos demi agar bisa memenuhi syarat untuk menemuimu.
Namun, sakit itu datang saat kelas 9. Gejala tipus, Tubuhku menggigil saat seusai memimpin upacara di sekolah, aku ingat saat itu tubuhku sangat lemah dan dan gemetaran. Tapi jiwa patriotku dulu masih tinggi karena selain Lurah Paskibra sekolah juga kerana sudah menjadi kewajiban menjadi pemimpin upacara.
Pemimpin upacara di perkenankan meninggalkan upacara” suara sang protocol, aku melangkah gemetar, dingin, dingin sekali. Pandangan agak kabur, perutku teramat sakit, bibirku pucat, jalanpun sempoyongan. Dan saat mau terjatuh, sahabatku Iqbal sudah merangkul tubuhku “Kenapa Zuh?, Belum sarapan?, ke UKS aja yah” Tanya Iqbal penuh perhatian. “mmm” Jawabku dengan sisa tenaga. Beberapa menit kemudia ibu Ru’yati,Wali Kelasku, datang ke UKS “Zuhri pulang saja yah. Nanti biar Iqbal atau Abid yang memintakan Izin pada pondok” Suara serak keibuan sedikit menenangkanku. “Ga usah bu, nanti pelajaranku ketinggalan” Jawabku lemah. Tentu aku ga mau ketinggalan pelajaran, pasalnya kalau aku ketinggalan pasti akan gagal juga bertemu dan bermain di tamanmu, Pondok Impianku. “Yaudah kamu istirahat dulu disini yah sayang” Sambil memelukku. Ibu Ru’yati adalah wali kelas yang menganggap kami adalah anak.
Harus istirahat total, dan tidak boleh melakukan kegiatan yang menyita tenaga. Perkiraan proses penyembuhannya sekitar satu sengah bulan” Ucap Lelaki berbaju putih saat memberi obat. Tentu saja hal ini membuatku bingung bukan kepalang. Minggu depan aku harus ujian praktek, dan dua minggu depannya lagi ujian nasional. Itu artinya aku ga bisa ikut ujian nasional, ga bisa ikut ujian praktek, dan bisa ga bisa menemuimu, pondok impianku. Saran dokter untuk tidak memikirkan hal tersebut aku langgar, aku menangis dalam hati, memberontak, ingin sekali rasanya berteiak sekencang-kencangnya namun sayangnya bicarakupun amat tidak mampu keras. Aku berfikir, Tuhan memang tidak adil, Iya selalu sok mengatur, dang a pernah meridhai aku bertemu denganmu. Imanku entah melayang kemana, hatiku beku, sakit, nanar tertusuk sembilu. Pilu, bernafaspun aku enggan rasanya. Kenapa Tuhan ciptakan aku, tapi selalu saja Dia tak pernah memberiku izin menemuimu, padahal sudah barang pasti aku menemuimu untuk menegakkan syariatnya.
Hari kedua, aku masih terbaring payah hanya anganku saja yang bergerak bebas menghayalkanmu, menghayal aku berada didekatmu.
Anak bapak bisa untuk mengikuti ujian nasional nanti, kesehatannya jauh semakin baik.” Ucap Dokter kepada ayahku seminggu setelah pemeriksaan yang pertama. “Tapi untuk ujian prakteknya, minta tiganti tugas saja, karena anak bapak masih harus banyak beristirahat” Tambahnya lagi. Sementara aku hanya diam, diam dan diam.
Ujian Nasionalku tidak memenuhi Passing Grade SMANDA Cirebon, sekolah yang menggantikanmu atas saran orang tua karena ga mungkin menemuimu dalam keadaan yang masih kurang sehat. “Sekolah di SMANDA saja, biar ga terlalu capek. kalau di Gontorkan sangat padat agendanya, sementara kamu sakit.” begitulah saran ayahku. Namun SMANDApun gagal.
MAN MODEL CIWARINGIN, ROUDLATUTH THOLIBIN, ASSANUSI. Penggantmu, Pengganti yang sangat begitu banyak pemahaman bahwa “Allah tidak akan memberikan apa yang diinginkan oleh hambanya. Melainkan memberi apa yang dibutuhkan hambanya. Maka berprasangka baiklah kepada Allah karena Dia akan melakukan sesuai sangkaan kita terhadapNYA. Belajar bersyukur, bersyukur untuk belajar. Serta Motivasi serta Motivator hakiki adalah cuman hanya ALLAH”. Wallahua’lambishshowab.
Alhamdulillah,
Semoga cukup hanya karena Engkau hidupku terkukuh.

Kamis, 15 September 2011

HARI BERSAMANYA; Akankah Kisah Sejuk BiruMU Engkau Hadiahkan Lagi?





HARI BERSAMANYA;
Akankah Kisah Sejuk BiruMU Engkau Hadiahkan Lagi?

muza elfarabi (Muhammad Zuhri Anshari)
Suatu sore, senja keemasan yang indah di halaman buku hidupku
15 September 2011

UntukMu
Untukmu
Untuk kalian

Bismillahirrahmanirrahim
di bait pertama
Hanya Engkau Dzat yang Maha Penyayang lagi Maha Pengasih, Hidupku atas MU, Matikupun atasmu. Syukurku tentu takkan pernah sebanding dengan kisah-kisah yang Engkau hadiahkan dalam perjalan episode masaku, tentu Cahaya Mu yang hanya bisa mampu menuntuntuku melewati Labirin-Labirin usiaku.
Subhanallahiwalhamdulillah, Wallahuakbar.

Sang surya bersinar gagah, namun nampaknya remaja-remaja beralmamater orange tidak begitu asyik menyapanya. Belum lagi jenuh dan dongkol menyeruak seisi raga, menjadi sesak, dan berevolusi menjadi butiran-butiran kebencian terhadap senior yang meminta mereka untuk tetap sabar menyimak acara-acara pengenalan kampus.
Siapa dia?” Teriak seorang remaja lantang menirukan yel-yel yang bukan milik prodinya. “Si, Sie Konsumsi” Jawab lantang segerombol remaja-remaja di bawah tenda. Mulanya yel-yel ini cuman iseng, namun nampaknya perut sudah memaksa pemiliknya untuk segera di beri haknya, maka timbullah expresi demikian. Hal ini sama persis dengan demo atau unjuk rasa ataupun pengistilahan lain yang menyatakan yngkapan protes, perlawanan, atau kekurang setujuan.
Turun, Turun, Turun” Suara seperti serdadu menimpuki orator-orator seperti menggurui. Padahal isi orator itu sendiri sangat menarik jika dikemas dengan bahasa yang halus dan tidak sok angkuh.
Di tengah nuansa yang menikam kesabaran seluruh manusia-manusia yang memadati lapangan kerontang nan panas, sekelompok remaja asyik berbincang dengan pembimbingnya. Menceritakan pesan dan kesan, curhat, tanya jawab tentang perkuliahan sampai tanya jawab tentang mencari pasangan. Keadaan ini sebenarnya hal yang kurang layak ditiru, kenapa? adalah karena di panggung pertunjukkan tengah asyik beberapa mahasiswa-mahasiswa the best, namun hal tersebut tidak di indahkan oleh mahasiswa yang tengah menemui titik jenuh yang teramat beku lagi kaku.
Beberapa saat kemudian pendamping kelompok mulai naik ke dataran yang agak lebih tinggi, berbaur dengan Penanggung Jawab Kelas dan beberapa pendamping lain. Obrolan-obrolan ringan pun langsung mereka santap lahap layaknya makanan yang lezat.
Tiga Pendamping dari para pendamping lainnya, Rizal, Haris dan Izul, yang sering disebut 3 ediot, ataupun trio wek wek mulai menunjukkan aksinya. Korbannya kali ini adalah rekan mereka yang bertubuh kurus nan kering lagi terpendek diantara ketiganya. Dua dari mereka, Rizal dan Haris, lari kesamping panggung, meninggalkan satu rekannya ditengah terik kerumunan Pendamping yang lain.
Sesampainya mereka di samping panggung, mereka berbincang dengan seorang perempuan berkacamata dari prodi lain, entah apa yang mereka bicarakan. Namun sesekali mereka tersenyum dan mengatakan sesuatu kearah Izul yang Nampak melongo tidak faham. Hal itu berulang beberapa kali, sampai pada akhirnya Sang Ketua BEM-pun turut serta tersenyum kearah Izul. “Apaan sih anak” Gerutu Izul di bawah riuh ricuh MaBa-MaBa yang berkeluh kesah. Dengan lantang Izul melenggangkan kaki kearah kedua sahabatnya (Lebih kayak Keluaga sih) karena penasaran.
Sesampainya, “Ah ga berani luh” Sindir Rizal. “Berani” Jawab Izul sekenanya tak begitu faham. “Coba luh kasiin ini ke Fina” Pinta Rizal sambil menyodorkan sebuah cemilan kearah Izul di iringi senyum Haris yang sedikit misterius. “Apa neh maksudnya?, masa iya ngasihin ginian se?” Tanggap Izul bernada ngeles. “Yaudah aku yang ngasihin, tapi kalau saya berisyarat jempol, kamu harus mengacungkan jempol, sepakat?” Ucap Rizal menawarkan tawaran, “Hems, boleh deh.” Jawab Izul sambil menggaruk kepala yang tak gatal. “Tapi apa maksudnya Zal?” Tanya Izul yang sudah tak terdengar oleh Rizal yang sudah keburu melenggang kearah Fina.
Sheila on Seven” Teriak Pembawa acara menginformasikan para MaBa, yang akhirnya memancing MaBa untuk menyerbu panggung, persis seperti orang yang hendak menerima sumbako. Atau semut yang menyerbu gula membuat petugas keamanan bergerak tangkas menertibkan masa yang sudah tidak sabar menyambut salah satu band terkenal yang berasal dari yogyakarta. Debupun berhamburan keatas, disusul dengan suara-suara komando dari panitia. Petugas kesehatan segera berhambur membawa masker untuk menutup mulut dan hidung. Rizal pun teralihkan, dia langsung meluncur kedepan panggung. Aksi angkat jempolpun gagal.
Aku kesana dulu yah, kamu disini aja dulu” celetuk Haris setengah berlari mengikuti arah Rizal disertai senyum penuh arti kearah Izul. “Wah pada tega neh.” Izul membatin.
Keadaan semakin ruwet saat personil-personil Sheila menaiki panggung. Sesak, gaduh akan teriakan-teriakan nama sang idola. Begitupun Izul, beberapa lagu Sheila pernah memberi warna dalam langkah pemenuhan diri. Wajah Izul setengah kebingungan setelah ditinggal oleh kedua sahabatnya, hanya dengan Fina si Perempuan berkacamata yang baru dia kenal saat hari pertama ospek, dan dengan teman atau mungkin sahabatnya yang menenteng benda putih ajaib yang iya gunakan sebagai perekam gambar band favoritnya.
Lagu demi lagu di dendang syahdu membius menghapus wajah-wajah yang tengah dirundung kesal dan marah. Izulpun turut larut dalam lagu-lagu tersebut diiringi memori-memori bersama lagu-lagu tersebut.
Yess, Hari Besamanya” Teriak Izul kontan meloncat riang. Lalu mulutnya mulai komat-kamit mengikuti syair-syair yang terus bersemilir seperti angin yang kemudian mengantarkan Izul pada memori yang belum lama iya alami bersama ke enam sahabatnya. Tiba-tiba dia merasakan rindu, rindu masa itu, rindu saat bersama. Hampir satu tahun yang lalu lagu ini menyimbolkan kenangan yang sungguh amat sangat bermakna. Kesejukan BiruMU.
Prambanan, gelap, kabut yang mencekam, pekat belum lagi menyaksikan wajah dengan raut duka yang mendalam. Keprihatinan membara mengisi darah yang merah,Izul amat ingat saat itu. Izul sendiri hampir tak dapat menggerakkan kakinya kala itu, beku menyaksikan duka yang melingkupi sekeliling Yogyakarta. Tapi senyum serta semangat yang di sodorkan keenam sahabatnya, membuatnya mencair. Dan dari hal itulah ketujuh Remaja sering bersama, seperti layaknya warna pelangi yang indah, yang akhirnya Izul tak lagi benci terhadap pelangi.
Pelangi adalah Sang Pembohong Besar, Ketika iya berhasil menarik ketakjuban manusia dengan asyiknya dia menghilang. Sama halnya habis manis sepah dibuang, habis mendapat pujian lalu pergi begitu saja. Tapi setelah hari itu dilewatinya, Pelangi adalah filosofi teridah. Mengapa? Karena ini menggambarkan manusia. Air, dan Cahaya adalah pembuat warna indah pelangi atas izin Dzat yang Maha Indah, Air menggambarkan ketenangan, ketentraman hati, kejernihan jiwa. Sementara Cahaya adalah Nur Ilahi yang di dialirkan oleh Allah kepada diri manusia. Jika manusia mempunyai Ketentraman hati, Kesejukan jiwa dan Nur Ilahi maka manusia itu akan nampak indah, manusia itu akan selalu dirindu oleh banyak orang, Nasehatnya selalu didengar, Tingkahlakunya selalu membuat orang nyaman berada didekatnya.
Lagupun usai diberengi usainya film dokumenter terputar dalam sudut terindah dalam labirin-labirin masa yang Izul miliki. “Apakah melalui Hari Bersamanya Engkau akan memberiku kisah berharga lagi, seperti halnya Best Buddies yang aku rindu dan sayang, andai kita disini menyaksikan bersama lagu yang secara langsung dinyanyikan oleh Sheila sambil memutar memori syahdu kita tempo dulu. Tentu aku akan sangat jauh bahagia bersama kalian, Apalagi ini bertepatan dengan bulan awal keakraban kita di 7 September tahun 2010 kemarin, apakah kalian ingat?, apakah kalian memiliki perasaan yang sepadan denganku?, aku rindu kalian, aku sayang kalian, karena kalian adalah bukan sahabat apalagi teman bagiku, melainkan kalian adalah keluargaku, keluarga yang selalu menginspirasiku, keluarga yang memberiku semangat-semangat baru, aku sayang kalian sungguh aku merindukan kalian. Apakah melalui Hari Bersamanya Engkau memberiku kisah yang berharga lagi?” Izul membatin.
Kedepan panggung yuk” Ajak Izul kepada Fina dan rekannya sambil berlari kecil menerobos para MaBa setelah mendapati Rizal yang tengah asyik berjingkrak depan panggung. Namun mungkin ajakan Izul tidak terdengar cukup jelas, atau mungkin Fina dan temannya enggan untuk menerobos kesupekan para MaBa. “Eros yah” Pinta Fina memberi kode untuk memotret Idolanya diringi simpul senyum khas kepunyaannya. “Sip” ucap Izal yang terkubur oleh suara-suara teriakan histeris.
Betapa senangnya ketika posisi Izul sudah tepat berada di depan panggung, yang lalu kemudian dia dapati tangan Sang Vokalis Sheila, dan membopohnya saat merebah kearah riuh penonton. Namun dia merasa ada yang kurang, “Zal, Haris mana?” , “Dia di belakang panggung kayaknya”.
***
Dan hari ini adalah hari bersama kalian; Hany, Riza, Vinta, Ai, Para MaBaku, Mb’ Selva, Mb’ Siti, Mb’ Imah, Mb’ Uyung, Mb’ Ayu, Alin, Unul, dan kawan-kawan semuanya. Pertanyaanku tetap ““Apakah melalui Hari Bersamanya Engkau akan memberiku kisah berharga lagi?, Ya Robb
Lahaulawalaquwwataillabillahil’aliyyiladzim