Selasa, 09 Agustus 2011

3 KATA BELUM TERMILIKI


3 KATA BELUM TERMILIKI
          
Hari begitu indah berjalan beriringan dengan masa yang terus patuh pada titah TuhanNya, tak pernah ada kata protes atau sesal atasNya. Jauh sangat berbeda dari kebanyakan diri-diri yang terkadang sok mulia, sok angkuh. Iyalah makhluk bernama manusia, tidak banyak darinya yang ikhlas bersujut hingga jidatnya menghitam, bertahiyat sampai matakakipun memiliki warna yang berbeda dengan warna kulit disekitarnya, menebal dan menghitam, mengajarkan ilmu di langgar-langgar, mendirikan masjid-masjid besar nan megah, serta berjihad dan berjuhud di jalanNya. Tapi yang demikian itu hanya secuil dari makhluk bernama manusia, Namun Dia tetap menyayangi segala ciptaanNya.
            Detik melangkah gagah di bawah komandoNya, membentuk Menit, jam, hari, minggu, bulan, dan tahun. Iya tak pernah lelah terus melangkah gagah dalam keistiqamahan terhadap TuhanNya. Lalu apakah mahaluk yang bernama manusia itu mampu melakukan yang demikian?, lagi-lagi hanya seujung kuku. Hanya satu diantara seribu, atau bahkan satu diantara satu juta manusia yang istiqamah melangkahkan diri dengan gagah di bawah PerintahNya. Namun Dia tak pernah pilih kasih dalam menyayangi ciptaanNya.
            Lalu aku sendiri dibanding Si Menit dan Sang masa?
            Seberapa patuh diriku di jalanNya dibanding Si Menit dan Sang masa?
            Seberapa takut atasNya dibanding Si Menit dan Sang masa?
            Seberapa khauf kepadaNya dibanding Si Menit dan Sang masa?
            Seberapa besar roja’ku terhadapNya dibanding Si Menit dan Sang masa?
            Sebarapa hubku teruntukNya dibanding Si Menit dan Sang masa?
            Seberapa aku hanya bergantung kepadaNya dibanding Si Menit dan Sang masa?
            Seberapa syukurku untukNya dibanding Si Menit dan Sang masa?
            “Huft” Bunyi nafas yang dia hembuskan di tengah perenungan. ditengah hilir mudik kisah-kisah yang dia lalui di usianya yang sudah di awali angka dua. Usia yang bisa dikatakan acuan dikatakan dewasa.
            “Tuk tuk tuk” bunyi pena yang diadu dengan meja kayu yang menyanggah kedua suku dan dagunya, matanya manap lurus kedepan kearah kebiruan tembok kamar dihadapannya yang mulai menua dan menunjukkan warna kusam.
            “Cinta, Khauf, dan Roja’ terhadapMu, apakah aku sudah memliki kata itu?” Gumamnya.
             Cinta yang aku jalani terlampau tinggi mengalahkan kecintaanku terhadapMu, itu yang aku rasa. Hal itu terbukti saat aku terbangun dan sebelum tidur wajah itu yang mengisi imaji serta relung hatiku. Bagaimana tidak, dia begitu menentramkan jiwaku, menyejukkan hatiku, mengokohkan langkahku. Lalu dimana aku posisikan cinta terhadapMu jika demikian adanya?. aku ingin memilikinya, memiliki cintaMu, cinta dimana kecintaan terhadapnya adalah refleksi dari kecintaan terhadapMU. Karena walau bagaimanapun cinta itu adalah hak milikMu, yang jika aku menggunakan tanpa izin dariMu itu sama saja aku adalah Flagiator, pengguna tanpa izin Pemilik. Dan aku tau rasa cinta tanpa cintaMu pastilah berujung perih, sesak, lara, gundah, gersang meskipun diawal begitu menentramkan dan menyejukkan.
            Aku Tau takdirku atasMu, bahkan bertemu atau tidaknya aku nanti dengannya adalah rahasiaMu. Lalu bagaimana jika benar yang aku takutkan selama ini terjadi?, ketika orang lain yang Engkau takdirkan bersamanya. Tentu jika tanpa CintaMu, aku terjatuh dalam lara yang teramat mendalam, dalam sesak yang merongrong secuil imanku, dalam gersang yang menggerogoti takqwaku yang tak seberapa, dan dalam gundah yang bisa saja aku melenakanMu?
            Darimana dan bagaimana cintaMu bisa aku raih?
            Bisakah CintaMu aku miliki?
            Seberapa susah syarat kepemilikan itu?
            Bolehkah aku memiliki cintaMu sebagai penentram dan penyejuk diri?
            Sudikah kiranya Engkau bimbing aku meraihnya?
            Khauf, khaufku selama ini akan kematian, Ketika saat dua serambi dan dua bilik serasa terbakar dan tertusuk jarum. Jelas tak menjadi bukti khaufanku terhadapMu, terhadap takdir dan kuasaMu. hanya mata yang menunjukkan rasa panik, serta diri yang terus tercekam ketakutan, ketakutan atas usia, atas diri yang belum saja mampu mengkhaufkan diri kepadaMu.
            Darimana dan bagaimana khauf terhadapMu bisa aku raih?
            Bisakah Khauf terhadapMu aku miliki?
            Seberapa susah syarat kepemilikan itu?
            Bolehkah aku memiliki khauf kepadaMu sebagai penentram dan penyejuk diri?
            Sudikah kiranya Engkau bimbing aku meraihnya?

Saat senja itu datang, saat harapku tertuju pada sesuatu yang fana’, saat roja’ku terhadap ketidak abadian. sehingga segalanya begitu mengerikan, ketakutan akan kefana’an begitu buas mencabik-cabik segala bentuk keberanian yang ada dalam diri, melumat habis tak tersisa. Hingga harapan itu menjadi boomerang bagi diriku sendiri bahkan iya aysik mengejekku saat tubuhku lemah tiada berdaya. Yah, tanpa roja’ku terhadapMu harapan itu hanya sebatas harapan palsu, semu bahkan hina.
Darimana dan bagaimana roja’ terhadapMu bisa aku raih?
            Bisakah roja’ terhadapMu aku miliki?
            Seberapa susah syarat kepemilikan itu?
            Bolehkah aku memiliki roja’ kepadaMu sebagai penentram dan penyejuk diri?
            Sudikah kiranya Engkau bimbing aku meraihnya?
Wajahnya kini mulai beradu, keduamatanya bertemu dengan lengan yang iya sokongkan diatas meja. Perenungan tiga kata yang belum termiliki, termiliki olehnya. Oleh diri yang hakikatnya siapa saja membutuhkanNya, siapa saja yang olehNya bisa tersenyum atau bahakn sebaliknya, menangis.
Senyap, hanya terdengar ringkikan kecil yang dicipta olehnya, oleh diri yang membutuhkan tiga kata, Hub, Khauf, dan Roja’. Semakin dalam, dalam dan semakin larut dalam renung yang tak bisa lagi terdeskripsikan oleh kata, kalimat atau syair sekaliapun. Terkecuali atas ridha dan kuasaNYA, Allah SWT.

Wallahu A’lam Bishshowab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar