Selasa, 20 Maret 2012

Sekejap, Buahkan Rindu


            Tajam tatap mentari pagi ini, menyengat siapa dan apa saja yang dapat dijangkaunya. Angin kali ini kalah peran dengan sengatan mentari yang teramat ganas, atau mungkin jubalan siswa-siswi yang seliwarseliwir kian kemari menyumbang hasil pembakaran kalori dalam tubuhnya dan membuat atmosfir sekolah ini memanas.
            Lelaki itu keluar dari perpustaakan terburu-buru, ingin segera temui seorang siswi yang sempat sebal terhadapnya saat masa orientasi dulu. Zakiya, Qiqi adalah sapaan akrab gadis kecil itu. Gadis kecil berhati lunak, gadis kecil yang selalu setia mendengarkan kisah-kisah Pelangi dalam hidup Izul. Entah sudah berapa jilid jika kisah Pelangi itu di bukukan, atau satu halaman kertaspun tak sampai karena ketika saat menuliskan kisah Pelangi tersebut mendadak kaku jemarinya. Namun roman ini amatlah sempurna Dia tuliskan bagi setiap hamba-Nya.
            “Teteh takut kamu di jauhi teman-teman de’, lantaran Teteh hanya sepenuhnya menemuimu saja. Asal tau saja, Teteh ingin berbincang banyak denganmu de’. Tapi hal tadi menjadi alasan mengapa kemarin saat Teteh ke Pesantren tidak secara akrab berbincang denganmu De’, percayalah Teteh sayang sama Ade’. Jangan siksa Teteh ataupun Ade lantaran hal ini yah.” Izul membuka pembicaraan yang langsung di sambut airmata, gadis itu menangis.
            Keduamatanya menatap penuh sahdu gadis dihadapannya, tangis itupun sedikit mereda. “Iya Ka’, Qiqi percaya ama Teteh.” paparnya sambil terisak. Pembicaran pun kembali bertemakan Pelangi, dan menjadi bahan obrolan yang renyah antara keduanya, Izul dengan Gadis kecil itu.
            Dua tahun berlalu begitu saja tanpa tatapmuka, kalau pun ada petemuan itu hanya melalui media sosial, itu pun tidak berlangsung lama. Berbeda dengan hari ini, keduanya bertemu dan kembali menceritakan kisah tentang Pelangi. Pelangi bagi Izul.
            Kenangan itu kembali bersimfoni mengiringi cerita-cerita tentang Pelangi kepada gadis yang kini duduk disampingnya. Matanya kini pekat menatap Ruang Kelas di samping kanan Perpustakaan dari sudut pandang Izul yang membelakangi arah barat. Cerita Pelangi di limatahun lalu pun bervisual dimatanya, detail, tak satupun terlewatkan dan nampak seperti nyata.
            Kalimat-kalimat yang Izul sodorkan pada adiknya nampak tak ia sadari, bagaimana tidak fikirannya kini ia gunakan untuk memvisualisasikan kenangan-kenangan itu. Sampai pada kalimat yang membuatnya kembali pada kesadaran, “Kakak tuh sama Teteh, bukan dengan yang lain,” Izul pun mengamiinkan kalimat tadi dalam hati. Pasalnya Pelangilah sosok yang mewarnai hatinya sampai saat ini, biarpun tak sering perjumpaannya dengan Pelangi, atau bahkan tidak pernah dalam kurun waktu dua tahun terakhir ini. Tapi hal itu tidak menyudutkan perasaan yang nyatany semakin subur untuknya, Pelangi.
            Musholah, obrolan pun berpindah tempat. Ketika mentari jauh lebih terik dibanding sebelumnya, Seusai shalat Dzuhur, keduanya duduk di serambi musholah. “Kakak dulu kalau istirahat ke-2 Fullday biasanya disini, dan menunggu Tetehmu lewat,” diliriknya lagi gadis kecil yang sudah menjarah HP jadulnya itu untuk bersms ria dengan sang Teteh, padahal gadis itu sudah tau bahwa kebiasaan Izul adalah menunggu Tetehnya lewat saat waktu pulang sekolah, danatau menunggu ketika masuk sekokah “biasanya Teteh lewat situ”, menunjuk lapangan depan Pendopo, “atau biasanya lewat depan sini” menunjuk lahan kosong depan Musholah. “Aneh yah”, timpalnya lagi sambil senyum-senyum kecil. Indah.
