Izul; Kesatu, Kedua, dan Ketiga (?)
Senja, mentari sejak tadi tak jua menampakkan diri. Gulita sore itu, yang seharusnya cahaya mentari masih terbias mewarnai pelataran tempat dimana Izul duduk kini. Senja yang lagi-lagi dia rindui, senja dimana dia dapat menitipkan harapan-harapan, pertanyaan, atau sekedar pernyataan.
Senja kian meranum, hujan mulai turun membasahi belahan bumi. Izul tak jua bergeser dari tempat duduknya semenjak tadi. Tentu membuatnya basah kuyup, namun dingin tak ia pusingkan tidak seperti apa yang sedang dia fikirkan kini, fikiran yang menguras setiap helaan nafas. Sesak.
Kepada siapa lagi hati ini berlabuh menemui cinta ketiga, setelah Kesatu, Kedua Cinta yang utama. Allah, Nabi, Rasul, Malaikat, Orangtuaku sendiri.
Suara itu sayup terdengar samar dari bibirnya karena gemericik hujan telah menenggelamkan kegamblangan suaranya, persis seperti yang ia alami sejak kemarin.
Diri ini tak pernah merasakan manis, dan ketentraman cinta itu, sulit rasanya.
Kesatu, Kedua dan kesekian kali dia merasa dekat dengan seorang yang dianggapnya akan menjadi tempat penyempurna imannya serta pemenuhan sunnah rasul, lagi-lagi berjodoh dengan rasa yang hambar. Mati rasa. Semakin jauh melangkah, kemubhaman itu makin pekat dan nyata.
Kemubhaman, diksi yang tepat mewakili apa yang ada dalam relung jiwa yang berada jauh di dalam sana, dalam nan dalam. Dalam, dimana hanya Allah saja yang tau, dan beberapa hamba yang shadiqiin. Kemubhaman atas diri yang sampai kini belum jua menemukan hakikat diri, hakikat penghambaan, hakikat hidup, hakikat keimanan, dan hakikat keridhaan.
Sukar rasanya menemui makna “Kekayaan hakiki adalah kaya hati,” kalimat yang masih bisa aku ingat sampai saat ini sejak pagi itu, pagi dimana seseorang mengajarkan kalimat itu secara tidak langsung di lima tahun yang lalu. Sukar aku mengapsai serinci kitab klasikpun, selain yang aku tau hati dimana terletak Cinta untuk dan hanya kepadaNYA. Dan kini?, selaksa aku pijaki sebuah fatamorgana sambil meneguk air laut yang entah berapa banyak dan haus itupun makin merajalela dan juga hambar yang kian kuat bertengger dalam ranting-ranting hidupku yang mulai rapuh. Hampir patah.
Semakin dalam sayup suara Izul, semakin deras pula air yang seharusnya nampak diatara mata. Namun hujan menyembunyikan air yang seharusnya mengaspal di kedua pipinya. Pipi yang semakin menipis termakan usia yang entah tinggal seberapa. Tak iya pedulikan.
Resah dan gelisah menggerogoti sisa-sisa ketabahan serta keimanan, seiring dengan kehidupan yang kian akut berpancaroba, seiring masa yang tak kian lelah untuk berhenti menjalani lakon yang ia perankan dengan sangat baik untuk Penciptanya, sementara iman di dadanya mulai kempis tergilas guliran waktu yang tak sempat terkejar, selain kelenaan dan kemubhaman yang semakin kuat meraga diri.
Semakin tenggelam dalam luas keindahan dunia yang semu dan kenikmatan yang tak lebih lama dibanding selambaian tangan, mengabur pandangan mata. Bahkan mengingkari kurniaanMu yang amat indah.
Sudah bukan rahasia sebagai manusia yang cuman sedikit darinya yang tidak terbius oleh keduniawian, sengaja dunia nampak indah, tapi keindahan yang semu. Hingga mengantarkan pada kerinduan yang bukan pada mestinya, kerinduan yang tak memiliki ujung dan takkan menemui akhir yang nyata.
Bagaimana aku siap memperolehnya, sementara Kesatu, Keduapun amat sukar aku dapati. Padahal kedua-duanya merupakan syarat utama memperoleh yang Ketiga. Cinta.
Bilapun ketiga telahku dapati lebih dulu, itu selaksa tegukan demi tegukan air laut. Sekedar fatamorgana di tengah terik gurun pasir.
Aku masih dengan tubuh yang terbatas, yang masih melangkah dengan sangat sederhana, bahkan sering tertatih titah jatuh. Bahkan hilang arah. Adakah nanti sesosok Khadijah yang mampu membendung kemubhaman serta peneguh hati, suatu hal yang sulit jika diri masih jauh dikatakan hamba.
Nampak pasi wajah seiring tamparan rintik langit yang deras menghantam tubunhya. Bukan, tidak hanya wajah. Hati, Akal, Jiwa dan bahkan ruh sekalipun. Bekas luka yang belum sempat padam, kini kian menyeruak diri. Entahlah, hanya Allah yang maha tau.
Lagi-lagi aku duduk di sudut yang sama, malam yang sunyi dan menenggelamkanku bukan pada ketenangan melainkan kegelisahan yang di bubuhi kemubhaman yang terus bercokol.
Ya, aku kira masih paruh waktu yang kadarnya masih belum pasti kapan ia terhenti. Bisa saja esok, atau ini adalah menit terahir. Entahlah. Persisnya bukan dunia saja yang mulai menua, tapi diri pula turut melapuk.
Urat usia yang kian lusuh, tua. yang pasti akan berjodoh dengan kematian. Berteman dengan kata kematian, namun kata itu bisa menjadi kata yang indah bagi siapa saja yang memenuhi hati dengan takut terhadap Sang Pemilik diri, Allah.
Tidak ada lagi kalimat yang Izul ucapkan, atau sekedar ia batinkan. Kaku, seiring rasa dingin yang semakin sempurna, begitupun betapa kakunya hati yang kian sepi. Bibir yang semakin mebiru, tubuh yang nampak berkerut-kerut menahan dingin. Gemerutuk gigi mulai beradu, seiring pula mata yang kian sayu.
Di pandangnya langit yang mulai bias di mata, dingin, lemas, lelah. Sampai pada tubuh yang telah kehilangan kesadaran. “Bluuup” tubuh itu tergolek tanpa sadar.
Ya Allah tunjukkan jalanku. Pastikan kau dengarkanku. Sekian lama ku arungi gelap ini, Tak pernah ku mengingatiMu.
Dimana kini ku berada, hampa tiada daya. Aku ingin kembali, Sungguh ingin kembali.
Andai saja diriku dapat memutar kembali waktu, mungkin ku tak akan tersesat seperti ini.
Air mata ini, Sanggupkah hapus segala dosa. Sujudku mohon ampuni segala salahku
Rabb, hamba yang pernah tersesat dalam kemaksiatan, terjerumus dalam lembah kenistaan. Kini hamba hadir di hadapanMu.
Rabb, berilah hamba setetes ampunanMu, berilah hamba seberkas cahayaMu.
Agar hamba menemukan jalan yang Engkau Ridhoi. (Terjerumus dalam dosa, star 5)
Muza elafarabi
Yoyakarta, 31 Januari 2012