            Senyum sang gadis mendengar celotehan Lelaki di sampingnya yang mulai senyum-senyum sendiri. Aneh. Karena tepatnya bukan nunggu untuk sekedar bertemu atau minimalnya menyapa, tapi sekedar memastikan tetehnya pulang atau belum. Sesekali memang menyapa, atau sekedar jalan pulang bareng, itupun amat sangat jarang.
            “Itu Teteh De’”, “Kakak pulang aja yah, ga berani nih. Wahh ko jadi inget dulu, sering kebetulan make warna pakean yang sama, atau persis.” tutur Izul yang matanya tertuju pada Gadis yang memakai Kerudung coklat cerah, dan pakaian yang di dominasi coklat. Persis dengan pakaian yang dia kenakan. Kebahagiaan itu sedikit terbangun hanya dengan “Kebetulan memakai warna sama.”. Salah tingkah.
            “Kakak ga boleh gitu tuh, masa pulang?” sergah Qiqi yang mulai senyum-senyum melihat kedatangan Tetehnya, dan disusul senyum Izul.
            “Kak, Teteh ke Teh Evi dulu. Ini sms dari Teteh.” sambil menyodorkan HP, “Kakak pulang aja deh kalo gitu.” sedikit kecewa, “Ga boleh Kak,” tahan Qiqi, “Ayook kedepan Al Mun,”, “Ayyok Kak” Ajaknya lagi. “Oke-oke, lewat AULA aja yah, biar cepet,” tawar Izul. Rupanya ia sengaja untuk lewat AULA, hari ini tak ingin ia lewatkan begitu saja tanpa sempat menengok kembali dirinya di masa lalu dengan sosok Pelangi. Tangga radio, Perpustakaan, X-1, Bibir Pintu FD, Pendopo, Kelas Bahasa, dan AULA.
            Pertemuan singkat yang masih bisu, senyap, dalam ruang yang tak begitu lebar untuk manampung lebih kurang sepuluh orang. Kalimat seolah mati begitu saja, selain kalimat-kalimat sederhana sebagai pengisi kekosongan.
            Kerinduan mulai terkikis seiring durasi pertemuan tersebut, dan berbanding terbalik dengan rasa cinta di hati yang kini makin meninggi. Pelangi itu nampak begitu ramah lagi menentramkan diri,
Saat durasi jam tak benar menunjukkan waktu. Amat sangat singkat pertemuan setelah 2 tahun silam, ada lafazh yang ingin terurai sebagai pelebur "kemubhaman" tapi lagi-lagi Pelangi hanya sekilas menyibak mata yang merindui hadirnya.
Setelah itu?, perpisahan untuk kesekian kali. Kerinduan sudah barang tentu membuncah raga, begitu pula dengan cinta yang kini semakin menguat di hati. Tentu cinta itu menyandra hatinya, betapa tidak terhingga kenikmatan pertemuan itu biar barang sekejap. Belum tentu esok bisa bertemu, atau kemungkinan lain yang menghalangi pertemuan di kemudian hari sekedar mengobati kerinduan.
Tidak hanya satu atau dua malam penuh syahdu ketika Pelangi hadir, gelisah menanti kegadatangannya. Rindu yang kian kuat menagih diri, sosok yang akan selalu di ingantnya dalam labirin yang dia ciptakan sebagai tempat menyimpan segala pelajaran yang dia peroleh melalui Pelangi.
“Semoga esok Engkau meridhaiku untuk bertemu dengannya lagi, ada suatu hal yang hendak aku sampaikan. Semoga Engkau jaga hati ini pada jalan yang Engkau ridhai. Dan semoga dengan cinta ini aku bisa menjadikan utuh atas penghambaanku.”